Alasan Kemenhub Larang Perusahaan Taksi Online Pasang Tarif Promo

Saat ini banyak pengemudi taksi online yang mengeluhkan terkait pendapatan yang menurun.

oleh Merdeka.com diperbarui 28 Des 2018, 16:26 WIB
Menhub Budi Karya Sumadi. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengeluarkan larangan penerapan tarif promo atau tarif murah taksi online, guna mencegah perang tarif yang selama ini terjadi antar aplikator yaitu Gojek dan Grab. Selain itu, pelarangan tersebut juga untuk melindungi pendapatan para pengemudi taksi online yang saat ini menurun.

"Tujuannnya untuk menghindari perang harga, terutama yang berkaitan dengan yang masing-masing orang. Coba survey saja selintas (pada para pengemudi)," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Gedung Kemenko Perekonomian, Jumat (28/12/2018).

Budi mengungkapkan, saat ini banyak pengemudi taksi online yang mengeluhkan terkait pendapatan yang menurun. Selain karena tarif murah, hal itu juga disebabkan jumlah pengemudi taksi online yang juga kian bertambah.

Selain pendapatan menurun, para pengemudi juga terpaksa harus menambah jam kerjanya menjadi lebih lama.

Selain itu, dia yakin meski tarif promo dihilangkan, taksi online tidak akan kehilangan para penumpangnya. Sebab konsumen selama ini sudah merasa nyaman dengan taksi online.

"Jadi ada dua motif ini, jumlah yang kebanyakan, nilai yang dia terima itu kurang dari apa yang menjadi kalkulasi, 8 jam jadi 12 jam, mobil terforsir, orangnya capek. Jadi ini guna menemukan equilibrium baru, sama saja, bahwasanya nanti konsumennya berkurang, ya equilibriumnya di situ memang, saya yakin penumpang itu sudah jatuh cinta dengan online karena kemudahan-kemudahan yang diberikan. Harga itu sweeter saja," jelas dia.

Dia juga menjelaskan bahwasanya tarif harusnya dihitung berdasar komponen-komponen yang harus dipenuhi. Yaitu ada komponen penyusutan, komponen bensin, perawatan dan lain sebagainya.

"Ada komponen untung operator, itu batas bawah ke atas bukan batas bawah ke bawah. kalau itu dikurangi, apalagi pendapatan dari si pengemudi maka ada salah satu yang dikorbankan. Nah kalau sekarang ini, mereka itu tidak cukup uangnya, Mereka bekerja lebih lama, dari 8 jam jadi 12 jam bahkan lebih. Berarti dia mencukupi dirinya sendiri belum cukup, belum lagi perawatan ganti ban begitu. Kalau diskon-diskon itu dikaitkan dengan pendapatan pengemudi, level of service dan level of savety akan turun," ujarnya.


Organda: Tarif Taksi Online Kini Sama dengan Konvensional

Ilustrasi Foto Taksi Online (iStockphoto) ​

Organisasi Angkutan Darat (Organda) menyambut baik terbitnya aturan baru terkait dengan taksi online. Aturan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 118 Tahun 2018 tentang Penyelenggara Angkutan Sewa Khusus.

"Kita mendukung kebijakan yang dibuat oleh Kementerian Perhubungan agar yang online ini mengikuti aturan, sebagaimana diamanatkan PP 74 Tahun 2014," ujar Ketua Organda DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Jumat (28/12/2018).

Dia mengungkapkan, salah satu yang diapresiasi Organda yaitu soal penetapan tarif batas bawah dan batas atas untuk taksi online. Dengan batas tarif Rp 3.500-Rp 6.500 per kilometer (km), maka sama dengan batas tarif untuk taksi konvensional.

‎"Untuk tarif, kepentingannya itu selain itu untuk pemilik atau pengemudi tapi konsumen. Supaya konsumen memiliki kepastian. Untuk tarif kita oke, karena supaya persaingan jadi lebih sehat. Dan KPPU harus tampil untuk memonitor, supaya semua usaha terjamin. Jadi tidak menjadi predator," kata dia.

Namun demikian, yang masih menjadi perhatian Organda yaitu soal uji layak kendaraan atau biasa dikenal dengan KIR. Menurut Shafruhan, kewajiban uji KIR harus tetap diberlakukan bagi taksi online untuk memberikan keamanan bagi konsumennya.

"Cuma masalah KIR, itu batasnya seperti apa, apakah tetap ada atau tidak. Kalau mobil baru itu mungkin itu siap (untuk beroperasi).‎ Dan kalau dihapuskan itu ada pelanggaran terhadap UU. Kalau kendaran baru mungkin masuk akal (jika tidak diuji KIR). Tapi kalau sudah 2-3 tahun kontrolnya nanti seperti apa. Namanya barang bergerak, tingkat kehausanya berbeda-beda," tandas dia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya