Liputan6.com, Jakarta PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) memastikan pembelian 10 persen saham PT Freeport Indonesia oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Papua tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Head of Corporate Communications and Government Relations PT Inalum, Rendi Witular mengatakan, tidak ada dana APBD Pemda yang digunakan untuk mendapatkan saham sebesar 10 persen tersebut.
Baca Juga
Advertisement
"Tidak sama sekali (membebani APBD)," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Senin (24/12/2018).
Bahkan, Pemda Papua akan mendapatkan keuntungan dengan masuk sebagai pemegang saham. Salah satunya laba bersih dari operasional PT Freeport Indonesia.
"Selain 10 persen saham, Pemda juga akan mendapatkan 6 persen dari laba bersih. Itu semua di luar anggaran CSR, royalti dan pajak daerah," kata dia.
Sementara terkait dengan pembayaran cicilan dari pembelian 10 persen saham Freeport Indonesia oleh Pemda Papua, Rendi menyatakan skema dan besarannya masih menunggu pembicaraan antara Pemda Papua dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Mimika.
"(Cicilan) Belum. Karena Inalum masih menunggu pembicaraan antara Pemda Papua dan Mimika terkait BUMD yang akan mereka bentuk bersama nantinya," tandas dia.
Rhenald Kasali: AS Marah Besar Waktu Jokowi Mau Eksekusi Freeport
Pemerintah Indonesia resmi mengambil alih 51 persen saham PT Freeport Indonesia senilai USD 3,8 miliar. Sebelum kesepakatan tercapai, ternyata langkah Jokowi untuk mengeksekusi divestasi saham Freeport sempat membuat Amerika Serikat marah besar.
Ini diungkapkan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali. "Saat Jokowi eksekusi, Jakarta selalu digoyang. Amerika marah besar bahkan sempat kirim pasukan yang merapat di Australia. Namanya juga negara adikuasa. Pakai psy war adalah hal biasa dalam mengawal kepentingannya. Belum lagi penembakan-penembakan di Papua, begitu negosiasi mencapai kesepakatan," jelas dia, seperti dikutip Minggu (23/12/2018).
Baca Juga
Rhenald mengapresiasi langkah pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai berani mengambil alih saham Freeport Indonesia. Apalagi banyak pihak yang sebelumnya mengatakan jika Freeport sudah saatnya diambil alih Indonesia.
Langkah ini dinilai membutuhkan keberanian. Rhenald mengaku tak heran pemimpin-pemimpin terdulu selalu memundurkan langkahnya untuk menguasai Freeport, karena berbagai rintangan yang ada.
"Sekarang semua orang bisa bilang sudah saatnya. Tetapi menentukan saatnya sebelum waktunya tiba itulah leadership. Dan jangan lupa ide itu murah karena tak beresiko apa-apa, tetapi implementasi itu mahal karena yang menjalankan akan babak belur," tegas dia.
Apalagi, dia menambahkan banyak pihak tak bertanggung jawab yang berupaya mengambil keuntungan dari Freeport untuk diri sendiri. "Mafioso biayai preman-preman jalanan dan oknum aparat serta oknum-oknum politisi untuk memutarbalikkan cerita yang sebenarnya. Alhamdulillah Tuhan mencintai Indonesia. Semua rintangan kita bisa atasi," tutur Rhenald.
Rhenald mengatakan, untuk memahami kasus Freeport Indonesia ini harus bisa dibedakan Freeport Indonesia sebagai Perseroan Terbatas (PT) dan tanah yang ditambang oleh perusahaan tersebut yang berisikan mineral dan lainnya.
Dalam kasus Freeport ini, tanah tambang yang ada di Papua masih dikuasai oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, dari dulu Indonesia mendapat uang konsesi, pajak dan lainnya.
Kemudian, Freeport Indonesia yang merupakan Perseroan Terbatas (PT) ini bukan aset negara. Di dalam PT ada aset, ada modal, saham, penelitian dan pengembangan, direksi, expertise, merek, teknologi, pasar dan lain-lain.
Dengan demikian PT bukan menjadi milik negara sehingga jika terjadi nasionalisasi maka akan dibawa oleh pemiliknya.
"PT ini bukan milik kita. Itu dibawa asing ke tanah Indonesia dan kalau mereka diusir, pasti aset-asetnya itu diangkut semua keluar dan kita pasti tak bisa olah emas itu dengan cara-cara konvensional. Jadi kalau mau diambil, ya harus bayar kompensasinya. Kalau mau tanahnya saja, usir saja PT-nya, lalu bangun sendiri PT baru. Butuh 20-30 tahun dan sangat mahal untuk bisa membentuk itu semua," dia menjelaskan.
Menurut Rhenald, Indonesia telah mengambil alih saham Freeport, sehingga bisa menjadi pemegang saham mayoritas. Sehingga bisa mendapat bagian lebih besar dan bisa memegang kendali, dari pengolahan dan teknologi yang selama ini tidak dikuasai.
Rhenald mengungkapkan, keberhasilan akuisisi saham hingga menjadi pemilik mayoritas tidak selalu mendapat apresiasi. Dia pun menyebutkan masih ada pihak yang tidak senang bahkan menyalahkan pemerintah.
"Hanya orang bodoh saja yang menyalahkan bangsa Indonesia. Orang seperti itu akan selalu ada di negeri ini. Mereka senang memakai Kacamata buram, dan selalu hanya mencari kesalahan," tandasnya.
Padahal, kata dia, Dunia justru menghargai langkah Pemerintah Indonesia mengambil alih saham Freeport. "Dunia justru sedang memuji betapa lihai dan pandainya pemimpin Indonesia," tutunya.
Advertisement