Nyanyian 'Tsunami' Milik Emak dari Pulau Berhati Emas di Aceh

Ketika tsunami Aceh, hanya sedikit korban meninggal di Pulau Simeulue yang jaraknya tidak jauh dari episentrum gempa. Apa sebab? Mereka teringat nyanyian orangtua yang telah turun-temurun diajarkan.

oleh Rino Abonita diperbarui 10 Jan 2019, 12:31 WIB
Ilustrasi tsunami (Pixabay)

Liputan6.com, Aceh - Tiga buah piring keramik bermotif abad pertengahan pecah, vas kecil berbentuk stroberi terbelah dua, lempengan CD berisi lagu dangdut, India, dan beberapa film berserakan ke bawah meja. Isi bufet tampak berantakan bak kapal pecah.

"Saat itu, ibu sempat bersih-bersih pascagempa yang berlangsung menitan. Saya dan keluarga sebelumnya keluar ke halaman semua," ujar Bonol (30) mengawali kisahnya, kepada Liputan6.com, Rabu, 9 Januari 2019, malam, di sebuah warung kopi, sudut kota Meulaboh, Aceh Barat.

Dia mengaku sempoyongan hingga terasa isi perut mau keluar sesaat setelah gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter itu mengguncang Aceh. Ketika itu, dia berusaha menenangkan diri dengan bersandar ke beton teras rumah sambil menutupi mulutnya, menampakkan gelagat seseorang yang ingin muntah.

"Tidak, kami tidak langsung masuk ke rumah. Ada empat rumah di situ, di samping rumah juga ada lorong, ada rumah lagi. Di halaman yang menjadi halaman empat buah rumah berderetan, kami berkumpul. Kami bercerita dan bertanya-tanya soal kabar gedung roboh dan menimpa orang, tubuhnya terbelah dua di dekat gardu polantas," tutur Bonol.

Saat sedang bercakap-cakap di halaman rumah, ayah Bonol menceletuk soal cerita yang pernah disampaikan oleh neneknya, dulu sekali. "Kalau ada gempa seperti ini, kata orangtua, air laut naik ke daratan atau kami sebut smong," dia mengulang ucapannya yang saat itu tidak mengenal kosakata tsunami.

"Tentu saja kami tidak menganggap serius apa yang dikatakan ayah. Setelah gempa, masuk lagi ke dalam rumah, ayah memperbaiki becak, ibu merapikan dan membersihkan rumah, abang kembali ke dapur, masak mi, saya sendiri sedang bersiap mau ke luar. Namun, saat itu, saya tunggu orang yang pinjam sepeda saya pulang," sambungnya.

Pria lulusan ilmu politik itu menjelaskan serinci mungkin, soal tempat tinggalnya, yang tidak jauh dari pinggir pantai. Dengan memanjat beton lapangan sepak bola bisa langsung ke bibir pantai. Namun, sebelumnya, harus menyeberangi dua buah jalan besar.

Dulu, Bonol sering berlarian di jalan tersebut, sambil menghindari kendaraan untuk memungut bola yang terlempar ke luar lapangan, dengan masih mengenakan sepatu bola, yang mengeluarkan bunyi khas saat pool sepatu menyentuh lantai. Masa-masa itu, sangatlah menyenangkan, setidaknya bagi Bonol.

"Saat itu, ada desas-desus orang-orang berkumpul di pinggir pantai, karena ikan-ikan, katanya, berlompatan ke daratan. Bisa jadi, orang-orang menganggap fenomena yang tidak lazim itu sebagai berkah. Banyak yang kegirangan, memungut ikan untuk dibawa pulang," kata Bonol.

Sayangnya, kata dia, ikan-ikan itu tidak pernah berlompatan ke daratan, tetapi air laut surut sehingga membuat karang-karang di laut bermunculan. Orang-orang tidak tahu, di belakangnya, ada lumpur hitam bercampur belerang yang sedang menuju ke daratan dengan kecepatan penuh menerjang pesisir Aceh.

 


Sabung Nyawa Sang Tetangga

Ilustrasi tsunami (Unsplash.com)

"Aiiiiiiiiiiiiirr," ayahnya berteriak, tepat setelah Bonol mendengar bunyi persis saat sebuah tendem roller melindas aspal, dan mengeluarkan suara seperti guntur. Belakangan dia tahu, itu adalah bunyi air bah yang sedang menghantam apa pun yang ada di depannya.

Lumpur kecokelatan yang tingginya melewati pucuk pohon mangga di belakang rumah Bonol terlihat begitu jelas. Orang-orang berteriak histeris, ketakutan, sambil berlarian, sebagian menangis.

"Aku dan ibu, berlarian ke arah sebuah sekolah, lalu terus berlari dan berjalan, istirahat, diulang lagi. Ayah dan abang tidak tahu. Kami menyesak bertelanjang kaki di kerumunan. Aku dan ibu, mukjizat tidak kena air. Padahal awalnya, kami seperti kejar-kejaran dengan air. Aku melihat sendiri air laut cokelat di belakang rumah," tutur lelaki yang doyan bergelayutan dari warung kopi ke satu warung kopi ini.

Bonol dan ibunya sempat bertahan satu malam di rumah seorang pimpinan pesantren di Desa Leuhan. Sambil menyesakkan nasi putih tanpa lauk yang dia dan ibunya makan pada pagi itu, Bonol meneteskan air mata, mengingat pagi sebelum tragedi itu terjadi, semuanya baik-baik saja.

"Saat itu, sedihnya menyesakkan dada. Kau mau tahu. Kayak lagu Seventeen, yang judul 'Kemarin' itu, persis kali perasaan aku. Sakit kali, sumpah. Mau teriak rasanya. Kok kayak mimpi ya. Segitulah dunia. Tuhan bisa dengan sekali empas saja, langsung merengek kita," ucapnya.

Pada hari lain, belasan tahun kemudian, setelah tragedi gempa dan tsunami 26 Desember 2004 di Aceh terjadi, ayah Bonol menceritakan detik-detik seorang tetangga menyelamatkan nyawanya. Kala itu, ayahnya terjepit oleh sebuah pagar beton setelah digulung ombak.

Saat itu, ayahnya dapat merasakan ujung besi tajam dari kawat yang ada di pagar menusuk pahanya. Dia tidak bergerak sedikit pun, matanya mulai berkunang-kunang, dan mulutnya megap-megap.

Seorang lelaki yang dikenalinya sebagai tetangga melintas. Melihat ayah Bonol, lelaki yang sedang berusaha menyelamatkan diri di antara derasnya air itu kembali, lalu mengangkat pagar beton yang mengimpit ayah Bonol.

"Mukjizatnya, saat itu, ketika ayah saya tenggelam dan diimpit pagar, itu airnya tinggi seleher. Tapi, kok ya si tetangga itu, ukuran airnya seperti sepinggang saja. Seolah memang takdir. Padahal, air sangat deras, tapi dia mau selamatkan orang lain," Bonol mengulang kisah ayahnya yang selamat dari amuk tsunami.

 


Karena Nyanyian 'Emak'

Ilustrasi (iStock)

Hal yang paling disesalkan ayah Bonol karena tidak siap siaga setelah gempa. Jika saja dia menuruti nanga-nanga yang pernah dituturkan oleh nenek Bonol, bisa jadi, barang-barang berharga masih bisa diselamatkan.

"Tapi, saat itu ayah juga sudah curiga, ketika ada yang bilang, orang-orang memungut ikan di laut. Tapi, terlambat sadar. Sadar waktu air laut sudah menyapu daratan," kata Bonol.

Ketika itu, bala mengambil korban hingga ratusan ribu jiwa. Gelombang raksasa terjadi setelah gempa bumi di bawah laut, sekitar 100 kilometer sebelah barat pantai Sumatera, pukul 07.59 waktu setempat.

Gempa bumi berlangsung selama 10 menit. Menurut berbagai perhitungan, kekuatan gempa saat itu mencapai 9,1 sampai 9,3 pada skala Richter, dan merupakan gempa terbesar kedua dalam 100 tahun terakhir setelah gempa bumi di Chili berkekuatan 9,5 skala Richter yang terjadi pada 1960.

Aceh adalah salah satu wilayah terdampak paling parah. Korban jiwa saat itu mencapai 130.000 jiwa. Angka ini tidak termasuk jumlah korban di negara lain yang juga terdampak, seperti Sri Lanka, India, dan Thailand.

Namun, di balik itu semua, Pulau Simeulue adalah anomali. Pulau yang berada kurang lebih 150 kilometer dari lepas pantai barat Aceh ini, memiliki angka korban meninggal yang sangat sedikit dibanding wilayah lainnya.

Dari sekitar 78.000 penduduk di kepulauan itu, korban meninggal tidak sampai sepuluh orang. Para korban pun, disebut-sebut meninggal bukan karena tidak bisa menyelamatkan diri dari gulungan tsunami, akan tetapi faktor sakit dan tertimpa runtuhan gempa.

Minimnya jumlah korban jiwa dinilai tidak logis. Ini mengingat, Pulau Simeulue terletak hanya sekitar 60 kilometer dari episentrum gempa berkekuatan 9,1 Skala Richter tersebut.

Usut punya usut, masyarakat Simeulue terselamatkan oleh nyanyian yang sering disenandungkan oleh orangtua terdahulu. Masyarakat di Pulau Simeulue tidak mengenal istilah 'tsunami' tapi smong, yang sering disebut di dalam nanga-nanga.

Salah satu bunyi nanga-nanga tersebut, yakni:

Kilek, suluh-suluhmo, Lai’ (bubuk) kedang-kedangmo, Linon uak-uakmu, Smong dumek-dumekmo.

Artinya, 'kilat sebagai suluh (penerang) mu. Petir jadi gendang-gendangmu. Gempa jadi ayunanmu. Tsunami jadi permandianmu'.

Cerita tutur smong ini menjadi kearifan lokal. Diteruskan dari generasi ke generasi, jauh, sebelum tragedi gempa dan tsunami di Aceh terjadi.

'Smong' terjadi pada 1907. Bencana tersebut terjadi pada Januari pukul 14.00 waktu setempat, berpusat di Salur, Mukim Bakudo Batu, Kecamatan Teupah Barat, Simeulue.

Karena itu, tak lama setelah gempa terjadi masyarakat di kepulauan Simeulue bergegas ke dataran tinggi. Mereka sudah memprediksikan akan terjadi gelombang raksasa yang dikenal sebagai smong.

Atas hal ini, United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR) memberi penghargaan UN Sasakawa Award kepada orang-orang Simeulue pada 12 Oktober 2005. Penghargaan itu diberikan di Bangkok, Thailand.

Selain itu, kosakata smong ikut memperkaya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi terakhir atau Edisi V. Dari 127.036 lema, terdapat 250 lema yang diserap dari bahasa Aceh, termasuk di dalamnya, kosakata smong.

"Tapi, yang paling disayangkan, itu hanya menjadi keping budaya, hanya budayawan yang tahu, mayoritas orangtua saat ini mana tahu smong, maksudku dengan aspek adatnya, tahunya ya, habis gempa hati-hati tsunami. Atau lihat apa info BMKG. Sonar alami tidak lagi," ujar pria yang lahir di pulau yang punya julukan 'Simeulue Ate Fulawan' atau Simeulue Berhati Emas.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya