Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP Djarot Saiful Hidayat menyempatkan diri berkunjung ke Museum Multatuli dalam safari kebangsaan di Kabupaten Lebak, Banten.
Djarot mengaku melihat perjuangan Multatuli melawan kolonialisme dan melihat potret kemiskinan. Mantan wagub DKI Jakarta itu yakin Jokowi terinspirasi Multatuli.
Advertisement
"Apa yang dilakukan oleh pemerintah sekarang adalah melawan kemiskinan, hijrah dari kemiskinan ke kesenangan, kebodohan. Indonesia pintar itu seperti itu. Saya yakin pak Jokowi juga diinspirasi oleh Mulatuli," kata Djarot usai mengelilingi museum Multatuli, Kamis, 20 Desember 2018.
Djarot pun terinsipirasi oleh roman Max Havelaar karya Multatuli. Bahwa pemimpin harus peduli kepada masyarakat miskin.
"Pemimpin harus merangkul, bukan memukul. Harus berkata baik, jangan menggebrak meja. Harus timbulkan keteduhan dan optimisme bukan ketakutan dan represeif," ucap mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Sekjen Hasto Kristiyanto juga mengatakan memilih pemimpin tidak yang represif. Dia pun mengilhami kunjungan sebagai pengingat nilai perjuangan manusia melampaui batas dan bertahan dari tekanan.
"Pesannya jangan memilih pemimpin yang represif. Pilihlah yang terus cari nilai kemanusiaan hidup. Itulah esensi dalam seluruh perjuangan, anti kolonialisme, anti peajajahan, anti penghisapan, yang terinspirasi dari Pancasila," kata Hasto.
Surat Bung Karno dari Ende
Kedatangan Hasto dan Djarot disambut oleh Kepala Museum Multatuli Ubaidillah Muchtar. Mereka lebih dulu melihat di area patung Multatuli, Saidjah, dan Adinda. Ubaidillah menerangkan kepada Hasto dan Djarot, patung-patung itu merupakan karya pematung terkemuka Dolorosa Sinaga.
Patung itu, menurut Ubaidillah melambangkan bersatunya manusia-manusia yang mendambakan keadilan tiada peduli ras dan bangsanya. Juga menganjurkan semangat mencari ilmu pengetahuan lewat buku.
Hasto bersama Djarot juga menilik barang-barang bersejarah milik Edward Dowes Dekker, pemilik nama asli Multatuli. Seperti novel Max Havelaar edisi pertama yang masih berbahasa Perancis (1876), tegel bekas rumah Multatuli, lukisan wajah Multatuli, peta lama Lebak, arsip-arsip Multatuli, dan buku-buku lainnya.
Mereka juga menyempatkan melihat surat Sukarno kepada sahabatnya Samuel Koperberg. Surat Sukarno kepada Samuel Koperberg dikirim dari pembuangannya di Ende. Isi surat 27 September 1935 itu, Sukarno mengungkapkan kondisi di tempat pembuangannya: sepi, jalanan berdebu dan hawa panas.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Advertisement