Tuai Kontroversi, Nicolas Maduro Kembali Menjabat Sebagai Presiden Venezuela

Nicolas Maduro kembali dilantik sebagai presiden Venezuela untuk masa jabatan kedua, meski mendapat banyak kecaman internasional.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 07 Jan 2019, 15:30 WIB
Presiden Nicola Maduro di hadapan rakyat Venezuela - AFP

Liputan6.com, Caracas - Presiden Venezuela Nicolas Maduro membela keabsahan pemerintahnya di tengah kecaman internasional atas pelantikan masa jabatannya yang kedua.

Dalam sebuah twit pada Minggu 6 Januari, Maduro --yang akan dilantik pada hari Kamis-- mengatakan rakyat Venezuela telah memberikan "legitimasi" kepada pemerintahannya "dengan suara mereka".

"Bagi mereka yang berharap untuk menghancurkan kehendak kita, jangan salah. Venezuela akan dihormati!" tegasnya, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Senin (7/1/2019).

Komentarnya muncul setelah Majelis Nasional yang dikontrol oposisi menyatakan kepresidenan Maduro tidak sah, dan meminta militer untuk mendukung upaya "memulihkan demokrasi" di Venezuela.

Berbicara pada awal sesi legislatif baru pada Sabtu 5 Januari, Juan Guaido, presiden baru pilihan majelis, mengatakan legislator menegaskan kembali "ilegalitas Nicolas Maduro".

"Pada 10 Januari, dia akan merebut kursi kepresidenan dan akibatnya Majelis Nasional ini adalah satu-satunya wakil rakyat yang sah," katanya.

Majelis itu dibuat tidak berdaya oleh Mahkamah Agung Venezuela setelah oposisi memperoleh mayoritas di sana pada tahun 2016.

Maduro, yang telah membawa kehancuran ekonomi di negara kaya minyak itu, memenangkan pemilihan umum Mei lalu, namun banyak dikecam oleh masyarakat internasional.

Pemungutan suara dilakukan oleh Majelis Konstituante yang didukung pemerintah dan diboikot oleh oposisi. Hal itu menyebabkan banyak politikus terkemuka yang berseberangan, dijatuhi sanksi tahanan rumah dan larangan berpolitik.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


Grup Lima Tolak Hasil Pemilu Venezuela

Bendera negara Venezuela dibentangkan saat prosesi pemakaman Jose Francisco Guerrero di San Cristobal, Tachira State, Venezuela (19/5). (AFP/Luis Robayo)

Menurut Dewan Pemilihan Nasional Venezuela (CNE), jumlah suara untuk pemilihan satu putaran adalah sekitar 46 persen. Hal ini, ecara signifikan lebih rendah dari 80 persen yang dicatat selama pemilihan presiden terakhir negara itu pada 2013.

Amerika Serikat, Uni Eropa dan sejumlah negara dari Amerika yang disebut Grup Lima telah menolak untuk mengakui hasil pemilu tersebut.

Pada Jumat pekan lalu, Grup Lima yang beranggotakan 14 orang --terdiri dari Argentina, Brasil, Kanada, Chile, Kolombia, Kosta Rika, Guatemala, Guyana, Honduras, Meksiko, Panama, Paraguay, Peru, dan Saint Lucia-- mengeluarkan pernyataan bersama yang menyerukan Maduro untuk menyerahkan kekuasaan, dan membuka jalan bagi pemerintahan transisi yang dibentuk oleh para pemimpin Majelis Nasional.

Kementerian Luar Negeri AS, sementara itu, mengeluarkan pernyataan pada hari Sabtu yang mengatakan Washington mendukung Majelis Nasional sebagai "satu-satunya lembaga yang terpilih secara demokratis yang benar-benar mewakili kehendak rakyat Venezuela".

AS telah memberlakukan sanksi besar-besaran terhadap Venezuela sebagai tanggapan atas dugaan kemunduran demokrasi negara tersebut.

Menanggapi komentar Washington, kementerian luar negeri Venezuela menuduh AS berusaha "untuk mewujudkan kudeta ... dalam mempromosikan penolakan institusi yang sah dan demokratis", dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada hari Minggu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya