Liputan6.com, Sana'a - Menuju tahun baru 2019, anak-anak korban Perang Yaman masih harus memikul bencana perang yang diakibatkan gempuran Arab Saudi. Perang dimulai pada tahun 2015 dan telah membunuh sekiranya 85 ribu anak-anak akibat malnutrisi.
Yaman digempur Arab Saudi karena isu politik-campur-sektarian. Tak seperti negara jazirah lainnya, ekonomi Yaman relatif miskin. Negara itu bukan tandingan bagi Saudi yang mengeluarkan seribu triliun rupiah demi perang ini.
Baca Juga
Advertisement
Menurut perhitungan The National Interest pada Maret lalu, Arab Saudi diperkirakan sudah mengeluarkan USD 100 miliar untuk Perang Yaman. Angka itu setara Rp 1.456 triliun.
Laporan Brookings memperkirakan Saudi setidaknya memakai USD 50 miliar (Rp 728 triliun) per tahun. Sementara, The Washington Post menyebut bahwa Saudi menghabiskan sekitar USD 5 hingga 6 miliar per bulan demi perang tersebut, atau antara Rp 72 hingga 87 triliun.
Menurut laporan Unicef, Yaman butuh USD 423 juta (Rp 6,1 triliun) pada 2018 demi menolong anak-anak di sana. Jumlah itu sangat kecil dibanding uang Saudi yang digunakan untuk perang.
Uang itu dibutuhkan untuk memenuhi nutrisi, kesehatan, akses air, perlindungan anak, pendidikan, dan komunikasi untuk perkembangan (Communication for Development).
Sampai November 3018, 11,3 juta anak-anak Yaman butuh bantuan kemanusiaan. 400 ribu balita mengalami malnutrisi akut, dan 16 juta orang butuh akses air bersih.
Foto-foto para anak korban Perang Yaman yang kurus kering pun sudah sering viral di internet dan memancing amarah publik. Kebanyakan dari foto-foto itu menampilkan para anak kecil dengan tubuh kurus kering akibat gizi buruk.
Tim Khusus PBB Tiba di Yaman Untuk Pantau Gencatan Senjata
Tim advance PBB dilaporkan telah tiba di pelabuhan Hodeida, Yaman, untuk memantau gencatan senjata dan perjanjian yang disepakati antara pemerintah dan pemberontak Houthi. Demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Selasa, 25 Desember 2018.
Seorang juru bicara PBB, Minggu 23 Desember 2018, mengatakan bahwa Jenderal Purnawirawan Patrick Cammaert asal Belanda, yang memimpin tim tersebut, "terdorong dengan antusiasme kedua pihak untuk bekerja segera."
Cammaert juga mengetuai Komite Koordinasi Penempatan Kembali, yang melibatkan para perwakilan pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi dan para pemberontak Houthi yang didukung Iran.
Kedua pihak itu menyepakati gencatan senjata dan penarikan dari Hodeida dalam pembicaraan di Swedia awal bulan ini. Perjanjian itu berlaku pekan lalu, tapi beberapa pertempuran kecil dilaporkan terjadi di luar Hodeida.
Hodeida telah berada di tangan pemberontak. Hampir semua bantuan pangan dan kemanusiaan untuk Yaman dikirim lewat pelabuhan itu dan apabila ada gangguan pengiriman, bisa menyebabkan warga sipil lebih menderita.
Baca Juga
Advertisement