Liputan6.com, Medan - Sidang perdana kasus ujaran kebencian yang menjerat dosen Universitas Sumatera Utara (USU), HDL, digelar di Pengadilan Negeri Medan, Jalan Pengadilan, Kelurahan Petisah Tengah, Kecamatan Medan, Kota Medan.
HDL terjerat kasus ujaran kebencian dan terpaksa harus menjalani proses hukum akibat unggahannya di media sosial Facebook. Ujaran kebencian itu diunggah perempuan 45 tahun ini di Facebook setelah teror Surabaya pada Mei 2018 lalu.
Dalam dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), Tiorida Juliana Hutagaol, HDL didakwa telah melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Baca Juga
Advertisement
"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu, berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan atau SARA," kata Tiorida di hadapan majelis hakim diketuai Riana Pohan, Rabu, 9 Januari 2019.
Terkait perbuatan ujaran kebencian, HDL, dosen di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) USU itu, dijerat dengan Undang-Undang ITE karena unggahan di akun media sosialnya. Di Facebook, HDL menuliskan 'Skenario pengalihan yg sempurna #2019GantiPresiden' dan 'ini dia pemicunya Sodara, Kitab Al-Quran dibuang'.
Unggahan HDL menjadi viral di media sosial karena dianggap sebagai salah satu bentuk ujaran kebencian. Petugas Subdit II Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Sumut kemudian melakukan penyelidikan dan mengamankan HDL di kediamannya, di Kompleks Johor Permai, Gedung Johor, Medan Johor, Kamis, 17 Mei 2018.
Simak video pilihan berikut ini:
Tak Ada Laporan Warga
Dalam dakwaan JPU, juga disebutkan bahwa terdakwa HDL membuat dan mengetik status di media sosialnya menggunakan Iphone 6S warna silver. HDL membuat tulisan di Facebook karena merasa kesal.
"Terdakwa juga jengkel dan sakit hati atas kepemimpinan Bapak Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia, di mana sembako pada naik atau mahal, tarif listrik naik atau mahal dan semua keperluan atau kebutuhan sehari-hari pada naik atau mahal," ucap Tiorida.
"Padahal, HDL sebelumnya sangat mengagung-agungkan Jokowi sebelum menjadi Presiden RI. Di mana janji-janji Bapak Jokowi pada saat kampanye pemilihan Presiden RI tahun 2014 sangat mendukung terdakwa dalam kehidupan sehari-hari," lanjut Tiorida membacakan dakwaannya.
Masih dalam dakwaan JPU, terdakwa juga menyatakan tidak ada orang lain yang menyuruhnya untuk membuat unggahan itu. Seluruh unggahan yang ada di Facebook dibuat terdakwa sendiri di rumahnya.
"Akibat perbuatannya, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu," ungkapnya.
Usai dakwaan dibacakan JPU, penasihat hukum HDL dari Tim Bantuan Hukum Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Medan memberi tanggapan. Penasihat hukum HDL menyatakan keberatan sehingga diberi kesempatan menyampaikan eksepsi.
Dalam eksepsi, penasihat hukum menyampaikan beberapa dasar keberatan, terutama terkait proses penyelidikan dan penyidikan yang tidak sesuai dengan KUHAP. Salah satunya, tidak ada masyarakat yang melapor sebagai korban ujaran kebencian, dan laporan justru dibuat penyidik.
"Pelapor sekaligus menjadi penyelidik tidak selaras dengan KUHAP. Kami juga menyoroti dakwaan yang dinilai tidak memenuhi syarat. Kami selaku penasihat hukum, menyatakan surat dakwaan sebagai dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum atau harus dibatalkan atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima," sebut salah satu penasihat hukum HDL, Rina Melati Sitompul.
Advertisement