IHSG Cetak Kinerja Positif pada Pekan Pertama Januari 2019

IHSG naik 1,29 persen dari posisi 6.194 ke posisi 6.274,54 pada Jumat 4 Januari 2019

oleh Agustina Melani diperbarui 05 Jan 2019, 10:00 WIB
Pekerja beraktivitas di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Sebelumnya, Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 5.600 pada penutupan perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/4/2017). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat pada pekan pertama Januari 2019. Hal itu dipicu sektor saham barang konsumsi dan properti.

Mengutip laporan PT Ashmore Asset Management Indonesia, Sabtu (5/1/2019), IHSG naik 1,29 persen dari posisi 6.194 ke posisi 6.274,54 pada Jumat 4 Januari 2019. Indeks saham LQ45 melonjak 1,92 persen selama sepekan.

Investor asing juga melakukan aksi beli mencapai USD 27 juta atau sekitar Rp 384,68 miliar (asumsi kurs Rp 14.247 per dolar Amerika Serikat).

Sementara itu, indeks obligasi susut 0,22 persen hingga perdagangan Kamis pekan ini. Investor asing jual obligasi mencapai USD 7 juta atau sekitar Rp 99,69 miliar hingga perdagangan Kamis pekan ini. Posisi nilai tukar rupiah pun menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 14.270.

Ada sejumlah sentimen pengaruhi pasar keuangan yang berdampak tidak langsung terhadap laju IHSG. Berdasarkan catatan Ashmore, dari eksternal, sentimen perang dagang masih membayangi pasar keuangan.

Kemungkinan kesepakatan antara Amerika Serikat (AS) dan China alami kemajuan yang baik. Lewat akun media sosial twitter sebelum tahun baru, Presiden AS Donald Trump menyatakan kalau pihaknya memiliki "panggilan dan sangat baik” berhubungan dengan Presiden China Xi Jinping. Ada kemungkinan perang dagang mereda dan berakhir usai terjadi ketegangan dalam satu tahun terakhir.

Selain itu, Apple menyatakan kalau penjualannya turun tajam di China pada November. Ini memberikan bukti kalau perang dagang menekan perusahaan AS dan berpotensi terhadap ekonomi China. Tak lama setelah pengumuman Apple, data manufaktur ISM turun ke level terendah dalam lebih dari dua tahun.

Masih dari AS, pemerintah federal AS alami shut down atau berhenti sementara juga bayangi pasar keuangan global. Ditambah kini posisi dewan perwakilan rakyat (DPR) AS yang baru dikuasai partai Demokrat. Namun, pada Kamis malam waktu setempat, DPR meloloskan Undang-Undang (UU) yang akan akhiri penutupan sebagian pemerintah.

Dari data ekonomi AS menunjukkan data manufaktur melemah. Ini dengan dikeluarkannya ISM Manufacturing PMI AS turun menjadi 54,1 pada Desember. Angka itu terlemah sejak November 2016.

Bahkan alami penurunan terbesar sejak Oktober 2008 karena pertumbuhan pesanan baru, produksi dan lapangan kerja yang melambat tajam.

 


Sentimen Lainnya

Pekerja tengah melintas di bawah papan pergerakan IHSG usai penutupan perdagangan pasar modal 2017 di BEI, Jakarta, Jumat (29/12). Perdagangan saham di penghujung tahun ini ditutup langsung Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

China pun mencatatkan pelemahan data manufaktur. The Caixin China General Manufacturing PMI turun menjadi 49,7 pada Desember 2018 dari posisi 50,2 pada November. Angka tersebut menunjukkan kontraksi pertama di sektor manufaktur sejak Mei 2017.

Ini karena pesanan baru menurun untuk pertama kalinya sejak Juni 2016 dan ekspor baru turun dalam sembilan bulan berturut-turut didorong dari ketegangan antara AS dan China.

Dari dalam negeri, Kementerian Keuangan melaporkan realisasi penerimaan pajak 2018 mencapai Rp 1.351,9 triliun. Angka itu 92,4 persen dari target APBN 2018 sebesar Rp 1.424 triliun dan meningkat 14,3 persen dari realisasi 2017.

Meski belum penuhi target, pertumbuhan realisasi penerimaan pajak itu tertinggi sejak 2012 sebesar 12,5 persen (YoY). Menteri Keuangan Sri Mulyani juga melaporkan kalau realisasi defisit anggaran pada 2018 sebesar Rp 259,9 triliun atau 1,76 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dari target awal Rp 325,9 triliuna tau 2,19 persen dari PDB.

Sementara itu, lelang obligasi pemerintah pertama pada 2019 dilakukan pada 3 Januari. Lelang itu berhasil mencapai Rp 28,3 triliun. Angka tersebut di atas target indikatif Rp 15 triliun. Berdasarkan situs Kementerian Keuangan, total penawaran yang masuk untuk lima seri SUN yang dilelang mencapai Rp 55,3 triliun.

Data ekonomi lainnya yaitu inflasi Indonesia sepanjang 2018 tercatat 3,13 persen. Angka ini di bawah target pemerintah 3,5 persen (YoY). Selain itu juga sejalan dengan kisaran Bank Indonesia. Namun, inflasi inti terus meningkat menjelang akhir tahun 3,07 persen (YoY). Ini dipicu permintaan riil yang mulai membaik.

 


Aset Investasi Negara Berkembang Masih Menarik

Suasana di salah satu ruangan di kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (2/1). Sebelumnya, Perdagangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) 2017 ditutup pada level 6.355,65 poin. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Lalu hal apa yang dicermati ke depan?

Ashmore melihat potensi investasi di negara berkembang. Berdasarkan data Ashmore Assets Management, hanya ada tiga aset investasi yang tingkat imbal hasilnya positif yaitu deposito, properti residensial dan komersial. Investasi di properti residensial, pertumbuhannya mencapai 2,72 persen dan komersial sekitar 0,50 persen.

Adapun untuk menentukan aset yang berpotensi naik pada 2019, Ashmore melihat sejumlah faktor antara lain faktor ekonomi global, peristiwa penting dan valuasi yang menarik. “Dengan melihat tiga faktor itu, saham di negara berkembang berpotensi naik pada 2019,” tulis Ashmore Asset Management.

Secara global, Ashmore prediksi pertumbuhan ekonomi global melambat pada 2019 dari 3,1 persen pada 2018 menjadi 2,8 persen. Pertumbuhan ekonomi AS tumbuh 2,6 persen, China 6,3 persen, Uni Eropa 1,9 persen dan negara berkembang 5,1 persen. Perkiraan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang relatif lebih baik dibandingkan negara lain di dunia.

Namun, risiko tetap ada. Hal ini terutama dari arah kebijakan moneter. Diperkirakan probalitas resesi tetap di bawah 50 persen pada 2019-2020, tapi tidak demikian halnya pada 2021.

"Itu sebabnya kami percaya bahwa pasar telah mulai memperhitungkan laju kenaikan suku bunga lebih lambat untuk mempertahankan pertumbuhan global 2019-202 dengan asumsi kenaikan suku bunga bank sentral AS 1-2 kali dari kenaikan sebelumnya 3-4 kali," tulis Ashmore.

Kejutan besar terjadi jika bank sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) memutuskan untuk memangkas suku bunga karena ketakutan akan resesi terus berlanjut.

Sentimen lainnya yang akan pengaruhi portofolio investasi yaitu hajatan politik. Negara-negara berkembang akan sibuk dengan pemilihan umum (Pemilu) pada 2019 antara lain, India, Indonesia, Afrika Selatan dan Argentina.

Hal itu juga menjadi pertimbangan Ashmore optimistis melihat pasar negara berkembang. Pemilu dinilai dapat mendorong konsumsi sehingga memicu pertumbuhan ekonomi. "Pertumbuhan yang diharapkan juga dibayangi kekhawatiran atas dampak ekonomi dari perang dagang, karena ekonomi domestik negara berkembang tetap bertahan,” tulis Ashmore.

 

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya