Liputan6.com, Konawe Kepulauan - Ratusan warga Desa Roko-roko, Kecamatan Wawonii Tenggara, Kabupaten Konawe Kepulauan trauma dengan hadirnya perusahaan tambang. Warga takut, pulau yang hanya seluas 857,68 km2 itu bisa tenggelam karena dimasuki perusahaan nikel. Tak hanya itu, terjangan bencana alam akibat hutan yang rusak juga masih menghantui.
Sejumlah perusahaan tambang bahkan sudah bersiap mulai mengeksploitasi wilayah yang dikenal punya potensi perikanannya itu.
Advertisement
Warga yang tak setuju dengan aktivitas tambang pun sudah melakukan lim kali aksi protes. Puncaknya, ratusan warga mendatangi Kantor DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan, Selasa (17/12/2018), kemarin.
"Kami menolak keras, karena bercermin dari wilayah Sulawesi Tenggara lainnya, warga masyarakat sekitar tambang hanya merasakan masalah dibanding keuntungan yang didapat," ujar Darsono, salah seorang perwakilan warga.
Ada tiga tuntutan warga, permintaan tegas kepada anggota DPRD Konawe Kepulauan agar menghentikan aktivitas tambang di wilayah Desa Roko-roko. Beberapa perusahaan yang sudah ada di wilayah itu, tak mengindahkan keluhan warga.
Warga juga meminta bantuan mahasiswa agar mendesak Pemkab Konawe Kepulauan menghentikan segala aktivitas pertambangan di wilayah itu.
"Wilayah ini kecil lalu mau dimasuki tambang. Kalau datang bencana, pulau ini bisa tenggelam," ujar Saliman yang juga mahasiswa.
Tuntutan lainnya, warga mendesak pemerintah daerah Konawe Kepulauan menarik bantuan pengamanan di wilayah itu. Sebab, sejak dimasuki perusahaan tambang, ada sejumlah oknum aparat yang tak dikenal warga berkeliaran di wilayah mereka.
Ketua DPRD Kabupaten Konawe Kepulauan, Musdar saat menemui warga, langsung mengeluarkan pernyataan tegas. Dia mengatakan, pihaknya akan segera menemui Pemerintah Provinsi Sultra.
"Kita buat rekomendasi ke Pemprov Sultra, sekarang ini juga terkait penutupan perusahaan tambang di wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan," tegas Musdar.
Diketahui, sejumlah wilayah di Konawe Kepulauan kerap diterjang banjir. Sejumlah titik pulau ini rawan abrasi karena menjadi benteng bagi sejumlah wilayah pesisir Sultra dari ganasnya gelombang Laut Banda.
Tahun 2017 lalu, sebuah jembatan putus dan puluhan rumah terendam karena hutan di wilayah ini sudah nyaris habis oleh ulah penebang liar. Sementara, awal 2018, ada 3 desa terkena dampak banjir karena hutan tak mampu menyerap air hujan.
Tidak hanya itu, sejak 2012 hingga 2016, kabupaten ini tidak luput dari banjir. Meskipun tiada korban jiwa, namun kerugian materi hingga ratusan juta cukup membuat warga beramai-ramai menolak tambang.
Warga Prihatin Lihat Kabupaten Tetangga
Sejumlah kabupaten di Sulawesi Tenggara sudah merasakan dampak perusahaan tambang nakal. Kabupaten Utara menjadi salah satu contohnya.
Banjir pernah merendam wilayah ini pada Juni 2018. Ratusan ton tanaman padi dan komoditas pertanian milik warga gagal panen.
Tidak hanya itu, di Kecamatan Mandiodo, ratusan warga nelayan merasakan dampak langsung usai wilayah mereka diserbu aktivitas tambang. Nelayan kehilangan pekerjaan karena air laut tercemar.
"Ikan tak hidup, kami yang hancur karena tambang. Sekarang, kami harus keluar hingga berhari-hari di lautan agar keluarga bisa bertahan hidup," ujar Rummang, warga Mandiodo.
Rummang mengatakan, tambang berpengaruh besar bagi nelayan di wilayah itu. Sebab, dahulu nelayan hanya membuang mata pancing di pinggir rumah untuk sekadar mendapat ikan bagi keluarga.
"Sekarang teluk hancur, jangankan menjual ikan, untuk makan keluarga kami pun sudah sulit," ungkapnya gundah.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement