Tagar #SaveRahaf Bikin Kasus Remaja Saudi Kabur Takut Dibunuh Keluarga Mendunia

Kasus kaburnya remaja Arab Saudi yang takut dibunuh keluarga menjadi sangat mendunia melalui tanda pagar #SaveRahaf.

oleh Happy Ferdian Syah Utomo diperbarui 09 Jan 2019, 11:04 WIB
Rahaf Mohammed al-Qunun (kanan), remaja Arab Saudi yang kabur ke Thailand karena takut dibunuh keluarganya, didampingi oleh otoritas imigrasi dan perwakilan UNHCR (AFP)

Liputan6.com, Bangkok - Pada Minggu 6 Januari 2019, sebuah akun Twitter baru dibuat oleh seorang remaja perempuan Arab Saudi berusia 18, yang ditolak masuk ke Thailand saat berusaha menyelamatkan diri dari ancaman keluarga dan risiko dibunuh di negara asalnya.

Pesan pertama dari Rahaf Mohammed al-Qunun --nama remaja tersebut-- diunggah dalam bahasa Arab pada pukul 03.20 pagi waktu Thailand dari area transit bandara Suvarnabhumi, Bangkok, Thailand.

Twit tersebut, sebagaimana dikutip dari The Straits Times pada Rabu (9/1/2019), berbunyi: "Saya adalah gadis yang melarikan diri dari Kuwait ke Thailand. Hidup saya dalam bahaya jika saya dipaksa untuk kembali ke Arab Saudi."

Setelah twit awalnya, Qunun mengunggah hampir tanpa henti selama lima jam, mengatakan dia telah dilecehkan dan diancam oleh keluarganya yang berasal dari Arab Saudi.

Tidak lama berselang, sebuah kampanye dengan tanda pagar (tagar) #SaveRahaf merebak secara masif di media sosial, disebarkan oleh jaringan aktivis hak asasi manusia di seluruh dunia.

Di belahan dunia lain, perhatian besar pengguna Twitter terhadap tagar #SaveRahaf membuat seorang aktivis AS keturunan Mesir, Mona Elthaway, menerjemahkan seluruh twit Qunun dan menyebarnya secara lebih luas.

"Saya sebenarnya sempat ragu apakah akun tersebut benar-benar menyampaikan fakta, tapi saya tetap lanjut me-retwit semua kicauannya," jelas Eltahawy.

Di belahan Bumi lainnya, seorang jurnalis video asal Sydney, Australia, memperhatikan retwit terjemahan Elthaway tersebut.

Sophie McNeill --nama jurnalis video itu-- dari stasiun televisi Australia Broadcast Corp, mulai merespons twit secara langsung ke Qunun, dan keduanya pun mulai berkorespondensi secara pribadi.

Retwit yang Mendorong Perubahan Sikap Otoritas Thailand

Pukul 11.00 pada hari Minggu di Thailand --delapan jam setelah Qunun mulai mengetwit-- Wakil Direktur Asia untuk Human Rights Watch, Phil Robertson, yang berbasis di Bangkok, juga mulai meretwit kasus ini.

Robertson juga menghubungi Qunun secara langsung, dan remaja yang tengah ketakutan itu pun menjawab.

"Dia mengatakan telah mengalami pelecehan fisik dan psikologis. Dia juga mengaku telah membuat keputusan untuk meninggalkan Islam. Dan saya tahu begitu dia mengatakan alasan tersebut, dia sedang dalam masalah serius," kata Robertson kepada kantor berita Reuters.

Setelah 36 jam kemudian, tagar tersebut berhasil mendorong pemerintah Thailand untuk membatalkan kebijakan memaksa wanita itu masuk ke pesawat yang akan mengembalikan ke keluarga kandungnya.

Qunun diizinkan memasuki Thailand dan pada Selasa 8 Janauri, dia memulai proses pencarian suaka di negara ketiga melalui badan pengungsi PBB, UNHCR.

"Semua orang menyaksikan. Ketika media sosial bekerja, inilah yang terjadi," kata Robertson.

Di bawah sistem hukum syariah yang dianut oleh Arab Saudi, melepaskan diri dari ajaran Islam adalah bentuk kejahatan yang bisa dihukum mati, meskipun selama beberapa dekade terakhir belum ada kasus serupa terekspos hingga ke mancanegara.

 

Simak video pilihan berikut: 

 


Perhatian Jurnalis Australia

(Foto: Skratos1983/Pixabay) Ilustrasi Pers

Pada awal Minggu sore, Wakil Direktur Asia untuk Human Rights Watch, Phil Robertson memberi tahu perwakilan UNHCR di Thailand dan beberapa kedutaan besar asing tentang kasus yang sedang berlangsung, dan mereka mulai menghubungi pihak berwenang Thailand.

Pada sekitar waktu yang sama, jurnalis McNeill memutuskan untuk terbang dari Australia ke Thailand dan mencoba untuk bertemu Qunun.

"Saya belum pernah berbicara dengannya," kata McNeill. "Bagi saya, sangat penting bahwa ini didokumentasikan, dan saya ingin berada di sana dan menyaksikannya."

Sementara McNeill sedang dalam perjalanan menuju Bangkok, Qunun terjebak di sebuah hotel transit bandara dan takut dia akan dipaksa untuk penerbangan berikutnya, kembali ke Kuwait. Dia terus mengetwit dan juga berkorespondensi dengan Robertson dari Human Rights Watch.

Sekitar pukul 5 sore pada hari Minggu, dia dibawa keluar dari kamarnya oleh otoritas Thailand, namun kemudian diizinkan kembali bertahan di bandara.

"Dia merekam dua orang (otoritas) ini berbicara dengannya," kata Robertson. "Mereka mengatakan dengan sangat jelas bahwa Qunun akan dimasukkan ke penerbangan Kuwait Airways KU 412, berangkat (Senin) pukul 11.15 pagi."

Pada saat ini, outlet media global telah menangkap berita tersebut dan pejabat imigrasi Thailand membenarkan bahwa Qunun akan diusir pada Senin pagi.

Sekitar jam 01.00 Senin dini hari, Qunun memposting video dirinya mendorong meja untuk menghalangi pintu kamar hotelnya.

McNeill tiba di Thailand pada Senin pagi dan berhasil menemui Qunun di kamar hotelnya.

"Ketika menjadi jelas bahwa dia tidak akan pergi, saya memutuskan bahwa penting untuk tetap tinggal dan seseorang mendokumentasikan apa yang sedang terjadi," kata McNeill.

Qunun menolak untuk membuka pintu ketika berbagai pejabat datang untuk mengawalnya ke penerbangan Kuwait Airways.

"Kami berada di dalam ruangan dan ada banyak orang yang datang ... Ada beberapa penutur bahasa Arab di antaranya, dan menggunakan bahasa yang mengancam mencoba memaksanya kembali ke pesawat," jelas McNeill.

Penerbangan ke Kota Kuwait akhirnya berangkat tanpa Qunun.


Otoritas Thailand Berubah Pikiran

Ilustrasi bendera Thailand (AP/Sakchai Lalit)

Pada Senin pukul 15.30 sore waktu setempat, Kepala Imigrasi Thailand Surachate Hakparn mengadakan konferensi pers di Bandara Internasional Suvarnabhumi, yang dihadiri oleh untuk puluhan perwakilan media Thailand dan internasional.

Setelah sehari bersikukuh bahwa Qunun harus dikirim kembali di bawah hukum Thailand, Surachate mengatakan dia tidak akan segera diusir karena bisa menyebabkannya dalam bahaya.

Perwakilan negara Komisi Tinggi untuk Pengungsi (UNHCR) PBB Giuseppe de Vincentiis tiba di Thailand sekitar pukul 17.00 sore pada hari yang sama, untuk bertemu dengan para pejabat Thailand dan Qunun sendiri.

Malam harinya, Surachate mengatakan kepada para jurnalis bahwa Qunun akan diizinkan untuk memasuki Thailand dan mengajukan suaka di negara ketiga.

Sehari setelahnya, UNHCR mengatakan bahwa akan membutuhkan waktu untuk memproses aplikasi Qunun, dan para pejabatnya terus menginterogasinya di lokasi yang dirahasiakan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya