Liputan6.com, Jakarta - Gunung Anak Krakatau memuntahkan materialnya dalam skala massif ke laut pada Sabtu 22 Desember 2018.
Akibatnya, laut pun bergolak. Tanpa pertanda, gelombang tsunami kemudian menghantam pesisir Selat Sunda. Kehancuran terjadi di area pantai di Banten dan Lampung, 426 orang tewas dan lebih dari 1.000 lainnya luka-luka.
Advertisement
Pasca-aktivitasnya yang memicu tsunami, Anak Krakatau terpantau menyusut. Gunung yang awalnya setinggi 338 meter itu kini menjadi 110 meter.
Pada Sabtu 29 Desember 2018, Badan Geologi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI menyebut, volume Anak Krakatau yang hilang diperkirakan sekitar antara 150-180 juta meter kubik. Sementara volume yang tersisa saat ini diperkirakan antara 40-70 juta meter kubik.
Hal tersebut diketahui para peneliti setelah memeriksa gambar-gambar satelit Anak Krakatau, setelah dan sebelum tsunami terjadi. Diketahui, gunung tersebut kini kehilangan dua pertiga ketinggian dan volumenya.
Seperti dikutip dari BBC News, sabtu (29/12/2018), kolapsnya mayoritas dari massa Anak Krakatau yang hilang tersebut bisa saja meluncur ke laut dalam satu gerakan.
Hal tersebut menjelaskan perpindahan air dan pembentukan gelombang hingga ketinggian 5 meter yang kemudian membanjiri pesisir Selat Sunda.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mempelajari citra-citra yang diambil sejumlah satelit radar, termasuk Sentinel-1 milik Uni Eropa dan TerraSAR-X milik Jerman.
Dalam hal pengamatan, satelit radar punya keunggulan. Yakni, bisa memantau permukaan tanah, siang atau malam, serta mampu menembus awan.
Kemampuan tersebut memungkinkan satelit radar melakukan pengukuran awal terkait hilangnya massa Anak Krakatau. Khususnya di sisi barat
Meski demikian para ilmuwan belum memastikan berapa persis massa Anak Krakatau yang hilang pada 22 Desember 2018, dan berapa yang hilang pada hari-hari berikutnya.
Para ilmuwan mungkin akan menemukan kepastian jika berkesempatan mengunjungi Anak Krakatau dan melakukan survei menyeluruh di sana. Namun, erupsi gunung itu masih berlangsung. Dilarang ada kegiatan apapun dalam radius 5 kilometer.
Kolapsnya kerucut Anak Krakatau sejatinya sudah lama dianggap sebagai potensi bahaya sebelum tsunami Sabtu lalu.
Enam tahu lalu, para ilmuwan merancang permodelan kemungkinan tersebut, bahkan mengidentifikasi lereng barat Anak Krakatau sebagai bagian yang berpotensi besar kolaps.
Studi tersebut, meski menyimulasikan bencana yang lebih besar, memprediksi ketinggian gelombang dan waktu genangan pantai (coastal inundation) yang sangat mirip dengan yang terjadi Sabtu lalu.
Saksikan video terkait Anak Krakatau berikut ini:
Potensi Tsunami Mengecil
Status Anak Krakatau saat ini Siaga atau Level III. Namun, Sekretaris Badan Geologi Kementerian ESDM Antonius Ratdomopurbo menyatakan potensi bahaya gunung tersebut saat ini sangat kecil memicu tsunami di Selat Sunda.
"Letusan bertipe Surtseyan karena kawah Gunung Anak Krakatau posisi dekat dengan permukaan laut sehingga magma yang keluar bersentuhan dengan air laut. Letusan surtseyan posisi di permukaan sehingga potensi sangat kecil untuk memicu tsunami," kata Purbo di Gedung Kementerian ESDM, Sabtu (29/12/2018).
Purbo menyatakan, berdasar pengamatan pada Jumat 28 Desember 2018, Gunung Anak Krakatau tingginya berkurang dari sebelumya yang diperkirakan 338 mdpl menjadi hanya sekitar 110 mdpl.
"Dengan sisa volume tubuh Gunung Anak Krakatau yang hanya sekitar 40-70 juta m3, potensi kecil untuk longosoran besar," kata Purbo
Potensi bahaya dari aktivitas letusan Gunung Anak Krakatau dengan kondisi saat ini menurut Purbo, yang paling memungkinkan adalah letusan-letusan Surtseyan. Letusan jenis ini karena terjadi di permukaan air laut, meskipun bisa banyak menghasilkan abu, tapi tidak akan menjadi pemicu tsunami.
"Potensi bahaya lontaran material lava pijar masih ada. Dengan jumlah volume yang tersisa tidak terlalu besar, maka potensi terjadinya tsunami relatif kecil, kecuali ada reaktivasi struktur patahan/sesar yang ada di Selat Sunda," katanya
Advertisement