Liputan6.com, Kabul - Taliban menolak tawaran berbicara tatap muka dengan Afghanistan bulan depan di Arab Saudi, dan memilih menemui para pejabat Amerika Serikat (AS) untuk mengupayakan opsi perdamaian lain.
Kelompok bersenjata itu bersikeras untuk pertama kali mencapai kesepakatan dengan AS, yang dipandangnya sebagai kekuatan utama di Afghanistan, sejak pasukan pimpinan Negeri Paman Sam menggulingkan pemerintah Taliban pada 2001.
"Kami sedang memajukan proses negosiasi (dengan) AS di bawah rencana yang kuat dan luas untuk mengakhiri pendudukan negara kami Afghanistan," kata Taliban, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Senin (31/12/2018).
Baca Juga
Advertisement
Perwakilan dari Taliban, AS, Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA) dan Pakistan bertemu bulan ini di Abu Dhabi untuk mengadakan pembicaraan guna mengakhiri perang 17 tahun di Afghanistan.
Tetapi, Taliban telah menolak untuk mengadakan pembicaraan resmi dengan pemerintah Afghanistan yang didukung pihak Barat.
"Kami akan bertemu para pejabat AS di Arab Saudi pada Januari tahun depan, dan kami akan memulai pembicaraan yang belum lengkap di Abu Dhabi," kata seorang anggota Dewan Kepemimpinan Taliban kepada kantor berita Reuters, Minggu 30 Desember.
"Namun, kami telah menjelaskan kepada semua pemangku kepentingan bahwa kami tidak akan berbicara dengan pemerintah Afghanistan," tegasnya lagi.
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid juga mengatakan, para pemimpin kelompok itu tidak akan berbicara dengan pemerintah Afghanistan.
Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Sabtu 29 Desember, Mujahid menuduh berbagai outlet media menyebarkan desas-desus "tidak berdasar", bahwa kelompok itu akan mengadakan pembicaraan dengan pemerintah Afghanistan di Arab Saudi.
Pernyataan itu juga menekankan posisi Taliban "tetap sama dan tidak berubah".
Simak video pilihan berikut:
Upaya Penyelesaian Konflik Kian Intensif
Upaya diplomatik untuk menyelesaikan konflik semakin intensif setelah perwakilan Taliban mulai bertemu utusan AS, Zalmay Khalilzad, awal tahun ini.
Pejabat dari pihak yang bertikai telah bertemu setidaknya tiga kali untuk membahas penarikan pasukan internasional dan gencatan senjata pada 2019.
Tetapi AS bersikeras bahwa penyelesaian akhir harus dipimpin oleh orang Afghanistan.
Menurut data dari Resolute Support Mission yang dipimpin NATO pada November lalu, pemerintah Presiden Ashraf Ghani memiliki kendali atau pengaruh terhadap 65 persen populasi Afghanistan, yang hanya melingkupi 55,5 persen dari 407 distrik di negara itu, terendah sejak 2001.
Di lain pihak, Taliban mengatakan mereka menguasai 70 persen negara itu.
Seorang pembantu dekat Ghani mengatakan pemerintah akan terus berusaha untuk membangun jalur komunikasi diplomatik langsung dengan Taliban.
"Pembicaraan harus dipimpin dan dimiliki oleh Afghanistan," kata ajudan yang tidak bersedia disebutkan namanya itu. "Adalah penting bahwa Taliban mengakui fakta ini."
Advertisement