2 Fakta Letusan Dahsyat yang Melahirkan Gunung Anak Krakatau

Berikut fakta tentang dahsyatnya letusan yang melahirkan Gunung Anak Krakatau.

oleh Afra Augesti diperbarui 24 Des 2018, 18:35 WIB
Meski terus erupsi, status Gunung Anak Krakatau tetap waspada. (dok. Pos Pantau Gunung Anak Krakatau Lampung/Yandhi Deslatama)

Liputan6.com, Selat Sunda - Tsunami yang terjadi di Banten pada Sabtu, 22 Desember 2018, sekitar pukul 21.00 WIB, masih meninggalkan tanda tanya. Tak ada peringatan apa pun ketika air laut yang pasang tiba-tiba menerjang pinggiran pantai Anyer, Carita, hingga Tanjung Lesung.

Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan, gelombang tinggi tersebut diduga berasal dari aktivitas intensif Anak Krakatau --gunung berapi yang kini terus menunjukkan keaktifannya-- dan longsoran materialnya.

Anak Krakatau adalah gunung yang muncul pada 1927 pascaletusan Gunung Krakatau yang amat dahsyat pada Agustus 1883. Ini adalah letusan gunung berapi paling mematikan dalam sejarah modern.

Lebih dari 36.000 orang dilaporkan meninggal, sebagian besar tewas akibat cedera termal (terkena abu panas) atau tersapu tsunami yang diikuti dengan runtuhnya gunung berapi ke dalam kaldera di bawah permukaan laut. Letusan agung tersebut juga mempengaruhi iklim dan menyebabkan suhu turun di seluruh dunia.

Lalu, seperti apa fakta letusan dahsyat yang menyebabkan Anak Krakatau 'bergejolak' kembali dan memantik tsunami di Anyer? Berikut 2 ulasannya, seperti dikutip dari Live Science, Senin (24/12/2018).

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


1. Gunung Krakatau Purba

Letusan Gunung Krakatau 1883 (Wikipedia)

Gunung Krakatau terletak di Pulau Krakatau, Selat Sunda --selat yang memisahkan Jawa dan Sumatra. Aktivitas vulkanik di gunung setinggi 813 meter tersebut disebabkan oleh subduksi lempeng tektonik Indo-Australia ketika bergerak ke utara, menuju daratan Asia.

Pulau Krakatau memiliki lebar sekitar 3 mil dan panjang 5,5 mil (9 x 5 kilometer). Sebelum letusan bersejarah itu terjadi, Puau Krakatau memiliki tiga puncak gunung berapi yang saling terhubung: Perboewatan, yang paling utara dan paling aktif; Danan di tengah; dan yang terbesar, Rakata, yang berada di ujung selatan pulau.

Krakatau dan dua pulau di dekatnya, Lang dan Verlatan, adalah sisa-sisa letusan besar sebelumnya yang meninggalkan kaldera bawah laut di antara ketiganya.

Pada Mei 1883, kapten dari kapal Elizabeth (kapal perang Jerman) mengaku melihat awan kelabu di atas Krakatau. Dia memperkirakan ketinggian mega tersebut lebih dari 6 mil (9,6 km).

Dua bulan berikutnya (Juli), kapal komersial dan kapal wisata sewaan (carter) sering terlihat berlalu-lalang di Selat Sunda. Mereka kerap melaporkan bahwa mereka mendengar suara gemuruh dan awan pijar.

Lalu, pada Agusutus, penduduk yang tinggal di pulau-pulau terdekat Krakatau justru tidak menganggap semua pertanda itu sebagai sebuah isyarat. Warga justru menggelar pesta kembang api alami yang berasal dari letupan lava Gunung Krakatau. Langit memang terlihat terang karenanya, namun maut sedang mengintai orang-orang ini.

Pukul 12.53 WIB pada hari Minggu, 26 Agustus 1883, erupsi pertama mengirimkan awan panas dan material vulkanik, seperti pasir dan batu, sekitar 24 kilometer di udara di atas Perboewatan. Ilmuwan menduga bahwa puing-puing yang disebabkan karena aktivitas letusan sebelumnya, menjadi penyumbat puncak gunung. Sehingga, tekanan di ruang magma semakin memuncak.

Pada pagi hari, tepat tanggal 27 Desember, Gunung Krakatau 'menggeliat'. Empat ledakan dahsyat terjadi. Bahkan terdengar hingga ke Perth (Australia), sekitar 2.800 mil (4.500 km). Peristiwa ini membuat Perboewatan dan Danan 'tenggelam' ke kaldera di bawah laut.

Keempat letusan tersebut memecahkan ruang magma dan memuntahkan lava pijar ke air laut di sekitar pulau. Kejadian ini dikenal sebagai peristiwa phreatomagmatic. Air laut yang mendidih menciptakan bantalan uap super panas, yang membawa aliran piroklastik hingga 25 mil (40 km) dengan kecepatan lebih dari 62 mph (100 km/jam).

Tephra (pecahan batu vulkanik) dan gas vulkanik panas, menelan banyak korban jiwa di Jawa Barat dan Sumatra, tetapi korban meninggal lebih banyak disebabkan oleh terseret arus tsunami yang mematikan. Gelombang air laut setinggi hampir 36,5 meter (120 kaki), muncul karena runtuhnya gunung berapi ke dasar selat.

Ledakan akbar itu juga menyemburkan sekitar 11 mil kubik (45 km kubik) material vulkanik ke atmosfer. Langit berubah suram hingga sejauh 275 mil (442 km) dari gunung berapi. Sinar matahari tak pernah menampakkan wujudnya selama tiga hari. Abu bahkan berterbangan sejauh 3.775 mil (6.076 km).

Barograf di seluruh dunia mencatat bahwa gelombang kejut di atmosfer mengelilingi planet setidaknya tujuh kali. Dalam 13 hari, lapisan sulfur dioksida dan gas-gas lain mulai menyaring jumlah cahaya mentari yang dapat mencapai Bumi. Suhu global rata-rata turun 1,2 derajat lebih dingin selama lima tahun ke depan.


2. Anak Krakatau

Aktivitas Gunung Anak Krakatau dari udara yang terus mengalami erupsi, Minggu (23/12). Dari ketinggian Gunung Anak Krakatau terus mengalami erupsi dengan mengeluarkan kolom abu tebal. (Liputan6.com/Pool/Susi Air)

Pada tahun 1927, beberapa nelayan Jawa terkejut ketika melihat gumpalan uap dan puing-puing yang menyembur dari kaldera yang runtuh. Mereka sadar bahwa Gunung Krakatau bangkit dari tidurnya setelah terlelap selama 44 tahun.

Dalam beberapa minggu berikutnya, tepi kerucut baru muncul di atas permukaan laut. Dalam setahun, pulau itu tumbuh menjadi sebuah pulau kecil, yang kemudian dikenal dengan nama Anak Krakatau. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter (20 inci) per bulan. Setiap tahun Anak Krakatau menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter (20 kaki) dan lebih lebar 12 meter (40 kaki).

Catatan lain menyebutkan, penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun, dan jika dihitung maka dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi Anak Krakatau mencapai 190 meter (7.500 inci atau 500 kaki), lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya.

Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru. Saat ini, ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 230 meter di atas permukaan laut (mdpl), sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 mdpl.

Menurut Simon Winchester, jurnalis sains The Guardian, apa yang terjadi pada dahulu kala, suatu ketika akan terjadi kembali bila ditilik dari realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh.

Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan ini akan terjadi antara 2015-2083. Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga tidak bisa diabaikan.

Sementara itu, menurut Profesor Ueda Nakayama, salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau masih relatif aman meski aktif dan sering mengeluarkan letusan kecil.

Para pakar lain menyatakan tidak ada teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun ada, minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 Masehi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya