Agun Gunandjar: Rakyat Berdaulat Tidak Cukup Hanya Datang ke TPS.

Warga yang hidup di pedasaan harus memperoleh kesejahteraan dengan mendapatkan kucuran dana desa sehingga pertumbuhan ekonomi akan berkorelasi dengan pemerataan, keadilan, penyerapan tenaga kerja, dan kemiskinan.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Des 2018, 13:13 WIB
Warga yang hidup di pedasaan harus memperoleh kesejahteraan dengan mendapatkan kucuran dana desa sehingga pertumbuhan ekonomi akan berkorelasi dengan pemerataan, keadilan, penyerapan tenaga kerja, dan kemiskinan.

Liputan6.com, Jakarta Ketua Fraksi Golkar MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan kedaulatan rakyat tidak semata hanya dalam hal politik melalui haknya dalam pemilu setiap 5 tahunan, namun harus juga diberikan kedaulatannya di bidang ekonomi.

“Pasca pemilu usai, rakyat berhak memperoleh kesejahteraannya karena tujuan pemilu untuk kesejahteraan rakyat”, ujar Agun.

Rakyat yang masih tinggal dan hidup di desa-desa selain diberikan hak berdaulat untuk datang ke TPS setiap 5 tahunan juga wajib mendapatkan segala bentuk pendapatan negara. Kucuran dana desa melalui UU Nomor 6 tahun 2014 yang setiap tahun terus meningkat, wajib dijaga dan ditingkatkan ke arah kemandirian dan kesejahteraan rakyat desa.

Sehingga tidak ada lagi migrasi dari desa ke kota. Bahkan, sebaliknya akan banyak tenaga ahli pergi ke desa untuk menjadi konsultan.

"Menjadikan desa mandiri dan produktif yang mampu menciptakan lapangan kerja sendiri dari seluruh sumber daya yang ada di desanya" ujar Agun.

Agun menegaskan apabila UU Tentang Pemda, UU Tentang Kementerian Negara, dan UU Tentang Desa dijalankan secara konsisten maka akan terjadi perubahan yang sangat luar biasa, di mana pertumbuhan ekonomi akan berkorelasi dengan pemerataan, keadilan, penyerapan tenaga kerja, dan kemiskinan.

"Bahkan, dapat mencegah terjadinya segala praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN)", papar Agun. 

Saat ini alokasi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) tak lagi berpusat di kementerian terkecuali untuk sejumlah program strategis yang berskala nasional maupun internasional, seperti industri pertahanan dan keamanan, hukum, agama, luar negeri, infrastruktur strategis integrasi nasional, dan atau program strategis nasional lainnya" tegas Agun.

Selebihnya anggaran itu teralokasikan pada Pemerintah Daerah (Pemda) baik tingkat desa, kabupaten/kota, maupun provinsi dengan porsi seperti piramida.

"Untuk itu tidak perlu lagi ada program yang sudah bisa dikerjakan di Pemda dianggarkan di pemerintah pusat, kementerian terkait.

Agun Gunadjar mendorong mengalihkan Dana Alokasi Khusus (DAK) setiap tahun sesuai kondisi objektif luas wilayah dan jumlah penduduk ke setiap provinsi, kabupaten, kota, serta desa dengan nilai semakin meningkat.

Alokasi anggaran ke daerah yang semakin besar mendorong lahirnya para pelaku ekonomi baru di provinsi, kabupaten, dan pemerintah kota.

"Ini akan menyerap ribuan bahkan jutaan tenaga kerja" kata Agun.

Pertumbuhan ekonomi pun akan semakin merata yang berdampak pada pemerataan dan keadilan di Indonesia.

Menurutnya konsep ini sesungguhnya telah dirancang melalui UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemda dan UU Nomor 39 tahun 2008 tentang Kementrian Negara.

"Alhamdulillah melalui perubahan UU Nomor 32 tahun 2004, yang salah satunya menjadi UU Nomor 6 tahun 2014, Pemerintahan Jokowi-JK konsisten melaksanakan melalui kucuran dana desa di APBN yang semakin meningkat. Mulai dari Rp 22 triliun pada 2015, hingga sekarang sudah menjadi Rp 70 triliun untuk desa dan Rp 3 triliun pada APBN 2019", lanjut Agun.

Ketua Panja UU No 32 Tahun 2014 ini menyarankan kurangi alokasi pemerintah pusat.

"Arahkan ke daerah disertai bimbingan teknis dan supervisi pusat dengan pengawasan yang ketat melalu sistem disertai reward and punishment" yang jelas, ujar Agun.

Dirinya mengandaikan jika desa kuat, otomatis kabupaten, kota, provinsi, dan negara menjadi kuat. Agun juga memaparkan, Indonesia merdeka bukan karena perbedaan ideologi antar agama seperti di Eropa dan Amerika. Indonesia merdeka karena penjajahan.

Karena penderitaan atas penjajahan itulah semua elemen bangsa yang berbeda agama, suku, bahasa, adat istiadat, dan latar belakang saat itu bersatu, fakta politik 1908 dan 1928 menunjukan hal tersebut, hingga akhirnya 1945 bangsa kita merdeka.

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya