Liputan6.com, Jakarta - Misteri penyebab tsunami Selat Sunda, yang datang tanpa pertanda pada Sabtu malam, 22 Desember 2018 mulai terkuak. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyimpulkan, pemicunya adalah aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati mengungkapkan, Gunung Anak Krakatau terpantau erupsi pada Sabtu malam sekitar pukul 21.00 WIB, disusul tremor atau gempa vulkanik setara magnitudo 3,4.
Advertisement
Guncangan tersebut kemudian memicu terjadinya kolaps atau longsoran bawah laut, yang meluas hingga 64 hektare di bawah laut. Pergerakan gelombang air laut menyusul hingga menjelma menjadi tsunami.
Berdasarkan pemantauan citra satelit, tsunami setinggi 0,9 meter terpantau 24 menit setelah aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau.
Akibatnya fatal. Gelombang deras menerjang pesisir Selat Sunda, termasuk di Anyer yang sedang dipenuhi wisatawan.
Tsunami menerjang dari belakang panggung malam keakraban PLN, tepat ketika band Seventeen sedang beraksi. Setidaknya 373 orang meninggal dunia dan 1.459 lainnya luka-luka dalam musibah tersebut.
Tsunami Selat Sunda menjadi bukti bahwa gelombang gergasi bisa muncul tanpa didahului gempa tektonik. Dan, aktivitas gunung berapi bisa memicu tsunami.
Hal serupa pernah terjadi pada masa lalu. Bahkan lebih mengerikan.
Pada 2015, para peneliti yang melakukan studi di Kepulauan Cape Verde (Tanjung Verde) di Afrika Barat menemukan jejak mega-tsunami, yang kengeriannya tak terbayangkan oleh manusia.
Sekitar 73 ribu tahun lalu, Gunung Fogo runtuh seketika, memicu tsunami 800 kaki atau 243 meter yang melanda Pulau Santiago yang berjarak 30 mil atau 48 kilometer jauhnya.
Jika diperbandingkan, ketinggian terjangan air mencapai bagian atas Menara Eiffel yang tingginya mencapai 324 meter. Bahkan bisa menenggelamkan Patung Liberty yang tingginya 93 meter.
Saat ini, Gunung Fogo menjulang 2.829 meter di atas permukaan air laut. Sementara, Pulau Santiago, yang dulu menjadi wilayah terdampak paling parah, kini dihuni 250 ribu manusia. Tak terbayang apa jadinya jika hal yang sama terjadi saat ini.
Meski bencana tersebut terjadi di zaman prasejarah, hasil studi yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances memperingatkan bahwa runtuhnya gunung berapi bisa menimbulkan malapetaka, lebih dari yang dikira selama ini.
"Yang kami maksudkan adalah, peristiwa kolaps nya gunung berapi bisa terjadi sangat cepat dan katastropik. Yang bisa memicu tsunami raksasa," kata Ricardo Ramalho dari Lamont-Doherty Earth Observatory, Columbia University, Amerika Serikat. Untungnya, "itu tak sering terjadi."
Apapun, kata dia, manusia modern harus mempertimbangkan potensi bahayanya.
Kesimpulan itu sekaligus menghidupkan kembali perdebatan sengit di kalangan ilmuwan, tentang apakah gunung berapi bisa memicu mega-tsunami.
Para ahli sepakat, gunung api yang kolaps bisa menimbulkan bahaya. Seperti yang terjadi di Alaska dan Jepang dalam kurun waktu beberapa ratus tahun. Di antaranya bahkan memicu tsunami mematikan.
Sementara, sejumlah ilmuwan meragukan sebuah gunung besar bisa mendadak kolaps. Mereka berpendapat, gunung longsor dalam beberapa tahapan -- yang memicu serangkaian tsunami kecil.
Beberapa penelitian lain sebelumnya menyebut, sejumlah peristiwa kolapsnya gunung berapi pada masa prasejarah yang mengakibatkan megatsunami. Misalnya, di kepulauan Hawaii, Gunung Etna di Italia, dan Pulau La Reunion di Samudra Hindia. Namun, para kritikus mengatakan, contoh-contoh tersebut terlalu sedikit dan buktinya terlalu tipis.
Saksikan video terkait Gunung Anak Krakatau berikut ini:
Kaitan Gunung dan Mega-Tsunami
Meski menyebabkan kehancuran dan merenggut nyawa banyak manusia, tsunami di Aceh 2004 yang menewaskan sekitar 230 ribu orang dan gelombang gergasi yang menerjang Jepang pada 2011 tak masuk kategori 'mega-tsunami'. Sebab, ketinggian gelombang 'hanya' sekitar 30 meter. Penyebabnya pun gempa bawah laut, bukan vulkanik.
Sejumlah peneliti mengaku menemukan jejak tsunami setinggi 50 meter yang dipicu aktivitas Gunung Etna di Italia -- yang 6 mil persegi batuannya runtuh -- sekitar 8.000 tahun lalu.
Sementara, megatsunami Teluk Lituya terjadi pada 9 Juli 1958. Kala itu, gempa bumi berkekuatan 8,3 skala Richter memicu tanah longsor yang menyebabkan 30 juta meter kubik batu dan es dari tebing tinggi, menjatuhkan ke perairan.
Setelah itu gelombang setinggi 524 meter terbentuk. Jutaan pohon tumbang dan tersapu oleh bah. Itu adalah gelombang tertinggi yang pernah dikenal manusia. Bencana itu menewaskan 5 orang. Wilayah terdampak terpencil dari area yang ramai dihuni manusia.
Pada 2011, para ilmuwan Prancis juga menelaah tentang kolapsnya gunung Fogo, menyebut bahwa peristiwa tersebut terjadi 124 ribu hingga 65 ribu tahun lalu. Namun studi itu juga menyebut, itu tak hanya sekali terjadi. Peneliti Prancis memperkirakan, gelombang yang dipicu 'hanya' sekitar 45 kaki atau 13 meter.
Di sisi lain, studi terbaru pada 2015 memperkirakan, tsunami 800 kaki atau 243 meter akibat Gunung Fogo yang kolaps disebabkan batuan seluas 160 kilometer kubik yang dijatuhkan sekaligus.
Petunjuk dari Batu yang Salah Tempat
Penelitian Ricardo Ramalho dan timnya dilakukan di Pulau Santiago, yang terletak 55 kilometer dari Fogo. Di sana mereka menemukan jejak terjangan gelombang berupa sejumlah bongkahan batu raksasa (giant boulder). Ada yang sebesar truk van, lainnya berbobot mencapai 770 ton.
Batu itu tak mirip dengan struktur geologi di sekitarnya. Namun, cocok dengan batuan dasar laut di sekitar garis pantai. Padahal mereka berada di lokasi setinggi 650 kaki atau 198 meter dari permukaan laut. Bagaimana bisa terbawa ke atas?
Satu-satunya penjelasan realistis soal fenomena itu adalah: gelombang raksasa merobek batuan itu dari garis pantai dan mengangkatnya.
Berdasarkan ukuran dan berat batuan, para ilmuwan mencoba mengkalkulasikan energi yang dibutuhkan untuk membawa batuan tersebut dari dasar laut dan memprediksi ketinggian gelombang.
Ramalho dan ahli geokimia Gisela Winckler lalu mengukur isotop dari elemen helium yang tertanam dekat permukaan batuan raksasa -- isotop tersebut berubah tergantung pada berapa lama batu tergeletak di tempat terbuka, terpapar sinar kosmik.
Hasil analisis merujuk pada waktu sekitar 73 ribu tahun lalu. Lebih awal dari perkiraan tim peneliti dari Prancis.
Ahli tsunami, Bill McGuire, profesor emeritus di University College London yang tidak terlibat dalam penelitian berpendapat, studi terbaru memberikan bukti kuat pembentukan mega-tsunami dan mengonfirmasi bahwa ketika gunung api runtuh seketika, bencana seperti itu bisa terjadi.
Berdasarkan pemahamannya, McGuire mengatakan bahwa mega tsunami seperti itu mungkin terjadi sekali setiap 10 ribu tahun. "Menunjukkan adanya potensi bahaya nyata dan serius yang dimiliki cekungan laut yang menjadi rumah gunung berapi aktif," kata dia.
Meski terdengar mengerikan, Ricardo Ramalho buru-buru menggarisbawahi, hasil temuan mereka bukanlah 'pertanda' bahwa kejadian serupa akan terjadi dalam waktu dekat di sekitar Gunung Fogo atau di lokasi lainnya.
Advertisement