Benarkah Kehadiran Robot Bisa Ancam Tenaga Kerja Perempuan?

Akibat kehadiran robot, kesetaraan upah bisa makin lama terealisasi. Di mana solusinya tak lain dengan menambah jumlah pekerja wanita, agar tingkat upah makin meningkat.

oleh Jeko I. R. diperbarui 27 Des 2018, 19:00 WIB
Ilustrasi Robot (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan teknologi kecerdasan buatan dan otomatisasi digadang-gadang sebagai kemajuan dalam kehidupan.

Namun, ini ternyata juga menimbulkan kemunduran, yakni dalam hal kesetaraan upah tenaga kerja, khususnya kalangan perempuan.

Dilansir dari CNBC, Kamis (27/2018/2018), menurut sebuah laporan terbaru dari World Economic Forum, mengindikasikan bahwa pertumbuhan lapangan kerja di industri-industri berkembang, seperti IT dan teknik, merugikan pekerja perempuan. Di mana pada akhirnya, berdampak pada ketidaksetaraan upah.

Kesenjangan upah antar laki-laki dan perempuan secara rata-rata telah menyempit selama beberapa tahun terakhir.

Namun, memang masih butuh waktu panjang sampai kesetaraan tercapai atau perkiraan sejauh ini butuh 202 tahun.

WEF menilai, akibat kehadiran robot, kesetaraan upah ini bisa makin lama terealisasi. Di mana solusinya tak lain dengan menambah jumlah pekerja wanita, agar tingkat upah makin meningkat.

"Kita sedang melihat perubahan struktural besar, yang menurut saya menciptakan hambatan pada upaya menuju kesetaraan gender," kata Direktur Pelaksana dan Kepala Agenda Sosial dan Ekonomi di WEF, Saadia Zahidi.


Dua Faktor Utama

Ilustrasi robot pembuat burger, Creator. (WANG ZHAO/AFP)

Zahidi mengatakan, ada dua faktor utama yang menyebabkan perubahan struktural ini.

Pertama, banyak pekerjaan yang biasanya diisi oleh perempuan, seperti administrasi dan layanan pelanggan, sedang diotomatisasi oleh teknologi baru.

Kedua, jenis lapangan kerja yang sedang tumbuh, seperti teknik mesin dan big data di sektor IT, pekerja ahli perempuan sangat jarang ada.


Teknologi Kecerdasan Buatan Merugikan Perempuan

Ilustrasi Robot (iStockPhoto)

Paling menonjol terlihat pada industri kecerdasan buatan yang kesenjangan gendernya tiga kali lebih besar daripada di sektor lain. Dengan jumlah pekerja perempuan hanya 22 persen dari total tenaga kerja.

Dampaknya, teknologi kecerdasan buatan nantinya juga akan merugikan perempuan.

Sebab, dengan tenaga kerja ahli yang kebanyakan laki-laki, dikhawatirkan teknologi ini hanya ramah pada kaum adam.

"Sangat penting bahwa orang-orang yang menciptakan AI mewakili populasi secara keseluruhan," ujar Kepala kecerdasan buatan dan pembelajaran mesin WEF, Kay Firth-Butterfield.

Reporter: Merdeka

Sumber: Merdeka.com

(Jek)

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya