HEADLINE: Gelegar Gunung Anak Krakatau dan Tsunami yang Masih Mengintai

Gunung Anak Krakatau belum berhenti erupsi. Muncul kekhawatiran aktivitasnya bisa kembali memicu tsunami.

oleh Mevi LinawatiIka Defianti diperbarui 27 Des 2018, 00:03 WIB
Aktivitas Gunung Anak Krakatau dari udara yang terus mengalami erupsi, Minggu (23/12). Dari ketinggian Gunung Anak Krakatau terus mengalami erupsi dengan mengeluarkan kolom abu tebal. (Liputan6.com/Pool/Susi Air)

Liputan6.com, Jakarta - Tiga hari pascatsunami, trauma masih menghantui warga di pesisir Selat Sunda. Rabu dini hari, 26 Desember 2018, ratusan warga di pesisir Teluk Lampung dilanda panik. Mereka cepat-cepat mengungsi, naik kendaraan hingga berlari menembus gelap. Kala itu, muncul kabar mengkhawatirkan: tsunami Selat Sunda konon akan kembali menerjang dalam hitungan menit.

Posko pengungsian di Balai Keratun, Kantor Gubernur Lampung, yang berada di dataran tinggi dan jauh dari pantai pun kembali penuh. 

"Saya kembali lagi, karena mendengar kabar nanti malam ada tsunami jam 01.00 WIB makanya saya kembali lagi mengungsi," kata Putri, pengungsi asal Kotakarang, Teluk Betung, Bandar Lampung, Rabu (26/12/2018).

Pada Sabtu, 22 Desember 2018 malam, usai tsunami menerjang pesisir Selat Sunda, Putri juga mengungsi di sana. 

"Bila sudah aman, saya dan keluarga akan pulang lagi ke rumah. Karena lebih nyaman tidur di rumah," kata Putri, yang rumahnya berjarak sekitar 500 meter dari pinggir pantai.

Bagi para penyintas, suara ombak dan angin yang dulunya biasa kini mampu bikin bulu kuduk berdiri. 

Kabar tsunami susulan tersebut menyebar dari mulut ke mulut dan pesan singkat yang dibagikan melalui telepon seluler. Banyak yang langsung percaya, tapi ada juga yang skeptis. Namun, sebagai langkah pencegahan, warga tetap ramai-ramai mengungsi. 

Masyarakat di pesisir Carita hingga Labuan, Banten, juga sempat di dikagetkan dengan naiknya permukaan air laut hingga meluber ke daratan atau rob Selasa lalu. Mereka awalnya mengira, itu adalah tsunami susulan. 

Ternyata kabar tsunami saat itu tak benar. Warga memang harus siap siaga, menjauhi bibir pantai, dan mempersiapkan mitigasi. Di sisi lain, mereka juga diminta mewaspadai hoaks. 

"Misalnya di Labuan, banyak yang hampir kecelakaan (karena hoaks)," ujar Kepala Operasional Basarnas Banten, Heru, saat dihubungi Liputan6.com.

Tsunami yang terjadi Sabtu malam, 22 Desember 2018 memang tak biasa. Tak ada gempa yang mengawali, tanpa peringatan apa pun. Akibatnya fatal, setidaknya 430 orang tewas di Banten dan Lampung. 

Aktivitas Anak Krakatau diyakini menjadi penyebabnya. Longsor terjadi di gunung yang miring itu, menyebabkan perpindahan air laut dan memicu gelombang tsunami. 

Hingga kini Anak Krakatau belum berhenti erupsi dan terus memperbesar dirinya. Tingginya saat ini mencapai lebih dari 338 meter, nyaris setengah dari ketinggian "induknya" yang mencapai 813 meter saat meledakkan diri pada 1883.

Pertanyaannya, apakah aktivitas Anak Krakatau bisa kembali memicu tsunami di Selat Sunda? 

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengaku pihaknya belum bisa memastikan apakah tsunami akan berulang. 

Yang jelas, peristiwa Sabtu malam menjadi pelajaran bahwa kewaspadaan perlu ditingkatkan karena Gunung Anak Krakatau masih aktif.

"Ada potensi yang pasti. Pertama, Gunung Anak Krakatau itu masih aktif, yang kedua sampai sekarang getaran tremor juga masih tercatat, juga itu menunjukkan aktifnya Krakatau," kata Rahmat kepada Liputan6.com, Rabu (26/12/2018).

Rahmat menambahkan, diprediksi masih ada ada material bongkahan lereng Anak Gunung Krakatau yang belum longsor dan masih berpotensi kolaps.

"Kalau terjadi bisa menimbulkan runtuhan dan masih bisa menimbulkan tsunami," tambah dia.

BMKG meminta masyarakat menjauhi pantai untuk sementara ini. Apalagi, gelombang sedang tinggi.  "Ya enggak ada salahnya kalau menjauh, tapi bukan berarti evakuasi," kata Rahmat. 

Berapa jarak aman agar terhindar dari potensi tsunami? Menurut dia, itu tergantung morfologi pantai. "Kalau di tebing, tentunya tinggi dan aman," kata Rahmat. "Kalau datar ya bahaya. Intinya begitu."

Infografis Tsunami Senyap di Selat Sunda. (Liputan6.com/Abdillah)

Sementara itu, Kepala Badan Geologi, Rudi Suhendar, mengatakan, kondisi Gunung Anak Krakatau saat ini masih terjadi letusan secara terus menerus. Karena itu pula, dimungkinkan ada rontokan di badan gunung. Erupsi yang masih terjadi pun belum bisa diprediksi kapan akan berakhir.

"Belum bisa, gunung api belum bisa diprediksi, agak lama," kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (26/12/2018).

Suhendar mengatakan, tim dari Badan Geologi belum bisa mendekat ke Gunung Anak Krakatau untuk memantau secara dekat. Sebab, cuaca saat ini tidak memungkinkan. "Cuacanya hujan terus," kata dia.

Karena itu, pihaknya belum memastikan kondisi gunung 100 persen dan potensi dampak yang bisa ditimbulkan.

Suhendar mengatakan, potensi terulangnya tsunami dari aktivitas Anak Krakatau bisa saja terjadi kalau ada runtuhan dari badan gunung seperti kejadian pada Sabtu malam, 22 Desember 2018. Saat itu, lereng gunung kolaps seluas 64 hektare dan ada tremor setara magnitudo 3,4 yang episentrumnya ada di Anak Gunung Krakatau.

"Makanya penting dilihat secara visual, di lapangan, untuk itu (mengetahui potensi bahaya). Sekarang semua dari udara, kita masih masih tunggu," kata dia.

Suhendar menuturkan, pihaknya juga belum bisa mengetahui, berapa luas badan gunung yang kolaps yang bisa memicu tsunami. Sebab, pantauan sekarang terbatas hanya dari sisi dua dimensi.

"Kalau sudah bisa lihat sisi tiga dimensi, volumenya bisa dihitung. Sifatnya kita sekarang masih waspada saja," kata dia.

Kekuatan gempa gunung api, kata Suhendar,  tidak bisa menjadi penyebab tunggal terjadinya tsunami. Gempa vulkanik sebelumnya diketahui lebih besar, tapi tak sampai memicu gelombang tinggi.

"Selama belum kita touch langsung untuk pengukuran, belum bisa. Kalau hanya sifatnya interpretasi dari foto ya belum bisa 100 persen," kata dia.

Penampakan jejak abu vulkanis Gunung Anak Krakatau yang tertangkap kamera satelit NASA pada 24 September 2018 (NASA)

Suhendar mengaku, pihaknya sedang mengidentifikasi gunung-gunung di Tanah Air yang mempunyai potensi mirip dengan Gunung Anak Krakatau. 

"Kalau gunung di laut itu di bagian timur ya kita sedang identifikasi, ya itu kan sudah menjadi pulau di sana, di Laut Banda ada gunung api, di Sulawesi Utara sudah besar. Kalau ini (Gunung Anak Krakatau) masih anak-anak," kata Suhendar.

Dia pun mengimbau warga yang tinggal di lokasi dekat dengan Gunung Anak Krakatau untuk tetap waspada terhadap tsunami

Tak hanya para ahli di Indonesia, fenomena tsunami Selat Sunda yang senyap juga jadi perhatian banyak ilmuwan asing.

"Potensi tsunami di Selat Sunda masih tinggi selama Anak Krakatau terus berada di fase aktif. Sebab, hal itu bisa memicu longsor bawah laut," kata Richard Teeuw dari University of Portsmouth, Inggris, seperti dikutip dari www.channelnewsasia.com.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Tsunami Selat Sunda Sudah Diprediksi?

Pemandangan dari udara wilayah Kota Lampung usai diterjang tsunami, Selasa (25/12). Jumlah korban akibat Selat Sunda terus bertambah, hingga selasa (25/12) siang data dari Kapusdatin Humas BNPB 429 orang meninggal. (Liputan6.com/Zulfikar Abubakar)

Meski datang tanpa peringatan, tsunami Selat Sunda Sabtu malam lalu konon telah diprediksi oleh para ilmuwan.

Prediksi itu disajikan secara detail dalam makalah berjudul Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia yang ditulis Dr Thomas Giachetti dari University of Oregon dan sejumlah ilmuwan.

Seperti dimuat volcanodiscovery.com, makalah tersebut diterbitkan pada Januari 2012. Makalah tersebut memuat hasil pemodelan numerik yang menyimulasikan destabilisasi sebagian besar Gunung Anak Krakatau ke arah barat daya yang disusul pembentukan dan penyebaran tsunami.

Pulau Anak Krakatau tumbuh dengan pesat sejak kemunculannya dari dalam laut kali pertama diketahui pada 1928, setelah Krakatau meledakkan diri pada 1883. Di tengahnya ada kaldera yang dikenal sebagai Gunung Anak Krakatau.

Sejak saat itu, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun, ia membangun kerucut yang tumpang tindih dan rentan ambrol selama beberapa periode erupsi--yang terakhir mulai pada Mei 2018 dan hingga kini masih berlangsung.

Pulau Anak Krakatau dibangun dekat dan berada di atas lereng bawah laut yang curam, margin timur laut cekungan kaldera yang ditinggalkan oleh letusan dahsyat Krakatau pada tahun 1883. Itu mengapa, pulau tersebut rentan terhadap kegagalan gravitasi lereng (gravitational flank).

Konskuensi dari topografi bawah air ini, dikombinasikan dengan arus laut yang kuat, lereng barat Anak Krakatau telah berkembang menjadi jauh lebih curam daripada di sisi timur.

Jika terjadi, longsor di sepanjang lereng tersebut akan diarahkan ke kaldera Krakatau pada 1883 dan akan memicu gelombang yang akan merambat ke Selat Sunda dan pecah di wilayah pesisir.

Permodelan yang dibuat Dr Thomas Giachetti dan sejumlah ilmuwan juga memperkirakan ketinggian gelombang di sejumlah lokasi. Di Anyer, misalnya, gelombang setinggi 1,5 meter diperkirakan akan tiba 38 menit setelah longsor terjadi.

Sementara, di pulau tetangga seperti Rakata atau Sertung, tsunami bisa setinggi 15-30 meter, yang akan tiba kurang dari semenit setelah longsor terjadi.

Dan, karena sistem peringatan tsunami lokal dibuat hanya mengandaikan gelombang raksasa hanya dipicu gempa tektonik, tak ada peringatan yang bisa diberikan untuk orang-orang yang kala itu berada di sepanjang pesisir Selat Sunda.

Gunung Anak Krakatau. (dok BNPB)

Saat dihubungi, Ahli Geologi Teknik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Imam Sadisun mengatakan, penelitian Dr Thomas Giachetti adalah menghitung potensi, bukan prediksi. 

"Memang tidak dihitung secara kualitatif kejadian. Jadi sebenarnya bukan prediksi dalam arti menentukan hari ataupun tahun, tidak bisa. Tetapi potensi terjadi, ada, bagaimana karakteristik dihitung benar oleh Giachetti, prediksi dengan skenario," kata Imam saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (26/12/2018).

Imam mengatakan, memang harus ada kajian yang berani menyatakan seberapa besar potensi letusan dan bahaya lain yang ditimbulkan tsunami pada 22 Desember 2018 lalu atau efek yang bisa ditimbulkan Gunung Anak Krakatau.

"Itu harus, jadi prinsip mitigasi itu tidak harus tahu kapan terjadi, tapi lebih ke seberapa besar potensi terjadi dan kedua bagaimana karakateristik kalau terjadi. Sehingga kita bisa melakukan antisipasi, termasuk pemantauan early warning system. Memang, kadang-kadang menurut saya kurang diperhatikan," kata dia.

Imam menilai, makalah dari Giachetti sangat bagus, karena benar-benar memperkirakan dengan banyak dasar, misalnya dari lereng arah barat daya yang sangat terjal dan letusan barat daya, posisi juga yang disebut juga tidak stabil.

Dia mengatakan, yang penting ke depan adalah waspada terhadap Gunung Anak Krakatau dan membangun sistem peringatan dini yang lebih mumpuni. 

"Walau kita tahu peringatan dini dibuat sejak Aceh terjadi tsunami (2004) banyak buoy yang dipasang tidak berfungsi semua...karena tempat-tempat tertentu sangat rawan, ya mestinya ada kewajiban dari BNPB, BMKG dan Badan Geologi bersama-sama untuk terus membuat sistem peringatan dini menjadi berfungsi terus. Jangan terus enggak ada," kata Imam.

Dia mengatakan, untuk ke depannya banyak antisipasi yang perlu dilakukan. Seperti, alat-alat yang sifatnya sederhana untuk memantau tsunami sebaiknya segera dipasang, diinstal. Tim pemantauan gunung api, terutama Anak Krakatau, juga harus intensif dan ketat terhadap gejala potensi letusan.

"Kemudian juga ini sayangnya kita belum bisa mendekat untuk memastikan, tapi ya banyak ahli yang berpendapat termasuk saya, ada bagian bagian dari hasil letusan gunung api yang mungkin masih bisa berguguran lagi, entah gara-gara letusan atau gempa yang dihasilkan pergerakan magma di bawah Gunung Anak Krakatau mengakibatkan gempa bumi vulkanik yang getarannya kita sebut sebagai tremor. Itu bisa memperlemah lereng-lereng yang ada," kata dia.

Dia menyebut, secara umum ada sembilan hubungan antara gunung api dan tsunami. Pertama, gempa bumi vulkanik, kedua letusan gunung api di bawah laut, ketiga, ada material-material dari letusan gunung api yang mengalir ke laut, keempat kadang-kadang ada kolaps atau runtuhan dari kaldera, dan kelima lereng gunung api yang longsor ke laut.

Kemudian keenam adalah lahar dalam jumlah banyak menuju ke laut, ketujuh ada letusan yang ditimbulkan karena percampuran antara panas dari magma maupun batuan pijar gunung api yang bercampur air.

Hubungan delapan, ada dorongan atau hentakan kuat dari letusan yang mendorong ke permukaan air, dan sembilan adalah fenomena collapse of lava bases -- magma yang keluar mengalir dan mati kemudian membentuk undukan atau hamparan, jatuh atau runtuh akibat terjangan lava cair.

"Saya sih memprediksi ada tiga yang mungkin terjadi di kasus Anak Krakatau. Yang utama itu yang kadang-kadang flank (lereng) Anak Krakatau yang mengarah barat daya runtuh," kata Imam.

Peristiwa kolaps tersebut juga merontokkan dinding lama lama yang terbentuk dan menumpuk dari letusan-letusan sebelumnya, yang terjadi selama ratusan tahun.

"Kedua, didorong juga aliran piroplastik, letusan-letusan yang baru ini masuk ke laut, dan ketiga karena letusan terjadi menghasilkan dorongan dan tekanan," kata Imam Sadisun.


Korban Terus Bertambah

Pemandangan kehancuran usai tsunami menerjang Kampung Sumur Pesisir, Pandeglang, Banten, Senin (24/12). Pascatsunami Selat Sunda, warga pulang untuk mencari barang berharga miliknya. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan, korban meninggal akibat tsunami di Selat Sunda masih terus bertambah. Data terbaru pada Rabu (26/12/2018) pukul 14.00 WIB menyatakan, korban meninggal saat ini mencapai 430 jiwa.

"Data kami hari ini jumlah korban meninggal dunia 430 jiwa, jumlah korban luka masih 1.485 jiwa, masih hilang 154 jiwa," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPBl Sutopo Purwo Nugroho saat konferensi pers di Kantor BNPB, Jakarta, Rabu, (26/12/2018).

Menurut Sutopo, hasil ini masih berupa data sementara. Jangkauan Tim SAR gabungan masih terus mencari korban hilang yang diduga masih berada di wilayah terisolir seperti di Kecamatan Sumur.

"Ini data sementara kemungkinan akan bertambah jumlah korban," jelas dia.

Sutopo mengatakan, nama-nama korban di beberapa daerah terindikasi ganda. Data ini sebelumnya didapat dari sejumlah posko di daerah terdampak. "Data dari posko kabupaten, TNI, Basarnas, dan sebagainya ada nama korban yang dobel," kata dia.

Dampaknya, jumlah korban dari masing-masing daerah berubah. Ada yang mengalami penurunan dan ada juga kenaikan. "Ada korban yang didata di Serang, tapi didata juga di daerah lain," ujar Sutopo.

Saat ini, Tim SAR gabungan fokus mencari korban di Kecamatan Sumur. Kendala saat menjangkau wilayah tersebut masih soal akses. Sutopo menjelaskan, perlu waktu hingga 4 jam kondisi normal menjangkau titik tersebut dari Pandeglang.

"Jadi kalau kondisi saat ini, akan lebih dari itu," tutur dia.

Selain jalur darat, Tim SAR gabungan terus menyasar daerah terisolir lewat akses udara dan laut. Disebutkan Sutopo, helikopter dan kapal patroli dan KRI dikerahkan untuk menyisir wilayah tersebut. Sutopo menuturkan, tsunami yang terjadi sekitar pukul 21.27 WIB tersebut berdampak pada lima kabupaten yaitu Pandeglang dan Serang di Provinsi Banten, serta Kabupaten Lampung Selatan, Pesawaran, dan Tanggamus di Provinsi Lampung.

Dari lima kabupaten tersebut, dampak terparah dialami Kabupaten Pandeglang tercatat 290 orang meninggal, 1.143 orang luka-luka, 77 orang hilang dan 17.477 orang mengungsi. Lalu di Kabupaten Lampung Selatan di mana korban jiwa mencapai 113 orang meninggal, 289 orang luka-luka, 14 orang hilang dan 4.200 orang mengungsi.

Sementara di Kabupaten Serang tercatat 25 orang meninggal, 62 luka-luka, 68 hilang dan 83 orang mengungsi, di Pesawaran ada satu korban jiwa, satu luka-luka dan 231 orang mengungsi. Sedangkan di Tanggamus terdata satu orang meninggal.

Masa tanggap darurat diberlakukan selama 14 hari untuk Kabupaten Pandeglang yaitu sejak 22 Desember 2018 hingga 4 Januari 2019. Sementara untuk di Lampung Selatan masa tanggap darurat selama tujuh hari sejak 23 hingga 29 Desember 2018.

"Kemungkinan nanti bisa diperpanjang disesuaikan kondisi lapangan. Rekomendasi di dapat dari BMKG dan PVMBG, sedangkan Pemerintah Daerah tetap yang memiliki kewenangan proses evakuasi, sementara BNPB, Kementerian/Lembaga, TNI/Polri dan yang lainnya akan menguatkan operasi evakuasi," ujar dia.

Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polri juga terus mengidentifikasi jenazah korban tsunami Selat Sunda yang telah dievakuasi. Sejauh ini, total yang telah berhasil diidentifikasi 321 jenazah, meliputi 104 korban yang ditemukan di wilayah Lampung dan 217 yang ditemukan di Banten.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo menuturkan, total jenazah yang teridentifikasi meliputi korban yang dievakuasi di wilayah Banten dan Lampung.

"Untuk yang di Lampung saat ini ada 110 korban yang berhasil dievakuasi tim gabungan ke beberapa rumah sakit. Dari 110, tim DVI berhasil identifikasi 104 jenazah. Sebagian besar sudah diserahkan ke pihak keluarga," ujar Dedi di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (26/12/2018).

Catatan yang dimiliki kepolisian, hingga Rabu siang total korban tsunami meninggal yang ditemukan di wilayah Banten sebanyak 238 orang. Dari jumlah itu, polisi telah mengidentifikasi 217 jenazah.

"Sebanyak 215 itu (yang telah teridentifikasi) sudah diserahkan ke pihak keluarga," ucap Dedi.

Data sementara kepolisian, korban tsunami yang masih dinyatakan hilang sebanyak 77 jiwa. Dedi mengimbau, masyarakat yang merasa kehilangan anggota keluarganya untuk melapor ke media center atau menghubungi hotline di nomor 085211672686, 085211672708, atau 085211672721.

"Masyarakat bisa laporkan juga. Media center akan melayani dan mengonfirmasikan ke posko. Posko akan mendatakan secara menyeluruh baik (korban) meninggal dunia, hilang, atau luka," kata Dedi. 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya