Rhenald Kasali: AS Marah Besar Waktu Jokowi Mau Eksekusi Freeport

Rhenald mengapresiasi langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai berani mengambil alih saham Freeport Indonesia.

oleh Nurmayanti diperbarui 23 Des 2018, 13:15 WIB
Freeport Indonesia (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia resmi mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia senilai USD 3,8 miliar. Sebelum kesepakatan tercapai, ternyata langkah Jokowi untuk mengeksekusi divestasi saham Freeport sempat membuat Amerika Serikat marah besar.

Ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali. "Saat Jokowi eksekusi, Jakarta selalu digoyang. Amerika marah besar bahkan sempat kirim pasukan yang merapat di Australia. Namanya juga negara adikuasa. Pakai psy war adalah hal biasa dalam mengawal kepentingannya. Belum lagi penembakan-penembakan di Papua, begitu negosiasi mencapai kesepakatan," jelas dia, seperti dikutip Minggu (23/12/2018).

Rhenald mengapresiasi langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai berani mengambil alih saham Freeport Indonesia. Apalagi banyak pihak yang sebelumnya mengatakan jika Freeport sudah saatnya diambil alih Indonesia.

Langkah ini dinilai membutuhkan keberanian. Rhenald mengaku tak heran pemimpin-pemimpin terdulu selalu memundurkan langkahnya untuk menguasai Freeport, karena berbagai rintangan yang ada. 

"Sekarang semua orang bisa bilang sudah saatnya. Tetapi menentukan saatnya sebelum waktunya tiba itulah leadership. Dan jangan lupa ide itu murah karena tak beresiko apa-apa, tetapi implementasi itu mahal karena yang menjalankan akan babak belur," tegas dia.

Apalagi, dia menambahkan banyak pihak tak bertanggung jawab yang berupaya mengambil keuntungan dari Freeport untuk diri sendiri. "Mafioso biayai preman-preman jalanan dan oknum aparat serta oknum-oknum politisi untuk memutarbalikkan cerita yang sebenarnya. Alhamdulillah Tuhan mencintai Indonesia. Semua rintangan kita bisa atasi," tutur Rhenald.

Rhenald mengatakan, untuk memahami kasus Freeport Indonesia ini harus bisa dibedakan Freeport Indonesia sebagai Perseroan Terbatas (PT) dan tanah yang ditambang oleh perusahaan tersebut yang berisikan mineral dan lainnya. 

Dalam kasus Freeport ini, tanah tambang yang ada di Papua masih dikuasai oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, dari dulu Indonesia mendapat uang konsesi, pajak dan lainnya.

Kemudian, Freeport Indonesia yang merupakan Perseroan Terbatas (PT) ini bukan aset negara. Di dalam PT ada aset, ada modal, saham, penelitian dan pengembangan, direksi, expertise, merek, teknologi, pasar dan lain-lain.

Dengan demikian PT bukan menjadi milik negara sehingga jika terjadi nasionalisasi maka akan dibawa oleh pemiliknya. 

"PT ini bukan milik kita. Itu dibawa asing ke tanah Indonesia dan kalau mereka diusir, pasti aset-asetnya itu diangkut semua keluar dan kita pasti tak bisa olah emas itu dengan cara-cara konvensional. Jadi kalau mau diambil, ya harus bayar kompensasinya. Kalau mau tanahnya saja, usir saja PT-nya, lalu bangun sendiri PT baru. Butuh 20-30 tahun dan sangat mahal untuk bisa membentuk itu semua," dia menjelaskan.

Menurut Rhenald, ‎Indonesia telah mengambil alih saham Freeport, sehingga bisa menjadi pemegang saham mayoritas. Sehingga bisa mendapat bagian lebih besar dan bisa memegang kendali, dari pengolahan dan teknologi yang selama ini tidak dikuasai.

Rhenald mengungkapkan, ‎keberhasilan akuisisi saham hingga menjadi pemilik mayoritas tidak selalu mendapat apresiasi. Dia pun menyebutkan masih ada pihak yang tidak senang bahkan menyalahkan pemerintah.

"Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan bangsa Indonesia. Orang seperti itu akan selalu ada di negeri ini. Mereka senang memakai Kacamata buram, dan selalu hanya mencari kesalahan," tandasnya.

Padahal, kata dia, Dunia justru menghargai langkah Pemerintah Indonesia mengambil alih saham Freeport. "Dunia justru sedang memuji betapa lihai dan pandainya pemimpin Indonesia," tutunya.


Benarkah Freeport Bisa Didapat Gratis pada 2021?

Infografis: Saham Freeport bisa didapatkan secara gratis di 2021? (Dok Kementerian BUMN)

PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) telah meningkatkan kepemilikan saham nasional pada PT Freeport Indonesia menjadi 51,23 persen. Peningkatan kepemilikan tersebut dengan membelinya senilai eharga USD 3,85‎ miliar.

Namun masih ada pihak yang menyayangkan keberhasilan ter‎sebut dan beranggapan Indonesi bisa menguasai Freeport Indonesia. Menurut beberapa orang, Freeport bisa didapat secara gratis setelah kontrak habis pada 2021. Benarkah?

Dikutip dari keterangan Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melalui akun Instagram @kementerinbumn, di Jakarta, Sabtu (22/12/2018), anggapan Indonesia bisa menguasai Freeport dengan gratis pada 2021 tersebut tidak benar.

Meski kontrak Freeport Indonesia habis pada 2021, tidak serta merta Indonesia bisa mendapatkan tambang yang terletak di Papua tersebut dengan gratis. Alasannya, kontrak yang dibuat pada 1991 atau zaman Presiden Soeharto‎ menyadera pemeritah karena ada opsi untuk diperpanjang sampai 2041.

Jika opsi dalam kontrak tersebut dilanggar, maka Indonesia terancam digugat di pengadilan internasional. Jika kalah dalam pengadilan tersebut, maka Indonesia diwajibkan untuk membayar ganti tugi senilai puluhan triliun.

Selanjutnya, kontrak Freeport Indonesia tidak sama dengan kontrak pada sektor minyak dan gas bumi (migas), yaitu setelah kontrak habis maka blok migas beserta asetnya dikembalikan ke pemerintah dan diserahkan ke Pertamina karena aset perusahaan migas dimiliki sepenuhnya oleh pemerintah.

Oleh karena itu, untuk bisa menguasai Freeport, Pemerintah Indonesia menggelar negosiasi dengan Freeport McMoran sebagai induk Freeport Indonesia. negosiasi ini untuk pengusahaan saham Inalum di Freeport Indonesia menjadi ‎51 persen sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tetang Mineral dan Batubara (Minerba).

Di tengah negosiasi, akhirnya pada September 2018 Freeport McMoran sepakat melepas sahamnya sebesar 41,64 persen sahamnya ke Inalum sehingga kepemilikan saham pihak Indonesia meningkat menjadi 51,23 persen. Pelepasan tersebut dengan membayar USD 3,85 miliar atau Rp 55 triliun pada akhir tahun ini.

 

Tonton Video Ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya