Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati membuka peluang di masa depan pemerintah akan mengkaji kebijakan fiskal terkait pengenaan pajak terhadap robot.
Hal ini dilakukan dengan semakin banyaknya pekerjaan yang dapat digarap oleh robot dan tidak lagi mengandalkan tenaga manusia.
"Kalau dunia ini semakin otomatisasi dan robot jadi faktor produksi yang mengganti tenaga kerja manusia cukup besar, maka yang akan muncul dua kebijakan fiskal. Pertama robot yang bekerja bayar pajak penghasilan dan (kedua) manusia yang tidak kerja di kasih income," ujar dia di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (8/1/2019).
Baca Juga
Advertisement
Sri Mulyani mengatakan, seiring perkembangan zaman yang kian pesat, pemimpin negara di dunia memang terus mencari upaya untuk memberi dana manfaat (unemployment benefit) bagi manusia yang mengalami pengurangan pendapatan akibat tergantikan oleh robot.
Untuk memberi unemployment benefit ini, sumber pendapatan adalah melalui pengenaan pajak pada robot. "Karena tidak mungkin di APBN negara manapun, baik negara maju sekalipun, untuk kasih income kepada yang tidak kerja, kalau negara tidak mendapatkan revenue," kata dia.
Pengenaan pajak pada robot sudah menjadi pembahasan negara-negara di dunia dalam perekonomian ke depan. Kemenkeu akan terus menjaga kebijakan fiskal dengan memperhatikan perubahan di masa depan, di samping juga mengelola kebijakan di masa kini.
"Ini suatu rezim masa depan, kalau kita bayangkan seperti film Robocop yang semua polisinya robot tersebut ada di dunia nyata, lalu manusia ngapain? Ini pertanyaan yang fundamental dibahas dalam kebijakan publik. Poinnya adalah kita harus lihat struktur dari pasar pekerja kita, siapa yang bekerja, dapat income berapa, harus bayar pajak apa, dan untuk siapa," ujar dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Penduduk 265 Juta Orang, Hanya 1,3 Juta Warga RI yang Bayar Pajak
Sebelumnya, data kurang membanggakan dipaparkan oleh otoritas pajak Indonesia. Di negara yang memiliki penduduk 265 juta jiwa ini, terkuak hanya 1,3 juta saja yang bayar pajak.
Ini dikuak oleh pemaparan Kepala Bidang P2 Humas Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Barat Henny Suatri Suardi di acara Pajak Bertutur pada Jumat 9 November 2018 di bilangan Kembangan, Jakarta Barat.
Faktanya, kita 265 juta, yang terdaftar cuman 35,5 juta, yang lapor 11,1 juta, kemudian yang bayar 1,3 juta. Bayangkan dari 265 juta orang, masa yang punya penghasilan cuman 1,3 juta? Yang kerja commute di Jakarta saja ada 2 juta," ujar Henny.
Kecilnya jumlah pembayar menjadi masalah tersendiri, sebab 65 hingga 85 persen pendapatan negara. Sementara, alternatif lain pendapatan negara selain pajak adalah pinjaman dan menjual Sumber Daya Alam (SDA). Pajak dipandang lebih baik karena cenderung minim risiko, tidak seperti utang atau eksploitasi alam.
Minimnya pembayaran pajak menjadi fokus Ketua Prodi D3 Akuntansi Universitas Trisakti Abubakar Arief. Ia mengaku berminat melaksanakan penelitian kolaboratif bersama DJP demi mengetahui akar permasalahan rendahnya pembayaran pajak.
"Untuk penelitian di bidang perpajakan yang paling utama itu kesadaran wajib pajak masih rendah. Jadi dari jumlah penduduk indonesia yang 200 juta sekian, yang bayar pajak baru 1,3 jt, berarti kan ada varian tinggi. Nah, itu bagaimana kita membuat penelitian mengapa masyarakat enggan dan faktor-faktor apa yang menyebabkan rendahnya para wajib pajak sesuai ketaatan aturan," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement