Liputan6.com, Jakarta Organisasi Angkutan Darat (Organda) menyambut baik terbitnya aturan baru terkait dengan taksi online. Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggara Angkutan Sewa Khusus.
"Kita mendukung kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Perhubungan agar yang online ini mengikuti aturan, sebagaimana diamanatkan PP 74 Tahun 2014," ujar Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat (28/12/2018).
Baca Juga
Advertisement
Dia mengungkapkan, salah satu yang diapresiasi Organda yaitu soal penetapan tarif batas bawah dan batas atas untuk taksi online. Dengan batas tarif Rp 3.500-Rp 6.500 per kilometer (km), maka sama dengan batas tarif untuk taksi konvensional.
"Untuk tarif, kepentingannya itu selain itu untuk pemilik atau pengemudi tapi konsumen. Supaya konsumen memiliki kepastian. Untuk tarif kita oke, karena supaya persaingan jadi lebih sehat. Dan KPPU harus tampil untuk memonitor, supaya semua usaha terjamin. Jadi tidak menjadi predator," kata dia.
Namun demikian, yang masih menjadi perhatian Organda yaitu soal uji layak kendaraan atau biasa dikenal dengan KIR. Menurut Shafruhan, kewajiban uji KIR harus tetap diberlakukan bagi taksi online untuk memberikan keamanan bagi konsumennya.
"Cuma masalah KIR, itu batasnya seperti apa, apakah tetap ada atau tidak. Kalau mobil baru itu mungkin itu siap (untuk beroperasi). Dan kalau dihapuskan itu ada pelanggaran terhadap UU. Kalau kendaran baru mungkin masuk akal (jika tidak diuji KIR). Tapi kalau sudah 2-3 tahun kontrolnya nanti seperti apa. Namanya barang bergerak, tingkat kehausanya berbeda-beda," tandas dia.
Kemenhub Keluarkan PM 118 yang Atur Angkutan Sewa Khusus
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) resmi mengeluarkan PM 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Angkutan Sewa Khusus untuk menggantikan PM 108 Tahun 2017.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat (Dirjen Hubdat) Budi Setiyadi bersama dengan Direktur Angkutan dan Multimoda, Ahmad Yani menyatakan bahwa pihak Kemenhub tetap mengutamakan keselamatan dengan menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM), penetapan batas tarif serta penerapan suspend.
Hal ini disampaikan dalam konferensi pers yang dilaksanakan di Ruang Singosari, Kementerian Perhubungan pada Rabu (26/12/2018).
Salah satu hal yang ditekankan adalah perihal suspend yang selama ini dikeluhkan oleh para pengemudi.
"Kemenhub sudah meminta aplikator untuk membagi suspend ke dalam beberapa kriteria yaitu ringan, sedang, berat dan sangat berat. Untuk suspend sedang, akun driver yang terkena suspend bisa dikembalikan lagi. Kalau termasuk kriteria berat harus dipertimbangkan, sementara kalau sudah sangat berat itu akan ada sanksi pidana. Hal ini akan dievaluasi oleh masing-masing aplikator," jelas Yani.
Walaupun demikian, dalam perkembangannya, Dirjen Budi mengatakan bahwa Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Ditjen Hubdat) tidak menaungi segala hal yang berkaitan dengan regulasi taksi online ini. Termasuk dalam pemberian payung hukum akan diberikan oleh presiden.
"Payung hukum kemungkinan akan langsung diturunkan dari presiden, namun beberapa kementerian seperti Kemenhub, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo), Kementerian UKM, serta Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sudah berunding agar masing-masing dapat mempersiapkan PM," kata Dirjen Budi.
Sementara itu, Dirjen Budi mengaku akan tetap mengikuti kaidah Mahkamah Agung (MA) karena itu keputusan tertinggi yang harus diakomodasi dan diharapkan peraturan menteri dapat mengikuti.
"Terkait masalah tarif, aplikator tidak boleh melebihi batas yang ditetapkan oleh Kemenhub, dengan batas bawah Rp 3.500 dan batas atas Rp 6.000. Di antara itu, skema penetapan tarif bisa ditetapkan oleh Gubernur, dan aplikator pun diharapkan dapat bekerja sama dan menetapkan harga sesuai dengan batas yang sudah ditetapkan supaya bisa memberikan kemudahan bagi pengemudi dan aplikator itu sendiri," jelas Yani.
Sementara itu, terkait Rancangan Peraturan Menteri (RPM) yang membahas mengenai ojek online (ojol) saat ini masih digarap oleh pihak Kemenhub. "Pihak Kemenhub tetap tidak melegalkan ojol sebagai angkutan umum, tetapi hanya ingin menjaga keamanan di angkutan, karena dinilai sangat perlu diterapkan, mengingat penyumbang angka kecelakaan terbesar adalah sepeda motor dengan jumlah presentase sebesar 70 persen," ujarnya.
Advertisement