Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu bergerak perkasa pada awal pekan ini. Akan tetapi, Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri mengingatkan agar tidak terlena dengan penguatan rupiah terhadap dolar AS.
Mengutip data Bloomberg, Senin (7/1/2019), rupiah ditutup menguat 188 poin menjadi 14.082 per dolar AS dari penutupan pekan lalu di posisi 14.270. Pada awal pekan ini, rupiah bergerak di posisi 14.021-14.184 per dolar AS.
Data kurs tengah Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan rupiah menguat ke posisi 14.105 per dolar AS dari Jumat pekan lalu di posisi 14.350 per dolar AS.
Baca Juga
Advertisement
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri pun angkat bicara mengenai penguatan rupiah terhadap dolar AS. Lewat akun twitter @ChatibBasri, ia menulis kalau penguatan rupiah tersebut juga didorong dari faktor pernyataan pimpinan bank sentral AS atau the Federal Reserve Jerome Powell.
Chatib menulis, pidato Jerome Powell yang mengatakan the Federal Reserve akan bersabar dalam menaikkan suku bunga telah membawa dampak terhadap penguatan nilai tukar banyak negara termasuk nilai tukar rupiah.
Ia menduga, hal itu dapat memicu aliran dana investor asing masuk ke pasar keuangan termasuk Indonesia. “Dugaan saya arus modal masuk akan kembali terjadi dan pasar keuangan akan bergairah," tulis dia.
Namun, Chatib Basri mengingatkan sejak dini. Arus modal tersebut suatu hari akan kembali lagi keluar karena sifatnya hot money. Apalagi Indonesia juga masih punya masalah defisit transaksi berjalan yang belum terselesaikan. “Jika Fed kemudian kembali lagi menaikkan bunga dengan cepat, maka situasi 2018 akan berulang,” tulis dia.
Perlunya Pendalaman Pasar Keuangan
Ia mengingatkan perlunya sejak awal mengenai pendalaman pasar keuangan agar dapat mendorong peran investor lokal lebih dominan. Salah satu cara, menurut Chatib dengan memberikan insentif atau buat aturan agar BUMN, dana pensiun, asuransi, dana haji dan ritel untuk menempatkan investasinya dalam obligasi pemerintah.
“Saya ingin mengingatkan sejal awal tentang perlunya financial deepening supaya peran dari investor lokal lebih dominan. Selain itu perlu macro prudential dalam bentuk tobin tax, reverse tobin tax atau aturan lain untuk mengatasi gejolak arus modal,” tulis dia.
Chatib menuturkan, jika dalam tobin tax, arus modal masuk jangka pendek dikenakan pajak, maka dalam reverse tobin tax, pemerintah memberikan insentif pajak jika investor melakukan re-investasi keuntungan untuk jangka panjang.
Selain itu, ia mendorong untuk diciptakan instrumen dan produk pasar keuangan agar masyarakat Indonesia juga memiliki pilihan untuk menempatkan portofolio investasi dalam mata uang asing di Indonesia (on shore).
"Lebih baik orang menempatkan investasi portofolionya dalam mata uang asing on shore ketimbang orang menempatkannya di luar negeri (off shore). Karena tidak adanya produk atau instrument di pasar keuangan yang tersedia,” tulis dia.
Chatib menuturkan, ketersediaan berbagai instrumen pasar keuangan akan meningkatkan pasokan dolar AS di dalam negeri. Selain itu juga Indonesia juga harus perbaiki iklim investasi.
Lebih lanjut ia menambahkan, kalau tanpa ada pendalaman pasar keuangan dan aturan situasi 2018 akan berulang. “Saya ingat satu obrolan dengan ekonom Carmen Reinhart di Harvard beberapa tahun lalu: 3 kata yang paling berbahaya adalah this time is different. Dan policy maker cenderung berkata itu pada saat arus modal masuk,” tulis dia.
“Saatnya bagi kita untuk tidak mengulangi kesalahan dengan menganggap bahwa arus modal yang masuk, rupiah yang menguat, pasar keuangan yang bergairah ini berbeda dengan yang lalu. This is (not) different,” ia menambahkan.
Chatib juga menekankan hal paling penting dalam jangka menengah hingga panjang yaitu menggerakkan ekspor manufaktur dan meragamkan produk serta tujuan ekspor.
"Studi saya dan Rahardja menunjukkan bahwa pendorong utama ekspor kita adalah produk dan pasar lama. Penemuan baru? Kurang dari lima persen. Bahkan kontribusi produk baru untuk pasar yang baru dalam pertumbuhan ekspor kita nyaris tak ada. Artinya kita memang tak berubah banyak. Di sini dibutuhkan inovasi dan perbaikan kualitas sumber daya manusia,” tulis dia.
Chatib menuturkan, sejarah berulang, arus modal jangka pendek yang masuk dengan deras adalah awal dari gejolak pasar keuangan. Indonesia berhasil melalui gejolak keuangan 2013 dan 2018. Oleh karena itu, Chatib Basri menuturkan, langkah pemerintah dan Bank Indonesia untuk memilih stabilitas di atas pertumbuhan ekonomi terbukti efektif.
"Saya kira kita harus memberikan apresiasi kepada pemerintah dan Bank Indonesia. Kebijakan yang hati-hati dari pemerintah dan Bank Indonesia telah membuat kita mampu mengatasi 2018 yang sulit. Namun, tentu kita tak bisa terus menerus defensif,” ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement