Liputan6.com, Jakarta - PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) kini resmi mengambil alih 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia (PTFI) senilai USD 3,8 miliar. Namun, berbagai kritikan pedas turut mengiringi pencaplokan salah satu tambang emas terbesar di dunia ini, sebab pemerintah kudu merogoh kocek guna mengakuisisi saham Freeport.
Menanggapi hal tersebut, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali mengaku prihatin atas rentetan ucapan miring berlebih tersebut.
Baca Juga
Advertisement
"Bangun Freeport itu bukan seperti kasih orang ngontrak tanah di atas tanah kita seperti ucapan wakil rakyat yang mungkin kurang paham atau belum pernah jalan-jalan ke areal tambang di puncak gunung," ungkapnya dalam keterangan tertulis, Senin (25/12/2018).
"Atau mungkin juga mereka belum pernah belajar corporate strategy dan corporate finance. Jadi wajar kalau orang kurang kompetensi berpendapat bebas. Lucu-lucuan bisa terjadi," tambahnya.
Dia beranggapan, getir juga melihat pernyataan para pengamat yang telah memaki bangsanya goblok atas upaya akuisisi saham PTFI ini. Padahal menurutnya, perwakilan negara telah membuat pusing petinggi Freeport dengan deal yang katanya hebat.
"Namun saya menduga, mereka yang ngamuk-ngamuk itu hanya kurang kompetensi saja. Maklum menganalisis Freeport ini complex. Ini gabungan macro-micro, corporate finance dan fiscal policy, masalah hukum dan lingkungan hidup, antara kepentingan domestik dengan global value chain," paparnya.
Selain itu, ia mengatakan, kesuksesan ini pun memiliki dampak politis yang cukup mengundang opini. "Jadi biasa saja. Kalau sudah cukup berilmu pasti mereka bisa lebih rendah hati dan tak main kasih cap goblok ppada orang lain. Saya yakin mereka akan sampai ke sana. Namun tentu harus banyak sabar dan belajar secara komprehensif," sambungnya.
Rhenald melanjutkan, ada perbedaan mendasar antara bumi Papua dan kekayaan alam yang dimiliki negara dengan perusahaan tambang yang dipunyai asing.
"Kita tak pernah mendirikan Freeport. Juga tak pernah taruh uang di perusahaan itu sehingga kita punya saham. Jadi kalau Freeport diusir atau berakhir (2021) yang kembali ke pangkuan kita ya cuma buminya saja, tanahnya. Lalu untuk eksploitasinya kita harus tanam modal juga bukan? Artinya keluar duit lagi, bukan?" jelasnya.
Memahami Lebih Teliti
Belakangan ini pula banyak pihak yang menyindir bahwa tambang Freeport sebetulnya adalah milik Indonesia, sehingga pembelian saham Freeport disebut aneh. Di sini Rhenald menjelaskan bahwa yang menjadi fokus tidak mentok pada tambang saja, melainkan perangkat-perangkat yang memungkinan terjadinya pengoperasian bisnis.
"PT-nya, which is di dalammya ada aset-aset, mesin-mesin, skilled worker, jaringan bisnis, dan lain-lain akan mereka angkat. Punya mereka kan? Mengangkatnya tidak sulit. Wong itu global company yang punya tambang di mancanegara," dia menambahkan.
Oleh karenanya, dia mengaku miris akan anggapan yang menyatakan Freeport bakal otomatis seluruhnya dikuasai negara pada 2021.
"Mereka mungkin kurang baca bahwa Kontrak Karya pertambangan ala Freeport ini tdk sama dgn KK di sektor migas yang kalau sudah berakhir akan jadi milik kita. Kasihanilah mereka yang kompetensinya masih perlu ditingkatkan tapi sudah berani omong besar. Pakai kata goblok lagi," cibir dia.
Advertisement