Capres Oposisi Diperkirakan Menang Pilpres Republik Demokratik Kongo

Felix Tshisekedi, capres dari kubu oposisi, diperkirakan akan memenangi Pilpres Republik Demokratik Kongo (RD Kongo).

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Jan 2019, 13:00 WIB
Calon Presiden Republik Demokratik Kongo, Felix Tshisekedi (AFP PHOTO)

Liputan6.com, Kinshasa - Felix Tshisekedi, capres dari kubu oposisi, diperkirakan akan memenangi Pilpres Republik Demokratik Kongo (RD Kongo), mengungguli dua kandidat lain yang ikut berkompetisi sejak pemungutan suara dimulai pada 30 Desember 2018, kata komisi pemilihan negara itu.

Hasil sementara menempatkan total suara yang diperoleh Tshisekedi berada di depan dua kandidat lainnya; poros oposisi kedua, Martin Fayulu; dan Emmanuel Shadary, kandidat yang diusung partai pemerintah yang saat ini berkuasa, demikian seperti dikutip dari BBC, Kamis (10/1/2019).

Jika terkonfirmasi, Tshisekedi akan menjadi kandidat pertama dari kubu oposisi yang memenangi pilpres sejak Republik Demokratik Kongo berdiri --ketika negara itu merdeka dari kolonialisme Belgia pada 1960.

Presiden saat ini, Joseph Kabila akan mengundurkan diri setelah 18 tahun menjabat. Dia telah berjanji untuk mentransfer kekuasaan secara teratur ke pemenang pilpres.

Menurut perolehan suara sementara per Kamis 10 Januari pagi waktu lokal --dengan total suara masuk hampir mencapai 50 persen-- Felix Tshisekedi mendulang sekitar 7 juta suara. Membuntuti di belakangnya ada Martin Fayulu dengan total 6,4 juta suara dan Emmanuel Shadary dengan 4,4 juta suara.

Total suara masuk diperkirakan akan mencapai 100 persen pada Minggu 13 Januari 2019.

Tshisekedi, yang merupakan putra dari mantan pemimpin oposisi veteran Etienne Tshisekedi, telah berjanji untuk menjadikan perang melawan kemiskinan sebagai prioritas kepemimpinannya.

Presiden Joseph Kabila mengambil alih kekuasaan dari dari ayahnya yang terbunuh, Laurent Kabila pada 2001. Joseph Kabila terpilih pada tahun 2006, dan menjabat untuk periode kedua usai pemilihan kontroversial pada tahun 2011.

Joseph Kabila telah dilarang kembali mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga menurut konstitusi, dan seharusnya mundur dua tahun lalu, tetapi, pemilihan ditunda setelah Komisi Pemilihan Republik Demokratik Kongo mengatakan perlu waktu lebih banyak untuk mendaftarkan pemilih.

 

Simak video pilihan berikut:


Kekhawatiran Situasi Pascapengumuman Hasil Akhir

Presiden Republik Demokratik Kongo, Joseph Kabila (AP)

Ini adalah momen bersejarah bagi partai pengusung Felix Tshisekedi, UDPS, yang telah gagal dalam upaya meraih kekuasaan selama beberapa dekade.

Namun dalam beberapa hari terakhir, desas-desus tentang kesepakatan antara Tshisekedi dan Kabila telah menimbulkan kekhawatiran di antara anggota oposisi lainnya, menurut laporan BBC di RD Kongo. Tshisekedi sendiri telah mengakui pembicaraan dengan partai yang berkuasa untuk mempersiapkan transisi kekuasaan.

Calon dapat mengajukan banding terhadap hasil pilpres dan keputusan akhir akan diumumkan oleh pengadilan konstitusi.

Pertanyaan besar sekarang adalah bagaimana negara akan bereaksi. Ada kekhawatiran serius tentang krisis domestik pascapemilu jika orang menyimpulkan bahwa hasilnya kurang memiliki kredibilitas.

Gereja Katolik, yang memiliki jumlah pemantau pemilu terbesar, telah memperingatkan mereka akan menolak hasil apa pun yang mereka yakini sebagai penipuan.

Pada Rabu 9 Januari 2019, polisi antihuru-hara dikerahkan di ibu kota, Kinshasa, di tengah kekhawatiran bahwa hasil yang disengketakan dapat memicu kekerasan.

Pemungutan suara yang dimulai akhir bulan lalu dirusak oleh tuduhan kecurangan suara. Gereja Katolik yang berpengaruh, yang mengerahkan 40.000 pengamat selama pemungutan suara dan telah memantau pemilihan, memperingatkan bahwa telah terjadi penyimpangan.

Para pemimpin Zambia dan Afrika Selatan mendesak para pejabat untuk merilis penghitungan cepat untuk menghindari kecurigaan tumbuh di sekitar pemilihan, yang telah dinodai oleh tuduhan penipuan.

Pada Selasa 8 Januari, Capres Martin Fayulu memperingatkan para pejabat pemilu untuk tidak "menyembunyikan kebenaran" karena ketegangan terus meningkat atas hasil yang tertunda.

Setelah pemungutan suara 30 Desember 2018, layanan internet dan pesan teks ditutup secara nasional dalam suatu langkah yang menurut pemerintah diperlukan untuk menjaga terhadap penyebaran hasil tidak resmi dan berita hoaks.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya