Jakarta Banyak cerita menarik dari sepak bola Indonesia. Selain soal PSSI, ada juga mengenai klub-klub yang usianya bahkan jauh lebih tua ketimbang induk organisasi sepak bola di Indonesia itu.
Sepak bola Indonesia bukanlah anak baru, karena sejal era 1910-an, geliat balbalan di Indonesia sudah mulai ramai. Dibawa oleh para bangsa penjajah, sepak bola di Indonesia sudah mulai dimainkan oleh orang-orang pribumi.
Baca Juga
Advertisement
Tercatat dua klub sepak bola tertua di Indonesia, yakni Rood-Wit di Batavia dan Vitoria di Surabaya menjadi embrio berkembangnya sepak bola di Indonesia. Rood-Wit yang berdiri pada tahun 1894 awalnya merupakan klub kriket.
Namun, berkembangnya sepak bola di seluruh dunia, membuat Rood-Wit ikut memainkan sepak bola. Begitu juga dengan Vitoria yang memang murni klub sepak bola.
Seiring dengan populernya sepak bola, klub-klub pribumi pun mulai bermunculan. Klub-klub tersebut akhirnya membentuk suatu bond yang dalam pandangan masyarakat modern merupakan klub secara keseluruhan.
Bond-bond tertua di Indonesia membentuk federasi sepak bola yang saat itu bertujuan untuk perjuangan kemerdekaan. PSSI akhirnya terbentuk berkat kerja keras bond-bond pribumi yang ingin berjuang untuk merdeka lewat sepak bola.
Ketika PSSI berdiri, kompetisi pun mulai digulirkan pada tahun 1931. Selepas tahun tersebut, kompetisi PSSI terus berjalan hingga kedatangan Jepang. Sempat terhenti, Kompetisi PSSI kembali menggeliat sejak saat ini.
Sebagian besar bond tua masih berdiri hingga saat ini. Bahkan beberapa di antaranya menjadi klub yang banyak didukung oleh masyarakat Indonesia. Eksistensi bond yang menjadi klub itu terus berjalan. Hingga kini, klub tersebut masih bisa kita lihat kiprahnya di sepak bola Indonesia.
Bola.com menyajikan 5 klub tertua di Indonesia serta kisah-kisah menarik yang mewarnai perjalanan mereka di perhelatan sepak bola Tahan Air. Simak satu per satu:
PSM Makassar (1915)
Lahir pada 2 November 1915 dengan nama Makassar Voetbal Bond, PSM Makassar merupakan klub tertua di Indonesia. Perjalanan panjangnya pun patut diketahui oleh para penikmat sepak bola Indonesia.
MVB saat itu tidak murni berisikan orang-orang pribumi, karena para jajarang pengurusnya diisi oleh campuran keturunan Belanda dengan pribumi asli. Meski demikian, MVB merupakan motor penggerak sepak bola di tanah Sulawesi.
Sejak kedatangan Jepang medio 1940-an, MVB mengalami kelimbungan. Pengurus-pengurus MVB yang keturunan Belanda ditangkap dan pribumi dijadikan romusha. Dengan keadaan seperti itu, praktis MVB lumpuh total. Saat itulah, Jepang merubah semua nama Belanda menjadi Indonesia demi menarik simpati. MVB pun berubah menjadi Persatoean Sepakbola Makassar yang kita kenal sebagai PSM.
Pada era setelah kemerdekaan, PSM mulai mengatur kembali roda organisasi. Achmad Saggaf, Ketua PSM saat itu, menjalankan roda kompetisi internal yang teratur. Selain itu, PSM pun mulai membuka diri dengan klub-klub di pulau Jawa dan PSSI.
Sejak saat itulah, komunikasi dengan PSSI terbuka lebar. Pesepak bola asli Makassar pun mulai mendapat kepercayaan untuk membuktikan kemampuanya di kompetisi PSSI. Bintang PSM pun bermunculan, salah satu yang melegenda adalah Ramang.
PSM pada era Ramang pernah berjaya tahun 1957 dengan menjuarai kompetisi PSSI. Sejak saat itulah PSM menjadi salah satu klub kuat di Indonesia. Gelar tersebut menjadi pembukan gelar-gelar juara lainnya. Juku Eja hingga saat ini sudah memperoleh enam kali gelar juara dan yang terakhir direbut pada Liga Indonesia 2000.
Hingga kini kiprah PSM terus berjalan. Aksi Juku Eja masih bisa dilihat dalam kompetisi Torabika Soccer Championshiop 2016 presented by IM3 Ooredoo.
Advertisement
PPSM Sakti Magelang (1919)
PPSM Magelang terlahir dengan nama Belanda, yakni Indonesische Voetbal Bond Magelang (IVBM). Bond atau perkumpulan IVBM didirikan oleh seorang pribumi bernama Wihardjo dan dibantu dengan empat klub, Mosvia, Stramvogels, HKS, dan Among Rogo.
Latar belakang IVBM adalah orang-orang terpelajar. Hal itu tak lepas dari Mosvia yang merupakan klub bentukan siswa-siswa Sekolah Pegawai Pangreh Praja yang bisa dibilang sekolahnya calon abdi kota. Lalu HKS adalah klub yang didirikan oleh siswa-siswa calon guru di Magelang.
Karena latar belakang itulah, IVBM menjadi salah satu penggerak perjuangan Indonesia melalui sepak bola. IVBM pada tahun 1925 mengubah namanya menjadi Persatuan Paguyuban Sepakbola Magelang (PPSM). PSSM juga menjadi salah satu bond pendiri PSSI pada tahun 1930. Tokoh intelektual mereka, yakni EA Mangindaan, merupakan kapten PPSM sekaligus siswa sekolah guru yang bernaung di klub HKS.
EA Mangindaan bersama perwakilan bond pendiri PSSI lainnya, hadir dan menjadi wakil Magelang dalam rapat-rapat pembentukan PSSI. Setelah PSSI terbentuk, PPSM pun berhak mengikuti rangkaian kompetisi PSSI.
Tapi, nama PPSM kurang mentereng jika dibandingkan dengan Persis Solo atau VIJ Jacatra. Sangat mirip seperti Pro Vercelli, klub tua di Italia, PPSM lebih banyak berkutat di kompetisi kasta bawah Indonesia.
Prestasi terbaik PPSM diukir pada 1935. Saat itu, PPSM turut bersaing dengan klub-klub kuat seperti Persis, PSIM, dan VIJ. Sayangnya, PPSM hanya meraih peringkat ketiga. Mereka tak mampu mengalahkan kedigdayaan Persis dan VIJ yang memang sedang bersaing sebagai yang terbaik di Indonesia.
Persis Solo (1923)
Pada tahun 1923, tiga tokoh dari dua klub besar di Kota Solo mendirikan sebuah perkumpulan sepak bola bernama Vorstenlandsche Voetbal Bond (VVB). Tujuan dari Sastrosaksono dari klub Mars dan R. Ng. Reksodiprojo dan Soetarman dari klub Romeo adalah untuk menggeliatkan sepak bola di Solo.
Arah VVB yang ingin menjadikan sepak bola sebagai alat perjuangan bangsa Indonesia, turut mengubah nama VVB menjadi lebih Indonesia. Di bawah kepemimpinan Soemokartiko, VVB resmi berubah menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Solo (Persis) pada tahun 1928.
Persis Solo tumbuh sebagai perkumpulan yang kritis yang ikut mendirikan PSSI. Melaui wakil bond, Soekarno, Persis turut aktif dalam rapat pembentukan PSSI pada 1930.
Seusai mendirikan PSSI, Persis pun aktif mengikuti kompetisi. Bond kebanggan Solo itu terjebak perseteruan sengit di lapangan dengan VIJ Jacartra atau pada masa kini dikenal dengan nama Persija.
Tahun 1930-an merupakan eranya Persis dan VIJ. Saling mengalahkan dan bertemu dalam kesempatan uji coba, Persis dan VIJ seakan seperti Genoa dan Pro Vercelli yang pada era itu juga menjadi seteru di Liga Italia.
Tahun 1935 menjadi tahun perdana Persis Solo juara kompetisi PSSI. Sebelumnya, mereka selalu kalah bersaing dengan VIJ dan PSIM Yogyakarta. Gelar tersebut dipertahankan tahun 1936. Sempat hilang gelar pada tahun 1937 dan 1938, Persis seperti berlari dengan meraup semua gelar juara pada tahun 1939 hingga 1943.
Tahun 1948, Persis kembali juara kompetisi tertinggi di Indonesa yang kali ini dikelola oleh pemerintahan Jepang di bumi nusantara.
Sayangnya langkah Persis pada era sepak bola modern tidak menyenangkan. Bahkan Persis kini tertinggal jauh dengan rival-nya di masa lalu, yakni Persija. Laskar Samber Nyawa mengalami masa-masa sulit. Solo justru menjadi kota transit bagi klub Ibu kota yang kalah bersaing dengan Persija.
Tercatat tiga klub Ibu kota numpang beken di Solo, mulai dari Arseto, Pelita Jaya, hingga Persijatim Jakarta Timur. Ketiganya dinilai hanya ingin mencari keuntungan dari masyarakat sepak bola Solo.
Kini, Persis Solo mulai bangkit dan merangkak dari kompetisi kasta kedua, yakni Indonesia Soccer Championship B.
Advertisement
Persebaya Surabaya (1927)
Persebaya Surabaya (1927)
Persebaya merupakan nama besar yang tercatat dalam sejarah sepak bola Indonesia. Berdiri pada 18 Juni 1927 oleh M. Pamoedji dan Paidjo dengan nama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB), perkumpulan pribumi itu menjadi salah satu saingan dari bond Soerabhaiasche Voetbal Bond (SVB) yang terbentuk pada 1910 oleh orang-orang Belanda.
SIVB menjadi bond kritis dari Jawa Timur. Keinginan untuk lepas dari pemerintahan Belanda di Indonesia, menjadikan SIVB setuju dengan berdirinya PSSI sebagai wadah perjuangan kemerdekaan melalui sepak bola.
Pendiri SIVB, Pamoedji, langsung menghadiri rapat-rapat pembentukan PSSI di Yogyakarta tahun 1930. SIVB juga merupakan salah satu klub kuat era 1930 dan 1940-an.
Pada 1943, SIVB mengubah nama menjadi Persatuan Sepakbola Indonesia Soerabaja (Persebaja). Dengan nama baru tersebut, Persebaya mulai eksis dengan gelar juara. Tahun 1950, 1951 dan 1952 menjadi hattrick gelar juara Surabaya.
Tahun 1960, Persebaja menjadi Persebaya sesuai dengan ejaan baru. Pada era 1970-an, Persebaya mencuat sebagai rival Persija Jakarta. Keduanya kerap berseteru dalam kompetisi PSSI. Tak hanya itu, keduanya pun menjadi penyumbang pemain timnas Indonesia
Era 1970-an, Bajul Ijo meraih satu gelar juara, yakni pada tahun 1978. Tahun tersebut, Persebaya sukses membalas dendam atas kekalaan dari Persija pada 1973. Gelar juara 1988 juga mempertegas rivalitas Persebaya dengan Persija.
Pada era Liga Indonesia, Persebaya meraih dua kali juara, yakni pada tahun 1997 dan tahun 2004. Setelah itu, Persebaya belum lagi mengalami gelar juara. Bahkan, Persebaya pada 2010 mengalami cobaan terberat dengan adanya dualisme. Tentu sangat disayangkan jika dualisme bisa menghilangkan sejarah gemilang Persebaya yang sangat panjang.
Persija Jakarta (1928)
Persija Jakarta terlahir dengan nama Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) pada November 1928. Didirikan oleh Soeri dan A. Alie di Tanah Abang, VIJ menjadi bond pergerakan untuk Indonesia merdeka.
Persija menjadi tim tersukses dalam sejarah sepak bola Indonesia. Bukti tersebut tersaji dalam torehan 10 gelar juara kompetisi PSSI. Tahun 1931, 1933, 1934, 1938, 1954, 1964, 1973, 1975, 1979 da 2001 menjadi tahun juara bagi Macan Kemayoran.
Lahir karena sikap diskriminasi pemerintahan Belanda, VIJ menjadi perkumpulan kritis yang mencetuskan lahirnya PSSI melalui rapat-rapat kecil di Jakarta pada tahun 1930. Saat rapat besar dan pencetusan PSSI, VIJ hadir dan diwakili oleh Sjamsoedin.
Pada awal kompetisi, VIJ menjadi juara pada tahun 1931, 1933, 1934 dan 1938. Mereka berseteru hebat dengan Persis pada kompetisi awal PSSI.
Di era VIJ, bond pribumi itu pernah diperkuat oleh Soemo dan Abidin. Kedua nama itu menjadi pemain yang mahsyur pada eranya. Pada tahu 1950, VIJ merubah nama menjadi Persija.
Era 1950an, Persija punya keuntungan yang besar dan banyak diisi pemain dengan teknik tinggi buah hasil bergabungnya klub-klub anggota VBO ke Persija.
Lain lagi dengan era 1960an, dimana Persija memetik gelar juara dengan tenaga-tenaga anak muda. Kala itu, kompetisi internal Persija bisa dibilang menjadi kompetisi amatir terbaik dengan banyak menghasilkan pemain-pemain legendaris. Soetjipto Soentoro salah satunya.
Era emas, alias 1970an, nama Persija sudah menjadi jaminan mutu. Bukan hanya karena sebagai salah satu tim elit Indonesia, tetapi juga sebagai pemasok pemain timnas terbanyak pada era itu. Bukti sahihnya adalah hampir kesebelas pemain timnas Indonesia adalah pemain Persija.
Deretan prestasi juga hadir pada era 1970an. Pada era tersebut, Persija meraih tiga kali gelar juara Kompetisi PSSI, yakni pada tahun 1973, 1975 dan 1979. Setelah era itu, Persija hanya hampir merengkuh gelar juara pada tahun 1988 karena kalah dari Persebaya 2-3 di final.
Meski saat ini sudah kembali mengenakan warna merah dan putih, Persija pernah juara di era Oranye. Pada Liga Indonesia tahun 2001, Bambang Pamungkas dkk memberikan kembali hadiah juara kepada warga Jakarta setelah puasa selama 22 tahun.
Saat ini, Persija masih terus eksis di sepak bola Indonesia. Sayang, sebagai bond tua dan sukses, Persija mempunyai masalah klasik. Tak adanya stadion selepeas Stadion Persija, Menteng, digusur, Macan Kemayoran seakan menjadi musafir dan jarang sekali menyentuh tanah Jakarta.
Sumber Bola.com
Baca Juga
Timnas Indonesia vs Filipina di Piala AFF 2024, Skuad Garuda Waspadai Dua Pemain Kunci The Azkals Ini!
4 Pemain Filipina yang Berpotensi Jadi Ancaman Timnas Indonesia di Piala AFF 2024, Bermain di Klub Jerman dan Norwegia
3 Fakta Sebelum Laga Timnas Indonesia vs Filipina di Piala AFF 2024: Garuda Pernah Alami Kekalahan Telak
Advertisement