Liputan6.com, Aceh - Sebuah perusahaan tambang batubara di Aceh dituding melanggar aturan. Tim Pansus DPRK Aceh Barat pun meninjau kawasan konsesi tambang serta area bekas galian batubara yang telah dieksploitasi perusahaan, pada Minggu, 23 Desember lalu.
Tim pansus hadir menyusul munculnya tudingan bahwa perusahaan yang melakukan penambangan percobaan (pilot mining) sejak Januari 2012 itu, tidak memiliki perspektif lingkungan hidup yang baik.
Ramli yang juga ketua DPRK Aceh Barat mencak-mencak karena tidak diizinkan memasuki lokasi penambangan. Dia beserta rombongan terpaksa hengkang.
Baca Juga
Advertisement
Awalnya, kehadiran rombongan disambut baik pihak perusahaan. Rombongan yang diizinkan masuk sebanyak 14 orang, dengan syarat memakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap sesuai aturan perusahaan.
Namun menurut Ramli, tiba-tiba perusahaan hanya mengizinkan 3 orang dari 14 orang yang sebelumnya diizinkan.
Ramli tidak terima dan menyebut pembatasan izin masuk adalah bentuk pengusiran dan menghina legislatif sebagai lembaga negara.
"Ada sesuatu yang disembunyikan. Makanya mereka takut ketahuan. Makanya melarang kita masuk semua ke dalam," kata Ramli.
Ramli pun berniat melaporkan perusahaan. Termasuk membawa laporan dari masyarakat dan civil society mengenai dugaan pencemaran dan pelanggaran lain.
Sebaliknya, Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Mifa Bersaudara, Adi Risfandi membantah ada insiden pengusiran bahkan adu jotos, seperti yang dituduhkan. Dia berdalih, ada aturan keamanan yang tidak boleh dilanggar.
Masyarakat umum maupun pihak lain tidak diizinkan memasuki wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) secara bebas. Ditakutkan berisiko terjadi kecelakaan karena banyak alat berat di lokasi produksi.
Menurut Adi, itu sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 1827 Tahun 2018.
"Kami memberikan izin masuk anggota pansus sesuai yang tercantum pada isi surat yang kami terima sebelumnya," sanggah Adi, dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Jumat, 28 Desember 2018, pagi.
Perusahaan Bermasalah?
Berdasarkan investigasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh yang dimulai Februari lalu, keberadaan perusahaan yang dimaksud, berdampak pada beberapa hal. Diantaranya lingkungan dan ekonomi.
Dalam data investigasi Walhi yang diterima Liputan6.com, ditemukan masyarakat di wilayah Ring 1 kawasan konsesi mengeluh karena air sungai tercemar dan spesies ikan berkurang.
Sementara, masyarakat yang berada di dekat stockpile (penumpukan) mengeluh karena fasilitas, dari sumur hingga pekarangan rumah tercemar debu. Masyarakat juga mengaku terkena gangguan pernafasan.
Untuk menanggulangi masalah kesehatan warga, setiap tiga bulan sekali perusahaan menurunkan tim medis. Dan penyakit yang pernah dialami warga berupa batuk ringan dan berat, serta ada yang menunjukkan tanda-tanda ISPA.
Secara ekonomi, aktivitas hilir mudik truk penambangan menganggu keselamatan ternak warga. Beberapa ternak mati karena tertabrak kendaraan proyek atau jatuh ke dalam lubang galian.
Selain itu, sejak munculnya penambangan, ada pedagang yang terpaksa menutup usahanya.
Data investigasi itu juga menyebut, ketika warga komplain, perusahaan memberi pekerjaan. Tujuannya, agar warga tidak lagi meributkan masalah tersebut.
Dalam masalah ini, Ketua Walhi Aceh, Muhammad Nur mengaku kecewa atas sanggahan Dinas Ekonomi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) Provinsi Aceh. Pihak yang diharapkan berada di barisan masyarakat malah bermetamorfosa menjadi Public Relations (PR) atau humas perusahaan.
"Kok tidak profesional dalam mengeluarkan pendapat. Waktu akan menjawab apa benar seperti kata mereka, atau sebaliknya," tegas Nur.
Sedikit berbeda dengan Walhi Aceh, Koordinator Badan Pekerja Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra menyoroti kolam eks galian di PIT A atau lokasi penambangan. Kata dia, galian itu belum di reklamasi sejak ditinggalkan, pascaberoperasi pertama kali.
Seharusnya, perusahaan mereklamasi atau menutup bekas galian tambang yang sudah tidak digunakan. Upaya reklamasi atau penutupan kembali lubang tersebut sesuai Peraturan Menteri Nomor 7 Tahun 2014.
"Reklamasi adalah wajib dilakukan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas lingkungan, agar ekosistem alam dapat kembali berfungsi sebagaimana fungsinya," sebut Edy, yang pernah menjabat program manajer KontraS Aceh.
Selain soal lingkungan, di tahun ini, DPRK Aceh Barat beberapa kali memanggil manajemen perusahaan. Pemanggilan berkenaan dengan dugaan perusahaan yang tidak menyetor penuh dana kontribusi atau royalti tahun 2015 dan 2016.
Advertisement
Bantahan Perusahaan
Dalam keterangannya kepada Liputan6.com, Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Mifa Bersaudara, Adi Risfandi menyanggah tudingan yang diarahkan ke perusahaan. "Selalu tunduk dan patuh terhadap peraturan dan regulasi," katanya.
Selain itu, ada pemantauan rutin dan inspeksi. Terutama oleh pemerintah yang memiliki tugas dan tanggung jawab langsung terhadap kegiatan operasional perusahaan.
Pernyaatan itu didukung oleh Dinas ESDM Provinsi Aceh. Kabid Minerba, Said Faisal menyebut, untuk mengetahui ada indikasi pencemaran lingkungan maka diperlukan bukti yang valid.
"Buktinya mana? Berapa mutu bakunya tercemar? Itukan harus ada fakta dan data. Namanya masyarakat mungkin ketidktahuan kan. Kalau airnya agak keruh sedikit ya, dikatakan tercemar," bantah Faisal kepada Liputan6.com.
Sebagai catatan, tahun lalu, Tim Dinas ESDM Provinsi Aceh turun ke pemukiman di dekat stockpile perusahaan. Saat itu, tim dipimpin oleh kabid minerba yang saat ini menjadi Kepala Dinas ESDM Provinsi Aceh, Mahdinur.
Warga menyebut, ada sekitar 33 Kepala Keluarga (KK) yang rumahnya tercemar debu. Oleh Mahdinur, perusahaan diberi waktu tiga bulan untuk menjalankan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Alhasil, perusahaan mendirikan jaring penangkal debu di pagar pembatas antara stockpile dan pemukiman. Jaring penangkal debu itu baru 80 persen dibangun, pascakedatangan tim dari Dinas ESDM Provinsi Aceh, tahun lalu.
"Dulu kita sudah bersama-sama mengawasi dan membina mereka (perusahaan). Mereka sudah berinisiasi membuat jaring net (penangkal debu). Sekarang hampir 80 persen jaring net nya sudah terbangun," sebut Faisal.
Di satu sisi, Faisal mengakui debu batubara yang berasal dari kegiatan tambang perusahaan di stockpile memang sangat halus. Yang dapat dilakukan perusahaan adalah meminimalisir.
"Namanya angin, segala macam kan, kita tidak bisa membendung. Tapi sudah ada hal-hal yang mereka lakukan. Dan kita selalu komit, kita harus mengelola lingkungannya," jawab Faisal.
Terkait desakan reklamasi bekas galian, menurut Faisal masih belum boleh dilakukan. Karena akan terbentur dengan peraturan yang berlaku.
"PIT A (lokasi penambangan) itu adalah pilot project terdahulu untuk mencoba penjualan batubara di pasaran laku atau tidak. Itu belum dinyatakan mineout atau ditutup, tidak boleh dilakukan reklamasi. Prinsip konservasi, yaitu sesuai dengan PP 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang," terang Faisal.
Kata Faisal, kolam yang saat ini menganga bak danau itu akan dieksploitasi kembali pada 2021. Itu sesuai dengan rencana strategis lima tahun sebagaiman tertuang dalam RKAB 2019.
Sementara itu, Direktur Utama PT Mifa Bersaudara, Slamet Haryadi menyanggah perusahaan belum menyetor sisa royalti tahun 2015 dan 2016, seperti yang dituduhkan. Pihaknya punya komitmen yang kuat soal kontribusi.
"Sejak tahun 2012 hingga September 2018 Mifa telah melakukan setoran royalti sebesar Rp 88 milyar kepada Negara dan Provinsi," sebut Slamet.
Berseberangan dengan Slamet, belum lama ini Koordinator Badan Pekerja GeRAK Aceh Barat mengungkap "Terjadi kekurangan sebesar Rp 1.259.365.220 tahun 2015, dan Rp 86.679.762 tahun 2016."
Menurut Edy, pada 29 Desember 2015 lalu, Pemerintah Kabupaten Aceh Barat sudah melakukan penagihan kepada perusahaan. Namun, surat pemberitahuan ke-2 pembayaran kontribusi dana tambahan triwulan II dan III tahun 2015 belum ditindaklanjuti.
"Padahal surat penagihan juga diperkuat surat Bupati Aceh Barat Nomor 973/413/DPKKD/IV/2016 tertanggal 14 April 2016," sebut dia.
Alot dan Penuh Intrik
Jika ditilik, perseteruan antara warga sekitar tambang, dengan perusahaan, dan civil society --sebagai sayap perlawanan-- sudah berlangsung tahunan. Alot dan penuh intrik.
Disebut alot, karena gerakan menentang keberadaan perusahaan sudah berlangsung pada 2014 lalu. Saat itu, truk-truk hauling pengangkut batubara masih hilir mudik di tengah kota karena belum memiliki pelabuhan sendiri.
Di ujung 2014, warga Desa Ujung Kalak yang saat itu berada di jalur lintasan truk memblokade jalan. Hal sama dilakukan oleh warga Desa Suak Indra Puri, dengan mendirikan tenda di tengah jalur lintasan dibantu mahasiswa.
Masalah ini disebut penuh intrik, karena, advokasi yang dilakukan adakalanya terbentur kepentingan sejumlah kelompok, yang awalnya mencecar, lalu berbalik mendukung. Diskursus untung- rugi soal kehadiran perusahaan berjalan dengan dinamikanya sendiri, seiring untung-rugi para pihak yang ambil keuntungan.
Saat ini, civil society yang meniti jalan pedang itu hanya beberapa saja. Mereka yang 'melawan' ini pun tak lepas dari rintangan. Terlebih, tiba-tiba warga yang berada di wilayah konsesi tambang namun tidak terdampak ikut bicara.
Sebagai catatan, keberadaan perusahaan bagi masyarakat di area konsesi tambang ini bak dua kutub magnet yang saling bertolakan. Pro kontra saling berseliweran.
"Itu semua tidak benar adanya," sanggah Budiman, kepala desa yang dekat dengan lokasi tambang, namun sangat jauh dari desa lokasi stockpile dimana dugaan pencemaran lingkungan mencuat.
Berseberangan dengan Kepala Desa Reudeup itu, adalah Yatno. Warga Kampung Suak Puntong, Kecamatan Meureubo, Yatno (45) menuturkan keluh-kesahnya selama tinggal dekat stockpile atau lokasi penumpukan batubara perusahaan.
"Tidak perlu panjang lebarlah saya jelaskan. Kalau ada yang bilang bohong, silahkan tinggal saja di desa kami itu. Seminggu saja mas, kalau sanggup. Kalau ngotot," keluhnya, yang terpaksa menutup usaha karena tidak ada yang mau singgah di warungnya.
Ketua Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) Aceh Barat turut mengeluarkan pernyataan yang senarai dengan Yatno. SMUR adalah lembaga ekstra kampus yang sejak 2014 lalu masih mengadvokasi masalah ini.
Menurut Masykur, keberadaan pemukiman penduduk yang tidak jauh dari stockpile adalah konsekuensi logis, bahwa debu dari lokasi dimana batubara ditumpuk, merambat ke pemukiman sekitar.
"Fakta di lapangan, pencemaran debu batubara yang bersumber dari stockpile perusahaan di desa Peunaga Cut Ujong berjarak beberapa puluhan meter saja dari pemukiman warga," kata Masykur.
Desa Peunaga Cut Ujong masuk dalam wilayah Ring 1 yang berhadapan langsung stockpile lokasi penumpukan batubara. Sementara itu Desa Balee, Bukit, Jaya, Buloh, Reudeup, dan Sumber Batu ---yang juga Ring 1-- berada di dekat lokasi tambang, namun sangat jauh dari lokasi dimana batubara ditumpuk.
Selama ini, warga yang protes adalah warga Desa Peunaga Cut Ujong, diikuti oleh tetangganya yakni Desa Suak Puntog dari Dusun Geulanggang Meurak. Desa ini tidak masuk dalam area konsesi karena berada di perbatasan, namun, disebut-sebut terdampak paparan, faktor lokasinya yang saling berdekatan.
Sebagai catatan tambahan, perusahaan dimaksud memiliki luas wilayah konsesi 3.134 hektar. Perusahaan digadang-gadang telah mendapat Sertifikat Clean and Clear (CnC) Nomor 234/Bb/03/2014.
Berdasarkan laporan cadangan dan sumber daya batubara sesuai standard JORC dikeluarkan PT Runge Indonesia pada Juli 2011, perusahaan memiliki potensi cadangan batubara sebesar 383 juta mt. Kualitas batubara yang dikenal dengan 'solution coal'.
Menurut catatan kementerian terkait, Kabupaten Aceh Barat memiliki potensi cadangan sumberdaya batubara sebesar 1,7 mt. Sumberdaya batubara yang telah diketahui sebesar 600 juta ton dan total cadangan sebesar 400 juta ton.
Batubara di Kabupaten Aceh Barat berkalori rendah yang tersebar di beberapa kecamatan yaitu, Meureubo, Woyla Induk, Woyla Barat, Woyla Timur, Kaway XVI, Samatiga dan Pante Ceuremen.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement