Aksi Bakar Diri Seorang Jurnalis Picu Kerusuhan Meluas di Tunisia

Kerusuhan dilaporkan semakin meluas di Tunisia setelah seorang jurnalis membakar diri, sebagai protes terhadap kondisi ekonomi yang carut marut.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 27 Des 2018, 11:01 WIB
Petugas keamanan terus melakukan patroli menyusul kerusuhan yang meluas di beberapa kota di Tunisia, memprotes kondisi ekonomi nasional (AP/Mohamed bin Salah)

Liputan6.com, Tunis - Bentrokan antara demonstran dan pasukan keamanan terjadi di beberapa kota utama di Tunisia, sejak Rabu 26 Desember 2018, menyusul kemarahan atas kematian seorang wartawan yang membakar dirinya sendiri, sebagai protes terhadap kondisi ekonomi negara itu.

Selain di ibu kota Tunis, kerusuhan juga terjadi di Kota Kasserine yang terletak di wilayah barat, di mana polisi berkali-kali menembakkan gas air mata ke kerumunan anak muda yang melempari batu.

Dikutip dari The Guardian pada Kamis (27/12/2018), bentrokan juga terjadi di Kota Jbeniana yang menyebabkan seorang petugas polisi terluka, dan di Kota Tebourba, tempat di mana sedikitnya lima orang ditangkap, kata Walid Hakima, seorang juru bicara keamanan nasional.

Kerusuhan itu menyusul kematian wartawan Abderrazk Zorgui (32) pada Senin 24 Desember, setelah ia membakar dirinya sendiri di Kasserine. Dia diketahui melakukan aksi nekat tersebut karena pembungkaman pemerintah terhadap kritik atas kondisi ekonomi Tunisia.

Di lain pihak, Kementerian Dalam Negeri Tunisia mengatakan satu orang telah ditangkap karena diduga sebagai provokator, yang memicu kemarahan berupa aksi bakar ban hingga pemblokiran jalan.

Sementara itu, 13 orang lainnya turut ditangkap di Kasserine karena "tindakan penghancuran" selama kerusuhan, kata Hichem Fourati, seorang juru bicara kementerian dalam negeri.

Dalam sebuah video sebelum kematiannya, Zorgui mengatakan "untuk anak-anak Kasserine yang tidak memiliki sarana penghidupan, hari ini saya memulai revolusi".

"Aksi bakar diri Zorgui adalah tanda penolakan terhadap situasi bencana, ketidakseimbangan regional, pengangguran yang tinggi di antara kaum muda dan kesengsaraan, di mana banyak warga negara serasa hidup di pedalaman," kata surat kabar Tunisia Le Quotidien.

"Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa semua pemimpin negara ini bertanggung jawab atas kesusahan pemuda kita, keputusasaan dan frustrasi mereka," lanjut surat kabar tersebut dalam editorialnya.

 

Simak video pilihan berikut: 


Kilas Balik Pemicu Revolusi Musim Semi di Arab

Ilustrasi (AFP)

Sebelumnya, aksi bakar diri juga sempat memicu revolusi di Tunisia. Pada 2010, seorang pedagang kaki lima nekat menyalakan api di tubuhnya sebagai protes terhadap pelecehan oleh polisi.

Hal tersebut yang kemudian memicu gerakan meluas di Jazirah Arab dan Afrika Utara, di mana dikenal sebagai momen musim semi Arab, atau Arab Spring pada 2011.

Kasserine adalah salah satu kota pertama yang begerak melakukan revolusi setelah kematian pedagang bernama Mohammed Bouazizi itu. Kerusuhan yang bermula di sana berhasil menggulingkan pemerintahan diktator Zine al-Abidine Ben Ali.

Terlepas dari transisi demokratis sejak itu, pihak berwenang Tunisia masih berjuang untuk berbenah menghadapi inflasi dan pengangguran yang merajalela.

"Ada perpecahan antara kelas politik dan kaum muda, terutama mereka yang hidup dalam ketidakamanan di pedalaman Tunisia, yang melihat ketidapkastian pada masa depan mereka," kata Messaoud, presiden Forum Tunisia untuk Hak Ekonomi dan Sosial.

Selain itu, dalam beberapa bulan terakhir, kehidupan politik di Tunisia telah dilumpuhkan oleh perebutan kekuasaan menjelang pemilihan presiden tahun 2019.

Di saat bersamaan, persatuan wartawan nasional Tunisia menyerukan aksi protes umum pada 14 Januari untuk menandai peringatan kedelapan revolusi Arab Spring.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya