Rusia Uji Coba Torpedo Nuklir Poseidon, Bisa Memicu Tsunami Mematikan?

Rusia uji coba torpedo nuklir Poseidon yang konon bisa memicu tsunami mematikan di wilayah lawan. Benarkah?

oleh Elin Yunita KristantiTeddy Tri Setio Berty diperbarui 29 Des 2018, 17:02 WIB
Rusia memasukkan Poseidon dalam daftar senjata barunya yang canggih (Ministry of Defence Russia)

Liputan6.com, Moskow - Rusia memasukkan Poseidon dalam daftar senjata barunya yang canggih. Diambil dari nama Dewa Laut dalam mitologi Yunani, Poseidon adalah drone atau torpedo submersible jarak jauh yang mampu melakukan perjalanan di bawah air dalam kecepatan tinggi karena ditenagai reaktor nuklir mini.

Seperti dilaporkan media Rusia, RT pada Selasa 25 Desember 2018, Poseidon, yang sebelumnya di dijuluki Status-6 atau Kanyon, diumumkan pengembangannya secara resmi pada Maret 2018 lalu, bersama dengan sejumlah sistem senjata masa depan Moskow lainnya.

Tujuannya untuk melawan pengembangan teknologi rudal anti-balistik yang dilakukan Amerika Serikat.

Menurut sumber Departemen Pertahanan Rusia, yang dikutip TASS, Poseidon saat baru-baru ini sedang menjalani uji coba bawah air sebagai bagian dari pengembangannya.

"Sistem propulsi nuklir drone Poseidon saat ini sedang diuji di wilayah laut yang dilindungi dari pengawasan oleh pihak lawan," kata sumber tersebut. Lawan yang ia maksud adalah AS dan sekutunya di NATO.

Sumber tersebut menambahkan, Poseidon dibawa ke lokasi uji coba dengan kapal selam berbahan bakar nuklir milik Angkatan Laut Rusia. Proyek pengembangan torpedo tersebut diperkirakan rampung sebelum 2027.

Meski masih dalam tahap pengembangan, Poseidon memicu kekhawatiran banyak orang. Konon, senjata itu bisa memicu tsunami.

Seperti dikutip dari situs Inggris, express.co.uk, Sabtu (29/12/2018), Poseidon dilaporkan dipersenjatai senjata komvensional dan hulu ledak nuklir sebesar dua megaton.

Topedo itu disebut-sebut bisa menghancurkan pangkalan angkatan laut musuh. Sejumlah ahli bahkan menjulukinya sebagai 'City Buster'.

Analis di Pentagon menyebut, Poseidon atau Kanyon bisa membawa "puluhan megaton" bahan peledak.

Vladimir Putin, yang menyebut drone itu sebagai 'senjata fantastis', mengatakan bahwa Poseidon melakukan perjalanan di bawah laut  hingga kecepatan 70 knot, tanpa suara.

Menurut ahli, manuver-manuver diamnya di bawah air berarti bahwa Poseidon bisa menyelinap dekat ke pantai untuk kemudian memicu kehancuran.

Para ahli juga mengatakan, jenis ledakan bawah air  yang dilepaskannya dapat memicu tsunami yang kekuatannya setera dengan Tsunami Jepang 2011, yang menewaskan setidaknya 10 ribu orang.

Juga muncul kekhawatiran bahwa torpedo nuklir tersebut bisa melontarkan sedimen ke udara, menghasilkan awan debu radioaktif yang mematikan.

Rex Richardson, seorang fisikawan, mengatakan kepada Business Insider bahwa senjata nuklir yang ditempatkan  kisaran 20 meter hingga 50 meter di dekat pantai laut tentu saja dapat memicu energi yang cukup untuk menyamai efek tsunami 2011,  bahkan mungkin jauh lebih besar.

"Los Angeles atau San Diego akan sangat rentan terhadap curahan radioaktif (fallout) karena pola angin darat yang berlaku di sana," kata dia.

Sementara, mantan penasihat senior Departemen Luar Negeri AS, Christian Whiton, mengakui bahwa ledakan seperti itu akan menciptakan gelombang yang sangat teradiasi.

Namun, kepada Fox News, ia mengatakan, "jauh lebih buruk terkena ledakan nuklir multi-megaton daripada gelombang yang disebabkan oleh senjata nuklir.

Sebab, Whiton menjelaskan bahwa air dapat menyerap 'banyak gaya' yang diciptakan oleh ledakan semacam itu.

 

Saksikan video torpedo Poseidon milik Rusia berikut ini:


Meledakkan Gunung dan Memicu Tsunami di AS?

Ilustrasi tsunami (Pixabay)

Sementara itu, seperti dikutip dari media Inggris Mirror, senjata canggih milik Rusia diklaim mampu memicu tsunami super. 

Klaim tersebut dimuat dalam artikel di sebuah tabloid yang membahas isu-isu militer di Rusia. 

Menurut publikasi tersebut, Rusia memiliki kemampuan untuk meledakkan Gunung Snæfellsjökull di Islandia dengan senjata termonuklir.

Ledakan di gunung setinggi 4,744 kaki itu akan berdampak pada terciptanya tsunami yang konon bisa menerjang ibu kota AS, Washington DC.

Dalam skenario lain, artikel itu mengklaim Rusia juga bisa menyerang pulau Jan Mayen di Samudra Arktik yang efeknya akan mengirimkan bah ke Eropa Barat.

Artikel tersebut ditulis oleh Choro Tukembayev, yang mengaku sebagai "ilmuwan dan ahli militer".

Ia mengatakan, serangan terhadap Snæfellsjökull bisa meruntuhkan sisi barat daya gunung berapi itu dan membalikkan aliran teluk yang nantinya akan menerjang Washington DC.

Skenario yang ia tawarkan mirip 'strategi kiamat' yang mengklaim bisa menghancurkan AS, misalnya lewat serangan nuklir ke gunung api super di Taman Nasional Yellowstone dan patahan geologi di pantai Pasifik negara itu.

Tukembayev mengklaim, ada saluran air mengalir melintasi Atlantik  yang mirip dengan terowongan angin.

"Gunung berapi itu adalah pintu masuknya dan di pintu keluar ada Washington DC," tambahnya.

Namun, tak semua senang dangan teroi tersebut. Ahli hidrologi terkemuka Rusia, Yuri Dolotov mengkritik artikel tersebut. "Itu sama sekali omong kosong dari sudur pandang geologi," kata dia.

Dolotov mengatakan, Gulf Stream atau arus laut panas dari lautan utara Atlantik di timur Amerika Utara adalah aliran air yang sangat besar. 

"Meskipun gunung berapi Islandia itu terlempar ke sana, efeknya hanya akan setara sebuah bata yang dilempar ke Sungai Volga." 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya