Liputan6.com, Ouagadougou - Sebanyak 13 warga sipil tewas dalam kekerasan antaretnis di Burkina Faso, lapor otoritas setempat pada Rabu, 2 Januari 2018. Hal itu disebut kian menggemakan konflik tak berkesudahan yang telah berlangsung sejak setahun terakhir.
Orang-orang bersenjata dengan sepeda motor turun ke Desa Yirgou di Distrik Barsalogo pada Senin dini hari, menewaskan enam orang, termasuk kepala desa, menurut informasi dari juru bicara pemerintah Burkina Faso, Jean Paul Badoun.
Keesokan harinya, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Kamis (3/1/2019), penduduk Desa Yirgou--sebagian besar dihuni kelompok etnis Mossi--menyerang sebuah kamp para pengembala nomaden Fulani, menewaskan tujuh orang sebagai aksi balasan, kata Badoun.
Baca Juga
Advertisement
Penduduk Yirgou menyalahkan para penggembala tersebut karena melindungi orang-orang yang menyerang mereka sehari sebelumnya.
Abdoulaye Pafadnam, pemimpin Distrik Barsalogo, mengatakan bahwa korban tewas mungkin lebih tinggi dari laporan resmi pemerintah Burkina Faso yang berjumlah 13 orang.
"Saat ini bala bantuan pertahanan dan keamanan telah tiba, dan untuk sementara waktu, kondisi (kekerasan) bisa dikendalikan," kata Pafadnam.
"Komite krisis telah dibentuk untuk membuat semua orang duduk bersama membahas solusi perdamaian, dan menghindari risiko terburuk," katanya.
Simak video pilihan berikut:
Menyatakan Kondisi Darurat
Pagi sebelum konflik terakhir terjadi, Burkina Faso telah menyatakan keadaan darurat di tujuh dari 13 provinsi yang berada di wilayah administratif negara itu.
Langkah tersebut dilakukan berselang empat hari setelah 10 anggota polisi tewas di dekat perbatasan Mali, dalam sebuah serangan oleh Jama'at Nasr al-Islam wa al-Muslimin (JNIM), sebuah kelompok ekstremis bersenjata yang terkait dengan Al-Qaeda di Gurun Sahara.
JNIM mengklaim bertanggung jawab atas serangan-serangan lainnya pada pada tahun lalu, termasuk satu di ibu kota Ouagadougou pada Maret lalu, yang menewaskan sekitar delapan agen keamanan dan melukai puluhan lainnya.
Burkina Faso, yang terletak di jantung kawasan konservasi Sahel, telah mengalami lonjakan serangan kekerasan dalam beberapa bulan terakhir, ketika kelompok-kelompok ekstremis bersenjata berusaha meningkatkan pengaruhnya di negara tersebut.
Saat ini, Burkina Faso menjadi salah satu negara dengan jumlah pelanggaran hukum terbesar di wilayah sub-Sahara, bersama dengan konflik berdarah di Libya pada 2011, serangan bersenjata di Mali Utara, dan kebangkitan kelompok teroris Boko Haram di Nigeria.
Advertisement