Liputan6.com, Jakarta - 17 Desember, mengingatkan pada sosol aktivis Soe Hok Gie. Jika masih hidup, usianya genap 75 tahun, pada Senin kemarin.
Sehari sebelum dia berulang tahun, pria yang lahir di Jakarta itu meregang nyawa di tempat kesukaannya, gunung.
Advertisement
Gie menutup usianya pada 16 Desember 1969 atau di usianya yang ke-26 ketika mendaki Gunung Semeru, Jawa Timur. Gas beracun mencekiknya pada pendakian terakhirnya tersebut.
Namun, kisah kehidupan dan perjuangan Soe Hok Gie dalam mengkritisi pemerintah tak pernah dilupakan. Justru, perjuangannya menggempur kekuasaan Orde Lama dengan serangkaian demonstrasi setelah G30S atau Gerakan 30 September, semakin populer ketika dia sudah tiada.
Pada 2005, Riri Riza mengabadikan kisahnya dalam film Gie. Aktor Nicholas Saputra didapuk memerankan lelaki berperawakan kecil tersebut mampu merebut hati masyarakat.
Buku hariannya, terbit dengan judul Catatan Seorang Demonstran, semakin banyak dibaca usai film itu beredar.
Setidaknya, ada 4 fakta menarik menurut Liputan6.com dari sosok Soe Hok Gie. Berikut keempat fakta tersebut:
Saksikan video pilihan di bawah ini:
1. Pintar Ungkapkan Sarkasme
Cerdas, termasuk dalam mengungkapkan sarkasme. Itulah Soe Hok Gie.
Sebelum mendaki Semeru, Soe Hok Gie mengirim bedak, gincu atau lipstik, dan cermin kepada 13 aktivis mahasiswa yang menjadi anggota DPR setelah Orde Baru berkuasa. Dia berharap mereka bisa berdandan dan tambah cantik di hadapan penguasa.
Gie kecewa dengan teman-teman mahasiswanya yang sudah berkantor di DPR. Mereka dianggap sudah melupakan rakyat dan lebih mementingkan kedudukannya di parlemen.
Buat Gie, aktivis mahasiswa sebagainya hanya menjadi kekuatan moral, bukan pelaku politik praktis.
Dalam surat pengantar kiriman, 12 Desember 1969, ia menulis, "Bekerjalah dengan baik, hidup Orde Baru! Nikmati kursi Anda--tidurlah nyenyak."
Advertisement
2. Produktif Menulis
Soe Hok Gie adalah penulis yang produktif. Artikel-artikelnya tersebar di Harian KAMI, Kompas, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya.
Ia menulis di rumah orangtuanya di Jalan Kebon Jeruk IX, dekat Glodok, Jakarta Barat. Gie menulis di kamar belakang yang temaram, berteman nyamuk, dan ketika kebanyakan orang telah larut dalam mimpi.
Pemuda kurus ini banyak dikagumi lantaran tulisan-tulisannya. Namun, ada juga yang tak suka. Suatu kali, Gie dikirimi surat kaleng oleh seseorang yang mengaku pecinta Bung Karno.
Rupanya pengirim surat gusar dengan kritik-kritik Gie dalam mingguan Mahasiswa Indonesia. Surat itu berisi umpatan berbau rasial.
3. Bijak
Bijak. Sikap ini ditunjukkan Soe Hok Gie ketika menyikapi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Gie gencar mengkritik PKI dan perilaku politiknya. Tapi, dia menjadi salah seorang intelektual yang pertama-tama mengecam pembunuhan massal terhadap kader dan simpatisan PKI menyusul peristiwa G30S.
Dia menuliskannya dalam esai berjudul Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-besaran di Bali.
Gie juga mengritik stigmatisasi kader PKI. Misalnya, terkait surat "bersih diri".
"Bahkan anak-anak SD kelas V dan IV (umur 12-14 tahun) harus punya surat "bersih diri" (bersih dari apa?). Tiga tahun yang lalu mereka baru berusia 9-11 tahun. Ini benar-benar keterlaluan," tulis Gie dalam Surat Tidak Terlibat G30S yang dimuat di Kompas, 29 April 1969.
Advertisement
4. Pecandu Mendaki Gunung
Gie tewas karena menghirup asap beracun saat menuju ke puncak Gunung Semeru. Cuaca memang buruk pada saat itu. Kabut gelap menyelimuti Mahameru.
Dia bersama salah satu rekan seperjalanannya, Idhan Lubis, tiba-tiba kejang dan meninggal dunia.
Namun, dia meninggal di tempat yang dicintainya, gunung, di usia yang masih muda.
Ya, dia merupakan pecandu naik gunung, bukan hanya sekadar rekreasi.
Uniknya, ia menyukai baris-baris puisi dari dari seorang filsuf Yunani, "Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan. Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda. Yang tersial adalah berumur tua. Berbahagialah mereka yang mati muda."