Liputan6.com, London - Meskipun belum terjadi, Britain Exit (Brexit) atau Inggris akan keluar dari Uni Eropa (UE) telah menngacaukan industri keuangan Inggris.
Dilansir dari CNN, pada Senin 7 Januari 2019, laporan EY menyebutkan sudah banyak bank dan perusahaan yang memindahkan asetnya senilai USD 1 triliun setara Rp 14.147 triliun (Kurs 1 USD = Rp 14.147) ke Uni Eropa karena Brexit.
Banyak bank telah mendirikan kantor barunya di Uni Eropa untuk melindungi operasi regional karena ada Brexit. Konsultan tersebut mengatakan, angka tersebut mewakili sekitar 10 persen dari total aset dari sektor perbankan Inggris. Ini baru merupakan "perkiraan konservatif".
Baca Juga
Advertisement
Hal tersebut karena beberapa bank belum mengungkapkan rencana kontingensinya. EY telah melacak 222 perusahaan jasa keuangan terbesar di Inggris sejak refrendum Brexit pada Juni 2016.
Inggris dijadwalkan akan meninggalkan Uni Eropa dalam waktu 81 hari, tetapi Perdana Menteri Inggris Theresa May masih perlu mendapatkan dukungan di parlemen Inggris untuk kesepakatan berpisahnya Inggris dari anggota Uni Eropa lainnya.
Parlemen akan membuat kesepakatan pada minggu depan. Jika pada Mei 2019 gagal untuk membuat kesepakatan, peluang Inggris untuk keluar dari Uni Eropa akan semakin tinggi.
Bank of England atau bank sentral Inggris mengatakan dampak dari Brexit akan lebih buruk daripada krisis keuangan 2018. Bagi lembaga keuangan, Brexit akan menimbulkan berbagai hal yang buruk. Sementara Uni Eropa mengatakan akan menetapkan beberapa langkah untuk menghindari kekacauan total akibat Brexit.
EY mengatakan, perusahaan yang dilacaknya telah menciptakan 2.000 pekerjaan baru di tempat lain di Uni Eropa sebagai dampak dari Brexit. Seperti contohnya, Deutsche Bank, Goldman Sachs dan Citi yang telah memindahkan sebagian asetnya dari Inggris.
Bakal Pindahkan Aset Lebih Banyak ke Kota di Eropa
EY menambahkan, perusahaan keuangan kemungkinan akan memindahkan lebih banyak asetnya dan menciptakan lebih banyak pekerjaan di kota-kota Eropa lainnya dalam beberapa minggu mendatang.
Selama beberapa dekade ini, London telah menjadi ibukota keuangan Eropa dan merupakan markas internasional bagi puluhan bank global.
Berdasarkan City of London Corporation, industri jasa keuangan memperkejakan 2,2 juta orang di seluruh negeri, dan memberikan kontribusi 12,5 persen dari produk domestik bruto (GDP). Hal ini menghasilkan pendapatan pajak USD 100 miliar atau setara Rp 1.414 triliun setiap tahunnya.
Ekonomi Inggris menjadi menderita akibat Brexit. Inflasi melonjak dan kepercayaan konsumen menurun, serta merugikan sektor ritel negara ini. Selain itu, investasi bisnis telah turun secara drasti karena ketidakpastian perusahaan. Selain itu, pabrik besar termasuk Airbus telah memperkirakan bahwa mereka mungkin harus keluar dari Inggris karena ketidakpastian akibat Brexit.
Schaeffer, grup teknik Jerman menutup dua pabriknya di Inggris karena ketidakpastian. Bukti yang sangat nyata baru-baru ini muncul pada Senin 7 Januari 2019, ketika produsen dan penjual Motor Inggris mengatakan, penjualan mobil baru di negara itu turun 6,8 persen pada 2018 dan ini menjadi tahun kedua penurunan penjualan berturut-turut.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement