Separuh Lebih Alat Peringatan Dini Tsunami di Cilacap Rusak

Melansir data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), panjang garis pantai Cilacap mencapai 201,9 kilometer. Dan 105 kilometer di antaranya, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 25 Des 2018, 17:02 WIB
Pesisir pantai Cilacap rawan bencana tsunami. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, wilayah pesisir Cilacap, Jawa Tengah rawan terjangan gelombang tinggi, rob, hingga tsunami. Menilik potensi gempa yang kerap terjadi, bisa saja sewaktu-waktu tsunami menerjang.

Melansir data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), panjang garis pantai Cilacap mencapai 201,9 kilometer. Dan 105 kilometer di antaranya, berhadapan langsung dengan Samudera Hindia.

Adapun sisanya, 96,9 kilometer, merupakan garis pantai Laguna Segara Anakan dan pantai yang terlindung Pulau Nusakambangan.

Mempertimbangkan risiko tsunami, mutlak diperlukan alat peringatan dini tsunami untuk mengantisipasi korban lebih banyak atau kerugian material lebih besar. Apalagi permukiman penduduk dan kawasan industri banyak tersebar tak jauh dari bibir pantai.

Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap pun menyadari risiko bencana besar ini. Karenanya, bekerjasama dengan berbagai pihak, alat peringatan dini Tsunami pun di pasang di sepanjang garis pantai.

Total, sebanyak 53 unit Early Warning System (EWS) Tsunami telah dipasang. Jumlah yang diakui masih jauh dari cukup untuk mengcover seluruh area berisiko.

Celakanya, dari jumlah itu sebanyak 29 unit alat peringatan dini tsunami rusak. Sebagian besar tak lagi mau berbunyi. Sebagian lainnya, bahkan mati total.

Kepala Seksi alat peringatan dini tsunami BPBD Cilacap, Firman Baryadi mengatakan kerusakan disebabkan oleh korosi. Sebab, alat tersebut dipasang di bibir pantai.

Korosi menyebabkan perangkat pendeteksi dini tsunami yang terdiri dari receiver atau penerima sinyal dan sirine itu tak berfungsi normal.


Jaringan Informasi Kebencanaan Berbasis Komunitas

Ratusan bedeng pedagang di Cilacap rusak akibat terjangan gelombang tinggi, Juli 2018 lalu. (Foto: Liputan6.com/BPBD CLP/Muhamad Ridlo)

"Ya itu kebanyakan, karena ini dipasangnya kan di bibir pantai semua, itu korosi. Korosi menyebabkan konslet. Bahkan sudah ada yang tidak berfungsi total," dia menjelaskan, Senin, 24 Desember 2018.

Firman mengungkapkan, sebenarnya teknisi BPBD Cilacap sudah berupaya memperbaiki peralatan ini. Namun, tetap saja alat tak berfungsi normal.

Dari uji coba terakhir 10 Desember 2018 kemarin, hanya ada 24 EWS yang berfungsi normal. Adapun yang terpasang, kini tinggal 34 unit alat peringatan dini Tsunami.

Beberapa wilayah berisiko tinggi bahkan belum terpasang EWS. Di antaranya, Kecamatan Kampung Laut, yang berada di Laguna Segara Anakan, Cilacap.

Selain itu, kata dia, di beberapa wilayah, jumlah EWS masih kurang mempertimbangkan tingkat kebisingan wilayah industri. Misalnya, Donan dan Bunton.

"Di Donan dan Bunton masih kurang, di Adipala juga. Di Kampung Laut bahkan belum terpasang satu pun," dia mengungkapkan.

Untuk mengurangi risiko bencana akibat EWS yang rusak ini, BPBD telah berkoordinasi dengan tiap pemerintah desa dan pengurus masjid atau musala yang memiliki pengeras suara. Selain itu, dibangun pula komunitas kebencanaan dan saluran komunikasi cepat grup agar semua informasi cepat menyebar.

"Pengurus masjid akan segera memberi peringatan dini tsunami secara manual lewat pengeras suara, jika gempa terasa kuat di pesisir Cilacap atau menerima informasi dari kami," dia menerangkan.

Firman menjelaskan, EWS Tsunami dikendalikan dari Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) BPBD Cilacap. Di Pusdalops, tersedia Warning Receiver System (WRS) Tsunami yang dipasang oleh BMKG.

Perwira piket dan BMKG akan berkoordinasi untuk menyimpulkan apakah sebuah gempa berpotensi tsunami atau tidak. Jika disimpulkan berpotensi tsunami, maka perwira piket akan mengirimkan sinyal peringatan ke EWS Tsunami yang tersebar di sepanjang pesisir.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya