Liputan6.com, Jakarta Keberadaan alat pendeteksi tsunami, menjadi sorotan, terlebih saat munculnya bencana tsunami Selat Sunda. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengatakan, sebenarnya bukan hanya Buoy saja, tetapi ada Tide Gaude.
Tide Gaude merupakan alat pendeteksi tsunami yang dipasang di pantai. Alat ini dapat mendeteksi gelombang dengan mengukur perubahan permukaan laut atau pasang surutnya air. Sedangkan Buoy, alat yang dipasang di tengah laut atau diletakan jauh ditengah samudera, untuk membaca tsunami tersebut.
Advertisement
"Alat pendeteksi tsunami itu tidak hanya Buoy, termasuk Tide Gaude ini juga pendeteksi tsunami. Bedanya Buoy di laut lepas, Tide Gaude di pantai. Ini terbukti 4 Tide Gaude di Selat Sunda berfungsi dengan baik, dan mencatat dengan baik," ucap Kepala Pusat Meterologi Publik BMKG, Fachri Radjab, di kantornya, Jakarta, Senin (24/12/2018).
Dia menegaskan, alat tersebut juga masih bermanfaat, bilamana ini bisa menjadi warning untuk daerah lain, jika ada satu tempat yang sudah terdampak tsunami.
Meski demikian, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, menjelaskan, banyak faktor yang membuat pihaknya merasa kesulitan memprediksi tsunami di Selat Sunda. Salah satunya gelombang tinggi.
Menurutnya, tercatat ketinggian tsunami Selat Sunda 0,9 meter, berdasarkan data Tide Gaude. Tapi faktor gelombang tinggi, yang membuat kemarin ataupun pengaruh tofografi, diprediksi cukup berdampak.
"Jadi kemungkinan meningkatnya itu karena topografi setempat, atau karena ada amplifikasi dari gelombang naik tadi atau karena kedua-duanya," jelas Dwikorita.
Adapun saat ini, total untuk di Selat Sunda ada 4 Tide Gaude. Total keseluruhan sekarang di seluruh wilayah Indonesia ada 200.
"Yang berdiri sekitar 170 dan ada tambahan sekitar 30, itu yang berfungsi," kata Dwikorita.
Ke depan, dia meminta, gempa-gempa vulkanik, terutama ada yang di laut, BMKG bisa memperoleh datanya.
"Sehingga kami bisa mem-backup Badan Geologi, bila ada erupsi di gunung laut, kami bisa ikut memberikan peringatan dini. Itu kemarin kan gempa vulkanik, (sedangkan) yang masuk di BMKG adalah adalah sensor gempa tektonik. Selat Sunda ini ada vulkanik eruption, yang menimbulkan getaran, dan lemah hanya 3,5, tapi kami tidak punya informasi akibat getaran gunung berapi, sehingga kami tidak tahu," tutur Dwikorita.
Buoy Alami
Di tempat yang sama, Deputi Koordinator Bidang Infrastruktur Kemenko Maritim, Ridwan Jamaludin, yang juga mantan Kepala Deputi BPPT, menyadari Buoy memang sudah tak ada lagi di Indonesia. Baik itu rusak karena faktor teknis atupun dirusak.
"Kita semua tahu dulu ada Buoy untuk mendeteksi gelombang tsunami ketika masih jauh dari pantai. Dia mau karena gempa, letusan gunung berapi, ataupun meteor, begitu ada gelombang tsunami, itu tugas Buoy untuk mendeteksi. Tujuannya kan agar gelombangnya tidak datang bersamaan. Kalau Tide Gaude itu kan gelombangnya sudah di pantai," jelas Ridwan.
Karenanya, melihat kejadian Selat Sunda, bisa saja memanfaatkan pulau-pulau di sekitar, untuk dijadikan Buoy alami.
"Kita punya Pulau Krakatau, Pulau Panjang yang berfungsi sebagai Buoy alami. Sebelum sampai di Banten atau di Banten, dia (tsunami) sampai di pulau itu. Jadi kita punya waktu sekitar 20 menit. Kalau belum punya Buoy tsunami, kita gunakan itu," kata Ridwan.
Sebelumnya, pasca tsunami di Palu, Presiden Jokowi memerintahkan kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) agar memperbaiki alat pendeteksi gelombang pasang dan tsunami (Buoy).
"Saya perintahkan agar alat ini diperbaiki kemudian diawasi dan dijaga karena itu alat yang sangat penting dalam mendeteksi kejadian yang akan sangat terjadi," kata Jokowi.
Dia juga meminta kepada semua pihak agar menjaga alat tersebut. Sebab pengamanan alat-alat tersebut berguna untuk mendeteksi gelombang tsunami.
"Kita juga memerlukan kesadaran bersama masyarakat, kita semua agar alat-alat seperti itu tidak dirusak atau tidak diambil karena alat ini sangat berguna sekali," ungkap Jokowi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement