Liputan6.com, Melbourne - Bagi sebagian besar orang Indonesia, memakan jeroan atau bagian-bagian lain dari tubuh hewan seperti otak dan buntut, mungkin adalah hal yang wajar. Tapi untuk kebanyakan warga yang tinggal di negara-negara Barat, mereka menganggapnya sebagai "makanan aneh", bahkan menjijikan.
Saat menjelajahi kawasan Fuzhou di China tenggara, duo blogger asal Inggris, Chris Behrsin dan Ola Jagielska, tak sengaja memesan kodok dari menu berbahasa China. Mereka menyangka bahwa itu adalah daging ayam.
Advertisement
Alih-alih merasa jijik, keduanya malah menyukai masakan itu. Mereka juga belakangan mengetahui jika kaki kodok adalah sumber protein yang baik dan memiliki kandungan Omega-3.
Blogger dari channel "Being a Nomad" yang sudah keliling Asia ini menjadi segelintir orang yang mengakui makanan alternatif, setelah mencoba pertama kalinya saat berlibur dan menemukan budaya yang berbeda.
"Semakin mendunia, kita mulai menerima jenis-jenis makanan lain dan menganggapnya normal … serangga, ubur-ubur, cacing, jamur mentah, adalah diantaranya," ujar Chris kepada Erwin Renaldi dari ABC Indonesia, yang dikutip Liputan6.com pada Kamis, 10 Januari 2019.
Selain karena industri pariwisata yang makin marak, para pengamat juga mengatakan, penemuan makanan-makanan baru telah dipengaruhi oleh jejaring sosial, globalisasi, serta kekhawatiran soal makanan yang berkelanjutan.
Innova Market Research di Amerika Serikat adalah salah satu perusahaan yang memprediksi konsumen di tahun 2019, bahwa orang-orang di muka Bumi akan lebih berani mencoba makanan yang dianggap "aneh".
Produk makanan dari bahan dasar nabati juga akan menjadi tren menggantikan protein hewani, seperti kacang-kacangan dan lentil.
Juru bicara Innova Market Research mengatakan kepada ABC bahwa tren ini dipengaruhi oleh semakin meningkatnya kesadaran kesehatan, selain juga karena pertimbangan kesejahteraan hewan dan lingkungan berkelanjutan.
"Generasi muda (Millennial dan Generasi Z) disebut-sebut akan lebih berhati-hati dengan produk yang hendak mereka beli," ujarnya.
"Bagus atau tidaknya di Instagram menjadi faktor penggerak utama bagi konsumen dari generasi ini. Makanan yang baru, unik, kreatif, dengan warna-warni yang funky, bentuk, dan rasanya, menjadi hal-hal yang menyenangkan," pungkas sang jubir.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Membuat Makanan Menjijikan Jadi Enak
Carolyn Phillips, penulis buku memasak yang meraih sejumlah penghargaan, serta blogger "Madame Huang's Kitchen", pernah tinggal di Taiwan selama 8 tahun.
Ia mengatakan masakan-masakan Asia seringkali mendapat reaksi negatif di negara-negara Barat, karena dianggap menggunakan bagian-bagian "aneh" dari hewan, seperti usus, otak, dan buntut.
Tapi, Carolyn tahu bagian-bagian binatang itu enak jika dimasak dengan cara yang benar.
"Kadang-kadang kita perlu menutup mata, buka mulut, dan percaya jika orang lain akan membuat bagian menjijikan jadi enak. Dengan dunia yang makin mengecil, kita belajar bahwa rasa enak tidak mengenal batasan," tegasnya.
Sementara itu, Kara Nielsen, wakil presiden bidang tren makanan dan pemasaran di CCD Helmsman mengatakan kepada ABC bahwa konsumsi serangga secara global mulai bertambah.
"Negara-negara berkembang mencari protein berkelanjutan yang murah. Jumlah (konsumsi serangga) masih sangat kecil di Amerika Serikat, tetapi saya rasa orang-orang muda lebih terbuka untuk memakannya," katanya.
Kara mengatakan generasi muda lebih sadar tentang perubahan iklim, dan lingkungan keberlanjutan terus menjadi diskusi global.
Noby Leong, seorang ilmuwan dan presenter ABC untuk program sains "Catalyst", sudah mengkonsumsi serangga sebagai sumber protein alternatif.
Ia sering membuat roti menggunakan campuran tepung gandum dan jangkrik. Pernah juga menikmati taco, makanan khas Mexico, dengan cacing giling dan tak ketinggalan salad dan guacamole.
Dr. Leong mengatakan serangga adalah alternatif protein yang berkelanjutan, karena membutuhkan lebih sedikit air untuk produksinya. Bandingkan dengan satu kilogram daging sapi yang membutuhkan sekitar 150.000 liter air.
Advertisement