Liputan6.com, Aceh - Seikat melati terbaring di rumput. Bunga yang diikat dengan tali rafia hitam itu tampak layu dan kusut, kemungkinan ditaruh seseorang beberapa jam lalu.
Tidak berapa jauh dari melati itu, seorang ibu tampak termenung di pinggir beton pembatas kuburan. Mata perempuan paruh baya itu sembab, tangannya menengadah, mulutnya komat-kamit, tetapi, entah untuk siapa doa itu dia panjatkan.
Baca Juga
Advertisement
Saat itu, Liputan6.com berkesempatan mengunjungi salah satu kuburan massal korban tsunami Aceh yang ada di Kabupaten Aceh Barat. Sudah menjadi kebiasaan, setiap tanggal 26 Desember, warga di Aceh akan mengunjungi kuburan massal.
Mereka berziarah dan menghaturkan doa-doa untuk para korban bencana gempa dan tsunami yang melanda Aceh 14 tahun silam. Orang-orang berharap, jasad keluarga mereka yang tidak ditemukan, ada di antara yang dikubur itu.
"Saya dari Desa Babahrot, Blangpidie, Kabupaten Abdya. Saudara saya jadi korban tsunami Aceh, hingga saat ini jasadnya tidak ditemukan. Kami ke sini untuk berdoa," kata Jarlisa (24), kepada Liputan6.com, 26 Desember 2018, jelang sore.
Selain berdoa para pengunjung melakukan ritual seperti menaburkan bunga. Ada juga yang sekadar memercikkan air dari botol mineral yang mereka beli di kedai tak jauh dari tempat itu.
Di salah satu sudut kuburan yang dipilah menjadi beberapa petak itu, terdapat dupa yang masih berasap serta beberapa permen. Hal ini menunjukkan, bukan hanya umat Muslim saja yang datang ke tempat itu, tetapi juga etnis Tionghoa.
Semua sama-sama merasakan kehilangan. Tragedi yang memakan korban ratusan ribu jiwa tersebut menyasar siapa saja, entah Muslim, Kristen, atau etnis Tionghoa.
Musibah Itu Datang Tiba-Tiba
Tidak ada yang tahu, malapetaka itu datang tiba-tiba. Pagi itu, pukul 07.59 waktu setempat, gempa berkekuatan 9,1 sampai 9,3 Skala Richter mengguncang dasar laut di barat daya Sumatera, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai.
Dalam hitungan jam, gelombang tsunami akibat gempa mencapai daratan Afrika. Air bah menyapu hampir seluruh kawasan pantai barat selatan Aceh, dan memakan korban 130 ribu lebih jiwa.
Setelah sepekan lebih sempat terisolasi, aktivitas Kota Meulaboh mulai bergeliat meski hanya berlangsung di beberapa sudut saja. Saat itu, Liputan6.com sempat meliput langsung ke lokasi.
Sebagian toko bahan kebutuhan di daerah-daerah tertentu yang tidak parah diterjang Tsunami sudah mulai buka. Warga pun tak banyak berlalu-lalang di dalam kota, tetapi lebih banyak membersihkan permukimannya dari puing-puing.
Menjadi daerah yang dekat dengan pantai, menyebabkan infrastruktur yang ada di Aceh Barat rusak parah. Hanya dalam hitungan hari, berbagai bantuan berskala internasional berdatangan ke Aceh.
Yang Terkubur, Yang Dicintai
Kini, 14 tahun sudah musibah itu terjadi. Hanya doa-doa yang dapat dilakukan oleh para keluarga yang ditinggalkan, agar yang meninggalkan tenang di sisi-Nya.
"Tidak ada yang tahu, kapan musibah itu datang, kapan yang kita kasihi hilang, kapan mereka akan kembali atau bertemu dengan mereka kembali. Saat ini, hanya doa penanda kerinduan kita kepada mereka," kata seorang pengunjung, Santi (36).
Perempuan itu menatap lekat-lekat seikat melati layu yang ada di depannya. Melati itu bukan Santi yang menaruh, karena sudah ada sebelum dirinya datang ke kuburan massal yang ada di kawasan tepi pantai itu.
"Seperti yang menaruh seikat melati ini. Saya yakin, hanya keyakinan yang membuatnya datang ke sini. Ini kan nanti layu, namun keyakinan itu takkan layukan. Sampai kapan pun, setiap 26 Desember, semoga melati itu tetap ditaruh oleh siapa saja. Untuk mengenang dan mengabadikan," pungkasnya lalu beranjak.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement