Yerusalem Barat dan Timur dalam Konteks Konflik Israel - Palestina

Australia mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel dan menyebut prospek Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina. Lantas, apa perbedaan dua kota tersebut?

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 17 Des 2018, 16:00 WIB
Ilustrasi Yerusalem (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Pengumuman Perdana Menteri Australia Scott Morrison untuk mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel pada 16 Desember 2018 menuai respons dari sejumlah negara.

"Kami sekarang mengakui Yerusalem Barat --yang merupakan tempat kedudukan Knesset (parlemen Israel) dan banyak lembaga pemerintahan lain-- sebagai ibu kota Israel," kata Morrison di Sydney.

Morrison juga mengatakan akan membuka kantor pertahanan dan perdagangan di Yerusalem Barat, sebagai ganti atas mundurnya rencana pemindahan kedutaan Australia ke Yerusalem, sebagaimana yang telah diutarakan olehnya pada Oktober 2018 lalu.

Rencana pemindahan kedutaan akan ditunda sampai solusi dua negara (two state solution) disetujui --yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Pejabat dan diplomat top Palestina, yang negaranya berkonflik dengan Israel, mengecam keputusan Morrison, menggambarkannya sebagai keputusan yang "tidak bertanggungjawab" dan melanggar hukum internasional.

"Itu juga menjadi cara untuk merusak, menghancurkan dan merusak proses perdamaian di Timur Tengah," kata Izzat Abdulhadi, Kepala Delegasi Palestina untuk Australia, seperti dikutip dari 9News.com.au.

Organisasi mulitilateral negara-negara Arab, Liga Arab, turut mengecam langkah Australia.

"Keputusan itu merupakan pelanggaran berbahaya terhadap status hukum internasional kota Yerusalem dan resolusi legitimasi yang relevan," kata Saeed Abu Ali, asisten sekretaris jenderal Liga Arab untuk wilayah Palestina dan Tanah Arab yang Diduduki, seperti dikutip dari Xinhua.

"Keputusan itu menunjukkan bias terang-terangan terhadap posisi dan kebijakan pendudukan Israel dan dorongan dari praktik dan agresi konstan," tambahnya.

Namun, ada pula yang membela langkah Australia. Menteri Luar Negeri Bahrain, yang negaranya merupakan anggota Liga Arab, mengatakan:

"Posisi Australia tidak menghambat tuntutan sah dari Palestina terhadap Yerusalem timur dan (kota itu) sebagai ibukota Palestina. Itu juga tidak bertentangan dengan Inisiatif Perdamaian Arab (Arab Peace Initiative)," kata Menlu Bahrain, Khalid bin Ahmed Al Khalifa, seperti dikutip dari The Times of Israel.

Morrison pun, dalam pengumumannya, turut mengakui masa depan negara Palestina dengan Yerusalem timur sebagai ibu kota.

Scott Morrison terpilih sebagai perdana menteri baru Australia menggantikan Malcolm Turnbull. (AP Photo)

"Seluruh Yerusalem tetap menjadi status final untuk negosiasi, sementara Yerusalem Timur, di bawah hukum internasional, merupakan bagian integral dari wilayah Palestina yang diduduki," kata perdana menteri Australia itu.

Namun Israel sendiri, yang berkonflik dengan Palestina dan bersengketa soal Yerusalem, hanya menerima setengah hati posisi Australia.

Seorang menteri yang dekat dengan Netanyahu mengatakan, pengakuan Australia justru kontradiktif dengan niat Israel untuk mengklaim Yerusalem secara keseluruhan dan menolak menerima kota tersebut secara parsial sebagaimana yang tengah dinegosiasikan dalam berbagai pembicaraan damai (Barat untuk Israel dan Timur untuk Palestina).

Tzachi Hanegbi, menteri kerja sama regional sekaligus orang dekat Netanyahu di partai sayap kanan, Likud, secara terang-terangan menyampaikan kritik.

"Yang kami sesalkan, di dalam berita positif tersebut, mereka (Australia) membuat kesalahan," kata Hanegbi seperti dikutip dari The Guardian.

Ia menyebut Canberra sebagai teman dekat dan baik selama bertahun-tahun. Namun, Hanegbi menambahkan, "Tak ada pemisahan antara bagian timur dan barat kota. Yerusalem adalah sebuah kesatuan. Kekuasaan Israel atas kota tersebut adalah abadi. Kedaulatan tersebut tidak bisa dibagi-bagi dan tak bisa dipecah. Kami harap Australia segera memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat."

Lantas, apa beda Yerusalem Barat dan Timur dalam konteks konflik Israel-Palestina? Berikut rangkuman penjelasannya, seperti dihimpun Liputan6.com dari berbagai sumber (17/12/2018).

 

Simak video pilihan berikut:

 


Pemisahan Yerusalem Menjadi Timur dan Barat

Ilustrasi (AFP)

Yerusalem, dalam konteks latar belakang sejarah konflik modern antara Israel-Palestina, merupakan sebuah kota yang terletak tepat di perbatasan antara Israel dan Tepi Barat (West Bank).

Beberapa dekade sebelum Israel berdiri menjadi sebuah negara --yakni pada 1948-- Yerusalem merupakan sebuah kota yang dikuasai Inggris setelah mereka menumbangkan Kekaisaran Ottoman pada Perang Dunia I.

Pasukan Ekspedisi Inggris untuk Kawasan Mesir yang dipimpin Jenderal Sir Edmund Allenby, memasuki dan mulai memerintah Yerusalem pada 1917.

Pada saat itu, Yerusalem adalah kluster-kluster pemukiman dan komunitas yang masing-masing memiliki karakter etnis dan kepercayaan yang berbeda.

Ini berlanjut di bawah kekuasaan Inggris, ketika Kota Baru Yerusalem tumbuh di luar tembok kota tua, dan Kota Tua Yerusalem berangsur-angsur berkembang, dari yang semula merupakan lingkungan yang lebih tua dan miskin.

Namun, pemerintahan Inggris menandai suatu periode kerusuhan yang berkembang di Yerusalem --yang kala itu menjadi bagian dari wilayah bernama Mandat Britania atas Palestina, embrio tanah Palestina dan Israel modern.

Kebencian etnis Arab pada pemerintahan Inggris dan masuknya imigran Yahudi memuncak menjadi kerusuhan anti-Yahudi di Yerusalem serta wilayah lain di Mandat Britania atas Palestina pada tahun 1920, 1929, dan 1930-an yang menyebabkan kerusakan signifikan dan beberapa kematian.

Hal itu kemudian memicu PBB (yang baru terbentuk pasca Perang Dunia II), melalui Majelis Umum-nya, untuk mempartisi (membagi) Mandat Britania atas Palestina menjadi dua bagian, untuk Yahudi dan Arab, pada 29 November 1947 (the 1947 United Nations Partition Plan for Palestine).

Sementara Yerusalem, berada di bawah mandat internasional yang diawasi PBB (Corpus separatum) dan memberikannya status khusus karena statusnya sebagai kota suci bagi sejumlah agama.

Namun, setahun setelahnya, meletus Perang Arab-Israel I tahun 1948 dan Yerusalem dikuasai oleh kedua belah pihak yang berkonflik.

Pasca-perang, bagian barat dari Kota Baru Yerusalem dicaplok oleh Yahudi yang baru membentuk Negara Israel (State of Israel). Sementara bagian timur Kota Baru Yerusalem, bersama dengan Kota Tua Yerusalem, diduduki oleh legion Arab Yordania (saat itu belum ada pemerintahan de facto Negara Palestina) --yang juga menguasai Tepi Barat, demikian seperti dikutip dari Vox.

Yerusalem 1948 - 1967 (Creative Commons)

Dua tahun pasca-perang 1948, tepatnya pada 23 Januari 1950, Parlemen Israel (Knesset) meloloskan resolusi yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Kemudian, pada 1967, Israel memulai Perang Enam Hari atau Perang Arab-Israel III dan berhasil merebut Yerusalem Timur dan Kota Tua Yerusalem yang ada di dalamnya, dari tangan Yordania. Dan pada 1980, Israel kemudian memproklamasikan Hukum Yerusalem yang menyatakan "lengkap dan bersatunya Yerusalem sebagai ibu kota Israel".

Akibatnya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478 Tahun 1980 yang mengutuk keputusan Israel untuk mencaplok Yerusalem Timur sebagai pelanggaran hukum internasional dan menyerukan solusi kompromi --sebagaimana diatur dalam the 1947 United Nations Partition Plan for Palestine dan sejumlah resolusi serta hukum internasional lain.

Ketika negara Palestina (State of Palestine) modern berdiri di Tepi Barat pada 1988, the Palestine Liberation Organization (PLO) --yang saat itu merupakan pemerintah de facto-- melalui Deklarasi Kemerdekaan Palestina, mengakui Yerusalem sebagai ibu kotanya.

Namun, Israel yang menduduki Yerusalem --sejak 1967 hingga sekarang-- menolak pengakuan itu. Sampai saat ini, kelompok Arab Palestina, baik Islam dan Yahudi yang tinggal di Yerusalem, berada di bawah pendudukan Negeri Bintang David dan menetap di sejumlah kluster-kluster enklave pemukiman Arab.

 


Status Yerusalem dan Solusi Dua Negara

Yerusalem pasca-Perang Enam Hari 1967 (Creative Commons)

Komunitas internasional, dalam berbagai proses negosiasi perdamaian Israel-Palestina, telah menawarkan proposal solusi dua negara (two-state solution) dengan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Negara Palestina yang merdeka. Tapi, tawaran itu, tidak serta merta disetujui oleh kedua pihak.

Baik Israel dan Palestina sama-sama mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kota mereka dan perselisihan mereka atas itu telah digambarkan sebagai "salah satu masalah yang paling sulit" dalam konflik Israel-Palestina modern.

Perselisihan kemudian memicu klaim yang bertentangan dari kedua pihak, termasuk masalah kedaulatan atas kota itu, atau bagian-bagiannya, serta akses ke tempat-tempat suci.

Sengketa utama berkisar pada status hukum Yerusalem Timur dan khususnya Kota Tua Yerusalem sebagai wilayah Palestina. Sementara itu, muncul pula kesepakatan yang lebih luas mengenai kehadiran Israel di masa depan dengan ibu kota di Yerusalem Barat.

Misalnya, pada Juni 2017, Rusia secara resmi mengakui Yerusalem Barat sebagai ibu kota Israel, setelah mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina pada tahun 1988, demikian seperti dikutip dari Ynet News. China juga mengakui Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Sebaliknya, Amerika Serikat yang secara historis mendukung pembentukan rezim internasional untuk Yerusalem, justru mengubah posisinya dengan secara resmi mengakui Kota Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017, demikian seperti dikutip daari CNN.

Sementara baru-baru ini, Australia mengakui Yerusalem Barat sebagai ibukota Israel dan Yerusalem Timur sebagai ibukota Palestina pada Desember 2018.

Usulan bahwa Yerusalem harus menjadi ibukota masa depan Israel dan Palestina, dengan proposal bahwa masing-masing memiliki Yerusalem Barat dan Yerusalem Timur sebagai ibu kota, mendapat dukungan internasional. Dukungan berasal dari sejumlah negara PBB dan Uni Eropa.

Namun, mayoritas negara anggota PBB dan sebagian besar organisasi internasional tidak mengakui kedaulatan Israel atas Yerusalem Timur, yang berada di bawah kendalinya setelah Perang Enam Hari 1967 dan memproklamasikannya pada 1980 melalui Hukum Yerusalem.

Akibatnya, sebagian besar negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, menempatkan kedutaan asing mereka di Tel Aviv dan daerah sekitarnya daripada di Yerusalem --agar tidak mengganggu status quo kota Yerusalem dan upaya perdamaian antara Palestina-Israel.

Tapi, ada pula negara anggota PBB yang ingin agar Yerusalem memiliki status internasional, sebagaimana diuraikan dalam Resolusi Majelis Umum 181. Uni Eropa juga mengikuti jejak PBB dalam hal ini, menyatakan status Yerusalem sebagai Corpus separatum sebagaimana diatur dalam United Nations Partition Plan for Palestine, pada 1947 silam. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya