Liputan6.com, New York - Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Nikki Haley, memberi bocoran soal proposal AS --yang belum diumumkan-- tentang perdamaian Israel-Palestina, dengan mengatakan bahwa dokumen yang disiapkan "memiliki banyak sisi yang akan disukai dan hal-hal yang tidak akan mereka sukai."
Haley mengatakan warga Israel dan Palestina serta negara-negara di seluruh dunia memiliki pilihan: fokus pada bagian-bagian yang tidak mereka sukai, yang katanya berarti kembali "ke status quo yang gagal dalam 50 tahun terakhir," atau fokus pada bagian-bagian yang mereka sukai dan mendorong perdamaian negosiasi untuk maju.
Kendati demikian, Haley juga mengatakan bahwa proposal itu "memerlukan waktu yang lebih lama" dan "teknologi baru" untuk bisa dipersiapkan, demikian seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (18/12/2018).
Baca Juga
Advertisement
Berbicara pada pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Selasa 18 Desember 2018, Haley tidak memberikan rincian nyata tentang apa yang telah dijuluki oleh Presiden AS Donald Trump sebagai "kesepakatan abad ini (deal of the century)."
"Ini jauh lebih lama. Ini mengandung lebih banyak detail yang bijaksana," kata Haley kepada dewan.
"Ia mengakui bahwa realitas di Timur Tengah telah berubah besar dan semakin penting."
"Orang-orang Palestina memiliki keuntungan dengan terlibat dalam negosiasi perdamaian," kata Haley.
"Rencana ini akan berbeda dari yang sebelumnya. Pertanyaan kritisnya adalah apakah responnya akan berbeda."
Rencana itu, yang dipelopori oleh menantu Presiden Trump, Jared Kushner, dan utusan AS Jason Greenblatt, dimaksudkan untuk menghidupkan kembali proses perdamaian yang macet dan tidak aktif antara Israel dan para pemimpin Palestina.
Macetnya negosiasi dipicu oleh status Yerusalem dan perluasan yang sedang berlangsung dari proyek pemukiman ilegal di Palestina yang diduduki.
Haley mengatakan, negosiasi akan bergerak maju ke arah perdamaian dan hal itu "membutuhkan pemimpin dengan visi nyata untuk melakukannya."
Namun para pemimpin Palestina telah menolak untuk berpartisipasi dalam upaya yang dipimpin AS sejak Desember 2017, ketika pemerintahan Trump berbalik dari kebijakan AS selama puluhan tahun dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke kota berjuluk Al Quds Al Sharif itu.
Sebagai tanggapan, Riyad Mansour, Duta Besar Palestina untuk PBB, mengatakan kepada wartawan bahwa rencana itu "mati pada saat kedatangan" dan mendesak agar AS kembali pada negosiasi yang berkonsensus.
"Dia (Haley) menolak untuk mendengarkan posisi kami yang telah didengarnya selama dua tahun terakhir dan dia tetap berlanjut tanpa mendengarkan. Ia kemudian melanjutkan dan bersikeras bahwa penggantian konsensus global dengan sesuatu yang sangat kabur, yang tidak kami ketahui akan berhasil," Kata Mansour.
"Dia salah. Itu tidak akan berhasil. Satu-satunya yang memiliki peluang sukses adalah menerapkan konsensus global."
Simak video pilihan berikut:
Di DK PBB, 8 Negara Uni Eropa Dukung Solusi Dua Negara
Segera sebelum pertemuan, delapan anggota Uni Eropa (UE) berdiri di luar ruang Dewan Keamanan PBB dan membaca pernyataan bersama yang menekankan "komitmen kuat dan berkelanjutan" Uni Eropa terhadap persyaratan yang disetujui secara internasional untuk perdamaian Israel-Palestina.
"Uni Eropa benar-benar yakin bahwa pencapaian solusi dua negara berdasarkan perbatasan 1967 dengan Yerusalem sebagai ibu kota kedua negara, yang memenuhi kebutuhan keamanan Israel dan Palestina, dan aspirasi Palestina untuk kenegaraan dan kedaulatan, mengakhiri pendudukan dan menyelesaikan semua masalah status terakhir ... adalah satu-satunya cara yang layak dan realistis untuk mengakhiri konflik dan mencapai perdamaian yang adil dan abadi," kata pernyataan dari 8 negara Uni Eropa itu.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, mengatakan pada akhir bulan lalu bahwa para pejabat AS telah mengatakan kepada pemerintah Israel bahwa mereka mengharapkan untuk melepaskan rencana yang sudah lama dinanti pada awal 2019.
Koordinator khusus PBB untuk Proses Perdamaian Timur Tengah Nikolay Mladenov mengatakan kepada dewan dia "tetap prihatin dengan melemahnya konsensus internasional dan tidak adanya upaya kolektif untuk mengakhiri penjajahan (Israel) dan merealisasikan negosiasi dua negara yang merupakan resolusi konflik Israel-Palestina ".
"Pada akhir 2018, kami tidak lebih dekat untuk menghidupkan kembali upaya untuk solusi yang dirundingkan," katanya.
"Tanpa cakrawala politik, semua upaya kolektif dan individu kami hanya berkontribusi untuk mengelola konflik daripada menyelesaikannya."
Mladenov juga melaporkan kepada dewan tentang kepatuhan Israel dengan resolusi Desember 2016 yang mengutuk permukiman ilegal Israel, dan mengatakan Israel telah "tidak ada langkah" untuk mematuhi resolusi dan terus memperluas permukiman dan membangun pemukiman baru.
Selama setahun terakhir, dia mengatakan bahwa "meskipun Gaza adalah yang paling mudah berubah, risiko ledakan di Tepi Barat juga telah meningkat."
Advertisement