Liputan6.com, Jakarta - Maraknya penyedia layanan financial technology (fintech) membuat pemerintah kini lebih selektif. Salah satunya dilakukan dengan melakukan pemblokiran terhadap sistem informasi sejumlah penyedia fintech yang tidak memenuhi aturan.
Adapun proses pemblokiran dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Sepanjang 2018, Kemkominfo melaporkan telah melakukan pemblokiran terhadap 738 sistem informasi fintech ilegal.
Dalam keterangan resmi yang diterima Tekno Liputan6.com, Kamis (20/12/2018), sistem operasi yang dimaksud terdiri dari 211 situs web dan 527 aplikasi fintech ilegal yang ditemukan di Google PlayStore.
Aksi pemblokiran situs web paling banyak dilakukan pada Desember 2018 yang mencapai 134 situs. Pada Desember 2018, aksi pemblokiran di aplikasi Google Play Store juga masuk dalam kategori paling banyak dengan 216 aplikasi.
Baca Juga
Advertisement
Dari data yang dihimpun, pada Januari sampai dengan Juli 2018 tidak ada situs web dan aplikasi yang diblokir. Baru pada Agustus 2018, Kemkominfo memblokir 140 aplikasi fintech ilegal di Google Play Store.
Untuk diketahui, pemblokiran ini dilakukan berdasarkan permintaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku instansi pengawas dan pengatur sektor jasa keuangan.
Selain OJK, pemblokiran ini diambil dengan mempertimbangkan aduan masyarakat melalui sistem aduan konten termasuk penelesuran mesin AIS milik Kemkominfo.
Untuk itu, masyarakat yang mengenali ada situs web atau aplikasi yang terindikasi masuk fintech ilegal, dapat melaporkannya melalui aduankonten.id atau akun Twitter @aduankonten.
Nantinya, laporan tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Satuan Tugas Waspada Investasi Ilegal yang beranggotakan lebih dari 13 Kementerian dan Lembaga.
Grab dan Go-Jek Bicara Peluang Fintech di Indonesia
Dua layanan ride hailing di Indonesia, Go-Jek dan Grab, pun mengakui pentingnya layanan fintech. Selain itu, keduanya melihat ada peluang besar layanan itu tumbuh di Tanah Air.
Go-Jek kian melebarkan bisnisnya dengan mendorong penggunaan berbagai transaksi di layanannya menggunakan dompet digital, Go-Pay.
Diungkapkan Managing Director Go-Pay, Budi Gandasoebrata, kebutuhan fintech lahir karena adanya celah antara jumlah pemilik rekening bank dan unbank (belum memiliki rekening bank). Fintech pun berusaha menyelesaikan masalah tersebut.
Penetrasi smartphone yang tinggi pun menjadi peluang manis bagi Go-Pay untuk memikat konsumen.
“Go-Pay masuk karena kami melihat tingginya penetrasi smartphone di sini. Lalu kami pun berusaha dengan Go-Pay, bagaimana memanfaatkan teknologi untuk finansial,” ujar Budi dalam acara GSI Scale Con 2018 di Jakarta, Senin (3/11/2018) malam.
Dijelaskannya, kebutuhan layanan finansial berbasis teknologi akan terus mengalami peningkatan. Terlebih lagi jika infrastruktunya terus mengalami peningkatan.
Advertisement
Penjelasan Bos Grab
“Ketika infrastruktur dibangun dan mereka semakin mengenal uang elektronik, baru setelahnya bisa naik kelas ke berbagai produk lainnya,” ucap Budi menambahkan.
Lebih lanjut, Executive Director Grab Indonesia, Ongki Kurniawan, mengatakan pertumbuhan penggunaan layanan fintech akan terjadi jika kebutuhannya semakin tinggi.
Hal ini, katanya, bisa dilihat dari kebutuhan driver Grab dari yang awalnya tidak memiliki rekening, kini harus memilikinya seiring dengan pendapatan yang kian meningkat.
Hal serupa pun dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan fintech.
“Tidak mudah memang untuk mengedukasi agar orang-orang mulai mengadopsi layanan tersebut. Ini menyangkut masalah kebutuhan,” kata Ongki.
(Dam/Isk)
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini: