Eks Komisioner KPU: Rendahnya Kepercayaan pada Pemilu Bisa Jadi Konflik

Mantan Komisioner KPU Sigit Pamungkas berpendapat, KPU harus menaburkan benih kepercayaan kepada masyarakat sebelum hari pemungutan suara.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Jan 2019, 07:23 WIB
Badut berbentuk kotak suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), ondel-ondel, dan marching band ikut meramaikan pawai Deklarasi Kampanye Damai di Monas, Minggu (23/9). (Merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hasil pemilu dinilai bisa menyebabkan konflik. Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sigit Pamungkas berpendapat, KPU harus menaburkan benih kepercayaan kepada masyarakat sejak dini.

"Ketidakpercayaan terhadap hasil pemilu lebih jauh juga bisa menghasilkan potensi konflik, baik antara penyelenggara pemilu maupun kontestan," kata Sigit di Kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Selasa (8/1/2019).

Menurut dia, membangun kepercayaan publik terhadap pemilu sangatlah penting. Hal itu karena terkait dengan legitimasi proses elektoral yang sedang berlangsung saat ini. Ketika kepercayaan publik rendah, maka berbagai berbagai hal bisa terjadi.

"Keseluruhan proses dan hasil pemilu bisa kehilangan legitimasi, meskipun proses dan hasil pemilu itu sebenarnya tidak ada yang bermasalah. Tapi karena orang tidak percaya proses dan hasil pemilu ini, kemudian berusaha dikonstruksi jadi sesuatu yang bermasalah," ujar Sigit.

Dia mengungkapkan, kepercayaan publik terhadap KPU dan Bawaslu pada 2017 sangat tinggi, mencapai angka 80 persen. Hal itu merujuk hasil survei lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC).

Angka itu sangat tinggi bila menilik catatan bagaimana publik melihat penyelenggara pemilu. Di Pemilu 2009, kepercayaan publik lebih rendah, di bawah 70 persen. 

"Tapi kalau kita merujuk survei LSI dan ICW, Desember 2018, kepercayaan publik di bawah 70 persen, Bawaslu 69 (persen), KPU 68 (persen), turun 10 persen. Ini tentu jadi peringatan bagi kita semua untuk introspeksi apa yang sedang terjadi. Kenapa publik tingkat kepercayaannya menurun, ini jadi bahan penyelenggara pemilu merefleksi," sambung Sigit.

Saksikan video pilihan di bawah ini:


Lebih Responsif

Warga memasukkan surat suara ke dalam kotak suara saat menggunakan hak pilih pada pemungutan suara Pilkada Depok di TPS Kampung Pilkada RW 03, Depok, Jawa Barat, Rabu (9/12). (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Dia juga meminta KPU responsif terhadapi isu-isu yang bergulir. Bila tak cepat ditanggapi, Sigit khawatir proses Pemilu 2019 akan terganggu.

"Kalau penyelenggara pemilu tidak mengambil inisiatif lebih daripada sebelumnya kita khawatir pembelahan proses pemilu," katanya dalam diskusi bertajuk "Menuju Pemilu Bermutu" di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (5/1/2019).

Sigit menegaskan, KPU harus bisa memposisikan diri sebagai pemegang kendali masa depan demokrasi yang sehat. Kontestasi Pemilu kali ini, kata dia, harus bisa menjawab persoalan masyarakat dan bangsa, bukan saling adu isu primordial.

"Kalau adu primordial, kebencian terbelah jadi dua. Itu pasti akan membuat bangsa kita tidak pada posisi baik untuk berkompetisi di dunia global," ujarnya.

Dia berpesan, penanganan isu maupun penyelenggaraan pemilu 2019 tidak bisa menggunakan metode lama. KPU harus membuat terobosan baru mengikuti dinamika yang terjadi.

Reporter: Nur Habibie

Sumber: Merdeka.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya