Liputan6.com, Jakarta - Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status Gunung Anak Krakatau (GAK) dari waspada menjadi siaga. Langkah ini diambil menyusul intensitas Gunung Anak Karakatau yang makin aktif.
Menurut Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo, erupsi Gunung Anak Krakatau tidak berpotensi tsunami. Hal ini dilihat dari karakteristik erupsi, yaitu tipe strombolian.
Advertisement
"Tipe strombolian itu enggak menyebabkan tsunami secara langsung. Magma yang keluar setelah gelegar mengalir pelan-pelan menyentuh air. Dan itu tidak menimbulkan tsunami," kata Antonius dalam keterangan pers di Gedung ESDM, Jakarta Pusat, Kamis (27/12/2018).
Antonius menambahkan, yang perlu diwaspadai adalah longsoran lereng Gunung Anak Krakatau. Tsunami bisa terjadi bila ada material besar yang masuk ke dalam air.
Bantah Fase Mematikan
Antonius menegaskan, aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini tidak dalam fase mematikan. "Tidak benar masuk fase mematikan. Kalau orang naik ke puncak Krakatau ya mematikan. Tergantung konsteksnya apa," beber Antonius.
Ia meminta masyarakat di wilayah pantai Provinsi Banten dan Lampung untuk tetap tenang dan dapat melakukan kegiatan seperti biasa dengan senantiasa mengikuti arahan BPBD setempat.
Sebelumnya, pada tanggal 26 Desember dilaporkan terjadi hujan abu vulkanik di beberapa wilayah, yakni di Cilegon, Anyer dan Serang. Tim Tanggap Darurat PVMBG telah melakukan cek lapangan, untuk mengkonfirmasikan kejadian tersebut dan melakukan sampling terhadap abu vulkanik yang jatuh.
Terkait potensi bencana erupsi Gunung Anak Krakatau, Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) menunjukkan hampir seluruh tubuh Gunung Anak Krakatau yang berdiameter kurang lebih 2 km merupakan kawasan rawan bencana.
Potensi bahaya dari aktivitas Gunung Anak Krakatau saat ini adalah lontaran material pijar, aliran lava dari pusat erupsi dan awan panas yang mengarah ke selatan. Sedangkan sebaran abu vulkanik tergantung dari arah dan kecepatan angin.
Kronologi Peningkatan Status Anak Gunung Krakatau
Gunung Anak Krakatau yang terletak di Selat Sunda adalah gunungapi strato tipe A dan merupakan gunungapi muda yang muncul dalam kaldera, pasca erupsi paroksimal tahun 1883 dari kompleks vulkanik Krakatau.
Aktivitas erupsi pasca pembentukan dimulai sejak tahun 1927, pada saat tubuh gunungapi masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 1929. Sejak saat itu dan hingga kini Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar).
Saat ini Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter dari muka laut (pengukuran September 2018). Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi eksplosif lemah (strombolian) dan erupsi efusif berupa aliran lava.
Pada tahun 2016 letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan pada tahun 2017 letusan terjadi pada tanggal 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian. Sejak tanggal 29 Juni 2018, Gunung Anak Krakatau kembali mengeluarkan letusan hingga tanggal 22 Desember berupa letusan strombolian.
Tanggal 22 Desember, seperti biasa hari-hari sebelumnya, Gunung Anak Krakatau mengeluarkan letusan. Secara visual, teramati letusan dengan tinggi asap berkisar 300 - 1500 meter di atas puncak kawah.
Secara kegempaan, terekam gempa tremor menerus dengan amplitudo overscale (58 mm). Pukul 21.03 WIB terjadi letusan, selang beberapa lama ada info tsunami. Berdasarkan citra satelit yang diterima oleh PVMBG, sebagian besar dari tubuh Gunung Anak Krakatau telah hilang dilongsorkan, yang kemudian diketahui menyebabkan tsunami di beberapa wilayah di Provinsi Lampung dan Banten.
Pasca kejadian tsunami tersebut, aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tetap tinggi. Secara visual gunungapi terlihat jelas hingga tertutup kabut. Teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal tinggi sekitar 500 meter dari puncak dengan angin bertiup lemah hingga sedang ke arah utara dan barat daya. Kegempaan masih didominasi oleh tremor menerus dengan amplitudo mencapai 32 mm (dominan 25 mm).
Perkembangan 22-26 Desember 2018, teramati asap kawah utama berwarna kelabu hingga hitam dengan intensitas tipis hingga tebal tinggi sekitar 200-1.500 meter dari puncak. Berdasarkan data Citra Sentinel tanggal 11 Desember 2018 dan 23 Desember 2018 terlihat bahwa sebagian lereng sektor Barat sampai Selatan terlihat telah mengalami longsor yang diperlihatkan dari perbandingan citra sebelum dan sesudah kejadian tsunami. Pada periode tersebut terjadi gempa Tremor Menerus dengan amplitude 08-31 mm, dominan 25 mm.
Pada tanggal 26 Desember 2018 letusan berupa awan panas dan surtseyan. Awan panas ini yang mengakibatkan adanya hujan abu termasuk yang terekam pada 26 Desember 2018 jam 17.15 WIB. Dari Pos Kalianda, jam 12 malam melaporkan suara gemuruh dengan intensitas tinggi.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement