Tsunami Selat Sunda Telah Diprediksi Sejak 2012, Ini 2 Temuan Para Ilmuwan

Tsunami Selat Sunda bukan peristiwa biasa. Gelombang raksasa dipicu aktivitas Gunung Anak Krakatau, bukan gempa tektonik.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 26 Des 2018, 13:22 WIB
Kendaraan melintas di antara puing-puing setelah tsunami menerjang kawasan Anyer, Banten, Minggu (23/12). Tsunami menerjang pantai di Selat Sunda, khususnya di daerah Pandenglang, Lampung Selatan, dan Serang. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Tsunami Selat Sunda bukan peristiwa biasa. Selama ini kita mengira, tsunami selalu diawali dengan gempa, setidaknya kekuatannya mencapai magnitudo 6,5 yang menggerakkan kerak bumi, memindahkan badan air di atasnya yang memicu penumpukan gelombang.

Biasanya, ada waktu emas (golden time) hingga 30 menit, untuk menyelamatkan diri, sebelum gelombang raksasa menerjang pantai.

Namun, bukan itu yang terjadi pada Sabtu malam 22 Desember 2018. Tanpa diawali lindu dan peringatan apapun, gelombang tsunami menerjang pesisir Banten dan Lampung, termasuk Pantai Tanjung Lesung yang kala itu ramai disesaki pengunjung. Orang-orang di sana tak sempat menyelamatkan diri. Setidaknya lebih dari 400 orang meninggal dunia akibat tsunami Selat Sunda.

"Tebing gletser yang runtuh, longsor, dan letusan gunung berapi juga dapat memicu gelombang besar," kata ahli geofisika, Mika McKinnon seperti dikutip dari nationalgeographic.com, Selasa (26/12/2018).

Meski datang tanpa peringatan, tsunami Selat Sunda Sabtu malam lalu sejatinya telah diprediksi oleh para ilmuwan. Prediksi itu disajikan secara detil dalam makalah berjudul Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia yang ditulis Dr Thomas Giachetti dari University of Oregon dan sejumlah ilmuwan.

Seperti dimuat volcanodiscovery.com, makalah tersebut diterbitkan pada Januari 2012. Berikut dua fakta di balik prediksi soal tsunami Selat Sunda:


1. Anak Krakatau Tak Stabil

Gunung Anak Krakatau. (dok BNPB)

Makalah tersebut memuat hasil pemodelan numerik yang menyimulasikan destabilisasi sebagian besar Gunung Anak Krakatau ke arah barat daya yang disusul pembentukan dan penyebaran tsunami.

Pulau Anak Krakatau tumbuh dengan pesat sejak kemunculannya dari dalam laut kali pertama diketahui pada 1928, setelah Krakatau meledakkan diri pada 1883. Di tengahnya ada kaldera yang dikenal sebagai Gunung Anak Krakatau.

Sejak saat itu, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, ia membangun kerucut yang tumpang tindih selama beberapa periode erupsi -- yang terakhir mulai pada Mei 2018 dan hingga kini masih berlangsung.

Pulau Anak Krakatau dibangun dekat dan berada di atas lereng bawah laut yang curam, margin timur laut cekungan kaldera yang ditinggalkan oleh letusan dahsyat Krakatau pada tahun 1883.

Itu mengapa, pulau tersebut rentan terhadap kegagalan gravitasi lereng (gravitational flank).

Konskuensi dari topografi bawah air ini, dikombinasikan dengan arus laut yang kuat, lereng barat Anak Krakatau telah berkembang menjadi jauh lebih curam daripada di sisi timur.

Giachetti dan sejumlah ilmuwan mengamati, Anak Krakatau terus tumbuh ke arah barat daya.

Longsor di sepanjang lereng tersebut akan diarahkan ke kaldera Krakatau pada 1883 dan akan memicu gelombang yang akan merambat ke Selat Sunda dan pecah di wilayah pesisir.


2. Ketinggian Tsunami

Aktivitas Gunung Anak Krakatau dari udara yang terus mengalami erupsi, Minggu (23/12). Dari ketinggian Gunung Anak Krakatau terus mengalami erupsi dengan mengeluarkan kolom abu tebal. (Liputan6.com/Pool/Susi Air)

Permodelan yang dibuat Dr Thomas Giachetti dan sejumlah ilmuwan juga memperkirakan ketinggian gelombang di sejumlah lokasi.

Di Anyer, misalnya, gelombang setinggi 1,5 meter akan tiba 38 menit setelah longsor terjadi.

Sementara, di pulau tetangga seperti Rakata atau Sertung, tsunami bisa setinggi 15-30 meter, yang akan tiba kurang dari semenit setelah longsor terjadi.

Dan, karena sistem peringatan tsunami lokal dibuat hanya mengandaikan gelombang raksasa hanya dipicu gelombang tektonik, tak ada peringatan yang bisa diberikan untuk orang-orang yang kala itu berada di sepanjang pesisir Selat Sunda.

Selain itu, longsoran lereng terjadi pada malam hari dan menghasilkan kolom abu besar, yang mencapai ketinggian sekitar 15 km, dan gelegar ledakan uap yang akibat interaksi tiba-tiba air dengan magma dan batuan panas yang tidak dapat dilihat oleh orang-orang.

Ketika gelombang tsunami tiba, ia menjadi kejutan yang sama sekali tak diinginkan.

Perlu dicatat bahwa laporan itu ditulis 6 tahun yang lalu. Di banding situasi yang dijelaskan pada 2012, kerucut Anak Krakatau saat ini lebih besar ke arah barat daya dan tinggi bertambah 30 persen.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya