Liputan6.com, Serang - Gunung Anak Krakatau (GAK) yang berada di Selat Sunda, meletus dan longsor puluhan hektar pada Sabtu 22 Desember 2018 malam.
Advertisement
Akibatnya, gunung Anak Krakatau tersebut kehilangan puluhan hektare badannya dan mengakibatkan gelombang tsunami di pesisir Selatan Sunda, Banten dan Lampung.
Tsunami senyap itu menewaskan lebih dari 400 jiwa dan puluhan ribu orang harus mengungsi.
Sejak 22 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau terus menunjukkan aktivitasnya. Bahkan naik status dari Level II waspada, menjadi level III siaga.
Keterangan dari www.esdm.go.id/id, Sabtu 29 Desember 2018, disebutkan bahwa Anak Krakatau ketinggiannya berkurang lebih dari 50 persen. Gunung yang tingginya semula 338 meter, kini tinggal 110 meter.
Di artikel berjudul 'Perkembangan Terkini Aktivitas Gunung Anak Krakatau, PVMBG: Tinggi Gunung Tinggal 110 Meter', yang di upload pada Jumat, 28 Desember 2018, ketinggian Anak Krakatau lebih rendah dibandingkan Pulau Sertung yang tingginya mencapai 182 meter sedangkan Pulau Panjang 132 meter.
Volume Anak Krakatau yang hilang diperkirakan sekitar antara 150-180 juta m3. Sementara volume yang tersisa saat ini diperkirakan antara 40-70 juta m3.
Berkurangnya volume tubuh gunung Anak Krakatau ini diperkirakan karena adanya proses rayapan tubuh gunungapi yang disertai oleh laju erupsi yang tinggi dari 24-27 Desember 2018.
Di artikel itu, PVMBG menyebutkan, secara visual pada 28 Desember 2018 pada pukul 00.00-12.00 WIB, teramati letusan dengan tinggi asap maksimum 200-3.000 meter di atas puncak kawah Gunung Anak Krakatau dengan abu vulkanik bergerak ke arah timur-timur laut. Sementara cuaca teramati berawan-hujan dengan arah angin dominan ke timur-timur laut.
Terlihat tipe letusan surtseyan, terjadi karena magma yang keluar dari kawah Gunung Anak Krakatau bersentuhan dengan air laut.
Perubahan Pola Letusan
PVMBG mencatat terjadi perubahan pola letusan pada pukul 23.00 tanggal 27 Desember 2018. Yaitu terjadinya letusan-letusan dengan onset yang tajam. Letusan Surtseyan terjadi di sekitar permukaan air laut.
Saat ini letusan bersifat impulsif, sesaat sesudah meletus tidak tampak lagi asap yang keluar dari kawah Gunung Anak Krakatau. Terdapat dua tipe letusan, yaitu letusan Strombolian dan Surtseyan.
Potensi bahaya dari aktivitas letusan Gunung Anak Krakatau dengan kondisi saat ini yang paling memungkinkan adalah terjadinya letusan-letusan Surtseyan. Letusan jenis ini karena terjadi dipermukaan air laut, meskipun bisa banyak menghasilkan abu, tapi tidak akan menjadi pemicu tsunami.
Potensi bahaya lontaran material lava pijar masih ada. Dengan jumlah volume yang tersisa tidak terlalu besar, maka potensi terjadinya tsunami relatif kecil, kecuali ada reaktivasi struktur patahan/sesar yang ada di Selat Sunda.
Gunung Anak Krakatau, terletak di Selat Sunda adalah gunungapi strato tipe A dan merupakan gunung api muda yang muncul dalam kaldera, pasca erupsi paroksimal tahun 1883 dari Kompleks Vulkanik Krakatau. Aktivitas erupsi pasca pembentukan dimulai sejak 1927, pada saat tubuh gunung api masih di bawah permukaan laut. Tubuh Anak Krakatau muncul ke permukaan laut sejak tahun 1929.
Sejak saat itu hingga kini, Gunung Anak Krakatau berada dalam fasa konstruksi (membangun tubuhnya hingga besar). Pada tahun 2016 letusan terjadi pada 20 Juni 2016, sedangkan pada 2017 letusan terjadi 19 Februari 2017 berupa letusan strombolian. Tahun 2018, kembali meletus sejak 29 Juni 2018 sampai saat ini berupa letusan strombolian.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement