Tangis Dokter Batara Selalu Pecah Saat Tangani Pasutri yang Dambakan Bayi Tabung

Angka kegagalan program bayi tabung tinggi, Batara Imanuel Sirait ikut sedih dan menangis bersama pasien-pasiennya hampir tiap hari.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 17 Des 2018, 15:00 WIB
Batara Imanuel Sirait, dokter Obstetri dan Ginekologi dari Morula IVF Jakarta. (Morula IVF)

Liputan6.com, Jakarta “Program bayi tabung itu layaknya roller coaster. Takut gagal, iya. Kita semua sama-sama tahu, angka keberhasilannya rendah. Saya sendiri suka nangis bersama pasien. Nangis sama pasien itu sudah biasa dan hampir tiap hari. Bahkan, nangis sampai setengah jam.”

Suasana sedih itulah yang dialami Batara Imanuel Sirait, seorang dokter Obstetri dan Ginekologi subspesialis konsultan Fertilitas Endokrin Reproduksi. Dokter yang sehari-hari berpraktik di Morula IVF Jakarta ini menghadapi pasien pasangan suami-istri yang mendambakan bayi tabung. Pasangan suami istri yang mau bayi tabung itu hampir tiap hari yang datang.

Meski program bayi tabung dibutuhkan, ternyata tidak semua pasien mampu menjalaninya sampai akhir. Serangan depresi dialami pasien-pasien. Apalagi kalau bayi tabung tidak berhasil dibuahi. Ada juga alasan karena suami tidak mendukung penuh bayi tabung. Ada rasa ingin memiliki anak secara alami, istri hamil dengan normal, tanpa harus melalui proses bayi tabung.

“Rasa takut gagal itu pasti dialami. Banyak pasien yang berhenti di tengah jalan karena depresi. Enggak semua suaminya support (mendukung) lo. Makanya, kalau di klinik kami, pasien ibaratnya ‘dikeroyok’. Enggak hanya ketemu dokter yang menanganinya saja, tapi juga mereka harus bertemu dengan konselor juga psikolog,” ucap Batara saat ditemui di Hotel Bidakara Jakarta beberapa waktu lalu, ditulis Senin (17/12/2018).

Setiap kali program bayi tabung gagal, transfer embrio sudah dilakukan, 16 hari kemudian hasil test pack negatif pasti sedih mendengar kabar tersebut. Kesedihan tidak hanya dirasakan pasien, tapi juga dokter.  Batara ikut menangis dengan pasien.

“Kadang saat pemberitahuan hasil test pack (tes kehamilan), istrinya aja yang datang (masuk ke ruangan dokter), suaminya nunggu di luar. Saya tanya, ‘Suaminya di mana Bu? Dia jawab, “Di luar, Dok.  Ya sudah, saya beritahu hasilnya negatif. Saya nangis dulu berdua sama dia. Sampai setengah jam. Habis itu saya jemput suaminya di luar, saya datangi, dan peluk dia juga,” ucap Batara dengan raut wajah sendu.

 

 

Saksikan video menarik berikut ini:

 


Doa untuk semua pasien

Doa untuk semua pasien juga dilakukan dokter Batara. copyright Rawpixel

Batara juga menceritakan, setiap kali berjalan di koridor menuju ruangan kliniknya, ia selalu berdoa untuk para pasien yang sedang menunggu dipanggil ke ruangan klinik. Turun dari mobil, lalu mau masuk ke ruangan klinik harus melewati pasien yang di koridor.

 “Saya harus melewati pasien di koridor menuju ke ruang klinik. Ya, kita semua berharap itu (bayi tabung) berhasil. Saya melangkah udah dengan doa. ‘Semoga berhasil, semoga berhasil.’ Meski itu bukan  pasien saya, itu pasien dokter lain. Cuma kami ngerti banget, ini proses apa. Angka keberhasilannya juga rendah. Kegagalan tinggi. Tidak murah juga. Bayar Rp 80 juta sampai Rp 90 juta itu enggak murah,” ungkap Batara.

Biaya program bayi tabung yang sangat mahal itu bisa saja buat biaya uang muka beli mobil. Namun, keinginan besar untuk berkeluarga dan punya anak akhirnya harus mengorbankan biaya itu untuk program bayi tabung. Selama ini, menurut Batara, angka keberhasilan bayi tabung di IVF Morula Jakarta termasuk tertinggi di dunia, yakni rata-rata 40 sampai 46 persen. Bahkan, kadang 60 persen.

Meski begitu, angka kegagalan juga berarti tinggi. Yang utama, program bayi tabung bukan sekadar urusan suntik, lalu tinggal menilai berhasil atau gagal. Tidak sesederhana itu, menurut Batara. Kehadiran psikolog membantu hadapi masalah psikologis pasien, terutama saat gagal.

“Jangan pernah berpikir, kalau (bayi tabung gagal), lantas dokter fine-fine (baik-baik) aja? Enggak kayak gitu. Percaya sama saya, semua dokter ikut sedih,” ujar Batara, lulusan Pendidikan Dokter Spesialis II Fertilitas, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.


Satu rahim untuk satu janin

Satu rahim didesain untuk satu janin. copyright Rawpixel

Tahapan proses bayi tabung, sel telur yang sudah dipertemukan dengan sperma pasangan, disimpan di dalam klinik untuk memastikan perkembangannya maksimal. Setelah embrio hasil pembuahan sel telur dan sperma tersebut dianggap cukup matang, embrio akan dimasukkan ke dalam rahim. Untuk memasukkan hasil pembuahan sel telur dan sperma ke rahim, ada kateter yang dimasukkan ke dalam vagina. Demi memperbesar kemungkinan hamil, tiga embrio umumnya ditransfer sekaligus.

Hal berbeda dilakukan di IVF Morula Jakarta, yang mana memasukkan hasil pembuahan tersebut ke dalam rahim hanya satu. Klinik IVF Morula Jakarta punya kebijakan sesuai panduan program bayi tabung di dunia.

“Kami ambil yang terbaik, yakni masukin satu. Kenapa? Karena kembar itu bukan hak. Rahim didesain untuk satu janin, bukan didesain dua atau tiga janin. Kita ini manusia ya. Bayangin, rahim segini-gininya yang didesain buat satu janin, lalu harus dibagi dua. Apa risikonya? Bayi lahir prematur, pecah ketuban,” Batara menjelaskan.

Misalnya, bayi tabung yang lahir prematur dengan berat 1,2 kg harus dimasukkan ke inkubator selama berbulan-bulan. Biaya perawatan di inkubator juga mahal. Satu hari sampai 7 juta.

“Coba dikalikan sebulan, Rp 210 juta kan. Itu pun dengan berbagai permasalahan kesehatan. Bayinya bisa kena gangguan paru-paru, mata, jantung, dan liver. Makanya, kami nasihati, pasien kadang mikir, sekali tahapan, kalau bisa dapat dua atau tiga anak. Nah, itu yang kami coba luruskan,” ucap Batara.

Dokter yang aktif di IFERI (Himpunan Fertilitas Endokrin Reproduksi Indonesia) ini menambahkan, ia juga menghadapi pasien yang ingin hasil pembuahan sel telur dan sperma dimasukkan dua ke dalam rahim. Contohnya ada pasien, yang embrionya berjumlah lima.  Batara menjelaskan kepada pasien soal risiko memasukkan sel telur dan sperma lebih dari satu.

“Dia akhirnya bilang, ‘Oh gitu ya. Ya udah deh, Dok, satu aja deh.’ Masih ada juga pasien yang berkukuh mau masukin dua. Ini siapa yang mau tanggung jawab? Kami sudah jelasin panjang lebar. Tapi hak pasien juga (keputusan) akhirnya. Saya jelaskan,  ‘Kalau dimasukin dua, nanti jadinya kembar dan komplikasi. Ibu mohon mengerti ya.’ Bayangkan, sudah dijelaskan, kami yang memohon pengertiannya juga pada pasien,” ungkap Batara.

Untuk menjelaskan seluk-beluk bayi tabung memang tidak mudah. Batara dan tim harus terus-menerus memberikan penjelasan pada pasien. "Kami harus sayangi pasien, dengan memberikannya penjelasan secara jujur," ucap Batara.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya