Pesan di Balik Pengasingan Bung Karno di Parapat

Djarot bersama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dan rombongan melihat ruangan Bung Karno di masa pengasingannya.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 17 Des 2018, 11:34 WIB
Jajaran petinggi PDIP mendatangi tempat pengasingan Sukarno di Parapat.

Liputan6.com, Medan - Presiden pertama RI Sukarno atau Bung Karno lekat dengan pengasingan di masa kolonial Belanda. Salah satu daerah yang pernah jadi tempat pembuangan sang proklamator adalah daerah Sumatera Utara.

Bung Karno bersama Sutan Sjahrir dan Agus Salim yang dinyatakan sebagai tahanan politik dibawanya oleh pemerintah Hindia Belanda ke Berastagi. Di sana, mereka nyaris dibunuh.

Namun, rencana itu tidak berhasil, lantaran sang pembunuh tak tega dan mengaku sendiri kepada Bung Karno. Tak lama, dia bersama dua tokoh lainnya, kemudian dipindahkan di Parapat, persis depan Danau Toba.

Hingga sekarang, tempat tersebut menjadi obyek wisata dan mengingatkan Bung Karno pernah hidup bersama-sama dengan warga Batak.

"Sebelum di Parapat ini Bung Karno dibuang ke Brastagi. Di Berastagi tak lama. Sekitar 10 hari bersama Agus Salim dan Sjahrir. Waktu di Berastagi itulah Bung Karno mau dibunuh," cerita Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat, saat mengunjungi Pesanggrahan Bung Karno di Parapat, Sumut, Senin (17/12/2018).

Djarot bersama Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dan rombongan melihat ruangan Bung Karno di masa pengasingannya. Ini adalah bagian dari penutupan dari rangkaian Safari Politik Kebangsaan III partai berlambang banteng bermoncong putih itu.

Dia menegaskan, ada yang bisa diambil dari kisah pengasingan Bung Karno ini.

"Jadi kita harus belajar sejarah. Bagaimana para pemimpin bangsa mampu menghadapi tantangan itu dengan tegas, tidak cengeng, tegar," ungkap Djarot.

Selain itu, masih kata dia, dengan bersamanya Agus Salim dan Sjahrir, melihat bagaimana meski berbeda pandangan, bisa duduk bersama.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Jalin Hubungan Baik

"Mereka tetap bisa menjalin hubungan silaturahim dengan baik dan berdiskusi secara produktif,. Mereka bicara tentang persoalan negara dengan sangat produktif, meskipun b erbeda aliran. Termasuk juga dengan Agus Salim untuk betul-betul menyatukan bahwa Islam itu pada dasarnya adalah cinta tanah air," jelas Djarot.

Dia memandang, ini bisa jadi instrospeksi para elite. Dimana masih berdiskusi bukan substansifnya.

"Suka membenci, suka mencaci, suka memfitnah, tapi tidak pernah melahirkan pemikiran yang produktif untuk kebaikan bangsa ini," pungkasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya