Pelaku Usaha Harap Pemerintah Ciptakan Iklim Usaha Kondusif pada 2019

Stabilitas ekonomi dan iklim investasi pada 2019 menjadi sorotan serius para pelaku usaha, termasuk industri hasil tembakau.

oleh Septian Deny diperbarui 28 Des 2018, 16:33 WIB
Suasana pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (7/5). Pertumbuhan ekonomi kuartal 1 2018 tersebut lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada periode sama dalam tiga tahun terakhir. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Stabilitas ekonomi dan iklim investasi pada 2019 menjadi sorotan serius para pelaku usaha, termasuk industri hasil tembakau.

Pemerintah khususnya di tingkat daerah diharapkan lebih cermat menyikapi situasi ketidakpastian iklim usaha ini di tahun politik tersebut.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau (APTI), Soeseno mengatakan, sejumlah kementerian telah berupaya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi industri.

Akan tetapi, masih ada sejumlah peraturan di tingkat pusat maupun daerah yang tidak sejalan dengan semangat peraturan dan perundang-undangan nasional.

"Situasi ini menghadirkan ketidakpastian di kalangan industri tembakau yang menjadi salah satu kontributor terbesar perekonomian nasional dan daerah,” ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (28/12/2018).‎ ‎

Sebagai contoh, lanjut dia, pengaturan daerah (Perda) terkait kawasan tanpa rokok (KTR) dan inisiatif penerapan aturan iklan dan larangan pemajangan produk rokok di toko ritel di daerah dinilai justru bertentangan dengan peraturan yang tingkatnya lebih tinggi‎.

"Saat ini sudah banyak peraturan dan undang-undang yang membatasi, sehingga tidak diperlukan lagi regulasi yang lebih ketat yang hanya akan menyakiti para petani tembakau dan menekan industri yang sudah mengalami penurunan. Keluaran dari proses pembuatan perda seharusnya seimbang dan memberi solusi agar kesempatan usaha tetap ada," ungkap dia.

Terlebih, kata Soeseno, industri hasil tembakau menjadi salah satu kontributor terbesar pendapatan negara.

 


Pengaturan Kawasan Tanpa Rokok

Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat penerimaan negara dari cukai rokok per 6 Desember 2018 mencapai Rp 120,62 triliun atau 81,37 persen dari target Anggaran Pendapatan Negara 2018 sebesar Rp 148,23 triliun. Sektor ini juga melibatkan sekitar 6 juta orang pekerja baik langsung maupun tidak langsung.

‎"Pemerintah sebaiknya fokus mengimplementasikan PP Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan terlebih dahulu agar menjadi rujukan pelaksanaan bagi seluruh pemerintah daerah. Dengan demikian, Perda tidak over protektif," kata dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan pengaturan KTR harus tetap memperhatikan kepastian usaha. Hal ini agar laju perekonomian, khususnya di daerah tidak terganggu.

Menurut dia, jika Perda KTR diterapkan tanpa memperhatikan banyak aspek, maka akan berdampak pada turunanny penyerapan hasil tani dan tenaga kerja. Oleh sebab itu, Enny meminta semua pihak duduk bersama agar tidak ada kelompok yang dirugikan.

“Pengaturan KTR harus proporsional, di mana hak nonperokok dilindungi tanpa menghilangkan kepastian usaha karena akan berdampak pada penerimaan pemerintah daerah maupun pusat," tutur dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya