Kisah Starbucks, Kedai Kecil yang Jadi Bisnis Raksasa Senilai USD 80 Miliar

Selama 47 tahun Starbucks telah bertransformasi dari kedai kopi sederhana jadi perusahaan raksasa dengan 30.000 kedai di seluruh dunia.

oleh Ayu Lestari Wahyu Puranidhi diperbarui 12 Jan 2019, 20:02 WIB
Ilustrasi Starbucks. (AP)

Liputan6.com, New York - Selama 47 tahun Starbucks telah bertransformasi dari kedai kopi sederhana di Seattle menjadi perusahaan raksasa senilai USD 80 miliar atau setara Rp 1.124 triliun (kurs USD 1: Rp 14.052) dengan 30.000 cabang kedai di seluruh dunia.

Tentunya perubahan tersebut tidak terjadi dengan mudah. Usaha Strabucks untuk menarik minat pelanggannya sangatlah baik sehingga bisa memiliki pelanggan setia.

Starbucks merupakan kedai kopi kecil yang didirikan oleh Jerry Baldwin, Zev Siegl dan Gordon Bowker. Pada tahun 1992, Howard membeli seluruh saham Starbucks dan menjadi pimpinan dari Starbucks Corporation.

Howard mengubah konsep Starbucks, tidak boleh sekedar menjual kopi tapi membuat kafe yang nyaman agar pengunjungnya betah duduk berjam-jam di sana. Konsep ini dia pelajari saat belajar membuat resep kopi di Italia

Dikutip dari CNN, seiring berjalannya waktu, produk kopi starbucks semakin banyak disukai oleh masyarakat. Di bawah pengawasan Howard Schultz dan dengan menggunakan strateginya yang sangat cermat, Starbucks mampu memperluas jangkauan perusahaannya dengan membuka 165 toko di Amerika Serikat pada tahun 1992.

Lalu, empat tahun kemudian Starbucks sudah membuka cabang mereka yang ke-1.000, salah satunya di Jepang dan Singapura. Pertumbuhan Starbucks sangatlah pesat sehingga dua tahun setelahnya Starbucks sudah mampu membuka cabangnya yang ke-2.000.

Walau telah sukses, Howard tetap memperhatikan kesejahteraan karyawannya. Starbucks dikenal sebagai perusahaan yang memberikan jaminan kesehatan yang sangat besar kepada para karyawannya.

Namun sayangnya, omzet penjualan Starbucks stagnan terhitung sejak 2010. Starbucks berencana untuk menutup 150 cabang yang memiliki kinerja buruk dari 14.000 cabang yang ada di Amerika pada tahun 2019.


Tidak Laku di Eropa, Starbucks Tutup Kantor

Starbucks Reserve Roastery Shanghai, kedai kopi Starbucks terbesar di dunia yang berada di China. (Maulandy/Liputan6.com)

Penjualan Starbucks yang melambat mulai memberikan efek ke para pegawai di Eropa. Perusahaan sedang melakukan restruktrurisasi dengan mengalihkan lisensinya dan menutup kantornya di Benua Biru.

Kabar kesulitan Starbucks untuk menjual di Eropa bukanlah hal baru. Bloomberg menyebut minat dengan Starbucks menurun dan pembeli beralih ke kopi yang lebih premium. Senada, Fortune menyebut masih sulit bagi Starbucks menembus pasar Eropa, salah satunya seperti menjual kopi mereka di lokasi seperti Italia.

Menurut Yahoo, Starbucks menjual 83 tokonya di Prancis, Belanda, Belgia, dan Luksemburg kepada mitranya, yaitu Alsea. Dengan ini, Alsea memiliki lisensi untuk mengoperasikan Starbucks di negara-negara tersebut.

"Dengan menyatukan (pengoperasian) di Prancis, Belanda, Belgia, dan Luksemburg di bawah Alsea, kami akan membuka potensial yang belum tersentuh untuk pertumbuhan yang memastikan kesuksesan jangka panjang di wilayah ini," ucap juru bicara Starbucks Haley Drag, seperti dikutip Bloomberg.

Langkah Starbucks ini adalah langkah restrukturisasi yang sudah diumumkan pada September lalu. Restrukturisasi ini memberi dampak pada pegawai seperti pemberhentian kerja dan pengalihan pegawai antar departemen.

Starbuck juga berencana menutup kantor-kantronya di Amsterdam dan mengkonsolidasikan markas Eropanya di London.

Sebanyak 186 pegawai yang kena dampak penutupan ini sudah didorong untuk melamar pada pekerjaan yang dibuka di London. Namun, pabrik roasting Starbucks di Belanda akan tetap dipertahankan. Pabrik tersebut mempekerjakan 80 orang.

Apa yang terjadi pada Starbucks kali ini mengulang kembali saat Starbucks menjual toko-tokonya di Jerman pada 2016 lalu. Pada tahun itu, AmRest memperoleh pengoperasian Starbucks di Jerman.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya