[Cek Fakta] Kisah di Balik Pemotongan Nisan Salib di Kotagede yang Viral

Sebuah foto nisan salib yang dipotong hingga berbentuk huruf T, ramai jadi perbincangan di media sosial. Bagaimana cerita sebenarnya?

oleh Hanz Jimenez Salim diperbarui 19 Des 2018, 17:36 WIB
[Cek Fakta]  Cerita Pemotongan Nisan Salib di Yogyakarta

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah foto nisan salib yang dipotong hingga berbentuk huruf T di Purbayan, Kotagede, Yoogyakarta  viral di media sosial dan berbagai aplikasi percakapan. 

Salah satunya diunggah oleh akun facebook Iwan Kamah. Dalam unggahannya, ia memasang foto nisan berbentuk salib, dari bahan kayu, yang bagian atasnya sudah terpotong.

Ada nama Albertus Slamet Sugihardi yang tertulis di nisan salib tersebut, termasuk tanggal lahir dan waktu kematian mendiang. 

Berikut cerita yang dituliskan Iwan Kamah dalam akun facebooknya:

AGAMA MEMBUNUH KEMANUSIAAN

HARI Senin 17 Desember 2018 di Purbayan KG VI No. 1164, RT 53 RW 13 Kotagede , ada seorang warga non muslim meninggal. Setelah sampai pemakaman beberapa oknum minta dengan paksa supaya salibnya dipotong. Dituruti (foto).

Teror inni berlanjut di malam harinya ketika keluarga hendak mengadakan doa arwah hari pertama yang dibubarkan dengan paksa oleh beberapa oknum tersebut. Selanjutnya doa diselenggarakan di Gereja Pringgolayan Yogya.

Mohon doanya pejabat pemerintah dan warga non muslim yang saya kasihi.

"Hi, Jogja, how are You?"

PS: Minggu 16 Des 2018, saya dan istri menumpang Transjakarta dari Kota ke Blok M. Sampai di Sawah Besar, ada seorang separuh baya berpakaian keagamaan mirip tengku naik bus yang kami tumpangi. Dia berdiri di depan saya duduk bersebelahan dengan istri.

Lalu saya beri duduk karena kasihan. Dia sedikit menolak sambil setengah berteriak, "astaghfirullah deket cewek". Maksudnya dekat bersebelahan dengan istri saya bagai malapetaka. Dia duduk dengan hanya seperempat pantatnya yg duduk. Menjauhi istri saya sebisa mungkin.

Saya mau tendang muka si "tengku" dalam hati. Sudah diberi duduk malah "menghina" istri saya. Cowok2 lain gak yg duduk dekat saya, tak peduli sama si tengku. Asik dengan dawai dan molor. Kok beragama makin kayak gini...ya...

Ketuhanan melulu diurus, kemanusiaan dibuang. Padahal agama bukan untuk tuhan.

Agama sudah merenggut kemanusiaan.

Unggahan tersebut viral, telah dibagikan sebanyak 5.409 kali dan mendapat 45 komentar dari warganet sejak diunggah pada Selasa 18 Desember 2018 kemarin.

 


Fakta

Cerita mengenai pemakaman di Albertus Slamet Sugihardi yang viral di media sosial, ternyata tidak lengkap. Hanya sepotong. 

Ada sejumlah latar belakang kejadian yang tidak diuraikan dalam berbagai unggahan di media sosial.

Peristiwa itu bermula ketika Albertus Slamet Sugihardi meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Senin 17 Desember 2018. Kepergian mendiang relatif mendadak. Ia dilarikan ke rumah sakit setelah tersedak makanan.

"Nyawanya tidak tertolong. Kemudian dirembuk rencana pemakaman. Setelah ada kesepakatan dengan warga setempat, Pak Slamet dimakamkan di makam kampung [TPU Jambon] yang tidak jauh dari kediamannya," kata Humas Gereja Santo Paulus Pringgolayan Banguntapan, Bantul, Albertus Sunarto, Selasa (18/12/2018).

Kebetulan, Slamet adalah seorang anggota jemaat gereja tersebut sehingga Sunarto juga ikut mengurus proses pemakaman.

Sunarto juga mengaku telah berembuk dengan salah seorang sesepuh warga, Bejo Mulyono, agar Slamet bisa dimakamkan di TPU Jambon.

TPU tersebut memang bukan TPU khusus muslim, tetapi mayoritas digunakan oleh warga muslim.

"Awalnya tidak ada masalah. Karena itu makam kampung, siapa saja bisa dimakamkan di sana. Sampai akhirnya sekitar pukul 13.00 WIB, ada semacam reaksi dari warga kampung. Mereka tidak membolehkan Slamet dimakamkan di tengah pemakaman tetapi di bagian pinggir. Oke, tidak ada masalah," kata Sunarto seperti yang diberitakan Liputan6.com.

Pusaran yang awalnya berada di tengah, kemudian diganti ke pinggiran. Sebelum dikebumikan, ada permintaan lagi dari warga.

Menurut Narto, keluarga tidak diperkenankan melakukan doa-doa sejak pemberangkatan jenazah hingga proses pemakaman di TPU selesai.

"Oke tidak masalah. Keluarga juga sepakati itu. Proses pemakaman berjalan, sampai akhirnya saya mendengar kalau saat salib ditancapkan ke pusara, ada warga yang memotong salib dengan cara digergaji," katanya.

Salib yang dipotong tersebut tetap ditancapkan, termasuk bagian atasnya sudah terpotong. Praktis, hanya kayu berbentuk huruf 'T' saja yang tertancap di pusara Slamet.

Tanggapan Warga

Tokoh masyarakat setempat, Bejo Mulyono menjelaskan, ia bersama sejumlah warga memang menolak ada nisan berbentuk salib. Alasannya, simbol agama Kristiani tersebut tak elok dipasang di blok pemakaman muslim.

Namun, ia menegaskan, pihaknya tidak menolak pemakaman jenazah Albertus Slamet Sugihardi. Mereka hanya meminta agar tak ada simbol agama Nasrani di makam tersebut.

"Dibolehkan dimakamkan di sana dengan syarat. Syaratnya tidak boleh ada simbol-simbol Nasrani dan makam berada di pinggir area," ujar Bedjo.

Bedjo membantah tudingan bahwa masyarakat Purbayan intoleran. Ia mengatakan, warga sekitar turut membantu proses pemakaman Slamet. Orang-orang, dari berbagai latar belakang keyakinan, juga melayat ke rumah duka.

Secara terpisah, Ketua RW 13, Kelurahan Purbayan, Kotagede, Slamet Riyadi mengungkapkan, dalam prosesi pemakaman, warga ikut membantu keluarga mendiang Albertus Slamet Sugihardi.

Dia menambahkan, bantuan yang diberikan warga di antaranya adalah meminjamkan sound system, ikut mendirikan tenda untuk pelayat, bahkan juga ikut membantu kelancaran prosesi pemakaman.

Bahkan, Slamet Riyadi menambahkan, saat keluarga tengah berada di RS PKU Muhammadiyah untuk mengurus jenazah Albertus Slamet Sugihardi, warga justru sudah di rumah duka dan mempersiapkan keperluan pemakaman.

Tokoh masyarakat sekitar, Nur Hudin mengatakan, keluarga Slamet Sugihardi sebenarnya tidak mempermasalahkan hal tersebut.

"Ini jadi viral karena ada orang luar yang memviralkan. Keluarga itu sudah ikhlas. Kasihan mereka masih berduka," kata Slamet seperti yang telah dimuat dalam berita Liputan6.com.

Sementara itu, Ketua RT setempat, Soleh Rahmad Hidayat, mengatakan bahwa pemakaman yang menjadi lokasi pusara Slamet disepakati warga dan pengurus kampung untuk jadi pemakaman muslim. 

Meski demikian, warga tetap menerima jenazah mendiang untuk dimakamkan di sana. Ia menambahkan, ada juga aturan tak tertulis bahwa di pemakaman tersebut tidak boleh ada simbol agama.

Jika aturan itu dilanggar, kata Soleh, dikhawatirkan akan menimbulkan konflik di masyarakat.

Secara terpisah, Kapolsek Kotagede Kompol Abdul Rochman mengatakan, pemotongan salib tersebut sudah disepakati antara warga dengan keluarga. 

"Karena pihak keluarga setuju akhirnya (salib) dipotong. Kalau tidak setuju, mungkin tidak dipotong. Tapi di luar muncul isu-isu yang lain-lain," jelas Rochman saat berada di di Pesantren Nurul Umahat, Kotagede.

Rochman menjelaskan, berdasarkan kesepakatan secara resmi antara warga dengan keluarga, pada Selasa (18/12/2019), masalah dianggap sudah selesai. Tidak ada persoalan lagi.

Dia berharap agar media bisa membantu menginformasikan hal tersebut agar tidak menjadi viral. "Tidak seheboh yang ada di media sosial. Sekarang sudah kondusif," katanya.


Respons Sultan Hamengku Buwono X

Peristiwa pemotongan nisan salib di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kotagede, Yogyakarta mengesankan bahwa Kota Gudeg itu intoleran. 

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X pun angkat bicara.

Seperti diberitakan Liputan6.com dalam berita berjudul 'Akhir Damai Kasus Pemotongan Nisan Salib di Kotagede', Sultan menegaskan, ada disinformasi antara fakta sebenarnya di lapangan dengan informasi yang beredar di media sosial.

Sultan menegaskan, kronologi kasus pemotongan nisan salib tidak seperti yang beredar di media sosial dan tidak ada demonstrasi dari warga.

"Masalah ini sudah diselesaikan oleh Wali Kota," ujarnya di UGM, Rabu (19/12/2018). 


Data Jumlah Penduduk

Data Jumlah Penduduk di Kotagede

Menurut Sultan, mayoritas masyarakat yang berada di Kotagede beragama muslim.

Hal ini juga diperkuat dengan data dari Biro Tata Pemerintahan Setda DIY, seperti yang dimuat dalam situs kependudukan.jogjaprov.go.id.

Dalam situs tersebut, jumlah penduduk Kotagede adalah 33.717 jiwa. Sebanyak 31 ribu lebih muslim, sementara 902 jiwa lainnya Kristen Protestan dan 1.085 adalah penganut Katolik.

Sultan Hamengku Buwono X menambahkan, dalam kejadian itu, ketika ada seorang warga yang berbeda agama meninggal, maka diputuskan untuk dimakamkan di daerah tersebut, bukan di daerah lain.

Warga pun tak menolak jasad mendiang dimakamkan di sana. Namun, dengan sejumlah persyaratan.

Raja Jogja itu menambahkan, kasus pemotongan nisan berbentuk salib ini menjadi viral karena apa yang ditampilkan di media sosial tidak sesuai dengan kejadian asli. Anggapan Yogyakarta intoleran juga ditepis Sultan.

"Konsekuensi dianggap intoleransi karena diviralkan, padahal tidak ada masalah," tuturnya.


Pendapat Romo Benny

Sementara tokoh lintas-agama, Romo Benny Susetyo mengimbau kepada semua pihak agar tidak membesar-besarkan masalah tersebut.

Menurutnya, masalah pemotongan nisan salib di Kotagede, Yogyakarta bisa diselesaikan dengan musyawarah antarwarga.

"Kasus-kasus seperti ini enggak usah dibesarkan tapi diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat," kata Romo Benny saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Rabu (19/12/2018).

Tak hanya itu, Romo Benny, berpendapat bahwa tokoh agama dan masyarakat setempat juga berperan penting dalam meredam dan menyelesaikan masalah tersebut.

"Memberi pemahaman yang utuh masing-masing tokoh agama untuk menghargai bahwa negara ini adalah negara yang Bhinneka Tunggal Ika. Artinya saya yakin lah, Sultan dengan kewibawaannya akan menyelesaikan masalah ini," ucap Romo Benny.

 


Kesimpulan

Bahwa benar ada insiden pemotongan nisan berbentuk salib atas nama mendiang Albertus Slamet Sugihardi di Purbayan, Kotagede, Yogyakarta.

Namun, informasi yang beredar di media sosial tidak merekam secara utuh apa yang sebenarnya terjadi. 

Banner Cek Fakta: Salah (Liputan6.com/Triyasni)

Liputan6.com merupakan media terverifikasi Jaringan Periksa Fakta Internasional atau International Fact Checking Network (IFCN) bersama 49 media massa lainnya di seluruh dunia.

Kami juga bekerjasama dengan 21 media nasional dan lokal dalam cekfakta.com untuk memverifikasi berbagai informasi hoax yang tersebar di masyarakat.

Jika anda memiliki informasi seputar hoax yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silahkan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA Liputan6.com di email cekfakta.liputan6@kly.id.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya