Liputan6.com, Garut - Bagi warga Garut, Jawa Barat, yang lahir sejak 1970-an, tentu pernah mendengar nama-nama lokasi familiar ini. Sebut saja Mandalagiri, Blok I, hingga Kampung Baru. Tiga lokasi itu menjadi tempat mangkal kupu-kupu malam plus hidung belang legendaris di Garut sejak dulu.
Meskipun tidak secara resmi menjadi tujuan utama layaknya lokalisasi Dolly di Surabaya, Jawa Timur, ketiga tempat itu memang seolah membuka catatan lembaran hitam pemuas nafsu berani anak manusia di Kota Intan yang terkenal sejuk dan dingin tersebut.
Advertisement
"Sekarang juga masih ada, tapi memang sudah menyebar," ujat Aim (64), saat berbincang dengan Liputan6.com, Kamis (10/1/2019) petang.
Menurut dia, kehidupan dunia malam mulai menjamur di pertengahan 1980-an. Saat itu kawasan Mandalagiri, yang berdekatan dengan pasar dan stasiun kereta api Garut Kota kerap dijadikan tempat mangkal kupu-kupu malam.
"Saat bersamaan tidak terlalu lama, stasiun kereta api berhenti, jadi sepi," ujarnya mengenang.
Berada hampir berdekatan dengan pusat Kota Garut, banyak pelanggan yang datang ke lokasi prostitusi itu. Sudah tak terbilang berapa orang yang pernah merasakan jasa PSK di sana. Berada di dekat jalur rel yang nyaris sepi, keberadaan mereka seakan menemukan rumah baru dalam mencari teman kencan.
"Jika kita lewat saja di sekitaran itu (Mandalagiri), mereka langsung keluar," ujar warga Garut, yang sempat menyaksikan keberadaan mereka dalam melakoni dunia esek-esek di sana.
Sebagai mantan pegawai keamanan stasiun radio sturada, salah satu radio milik pemerintah Garut saat itu, Aim tahu betul aktivitas malam mereka. Perlahan tapi pasti, kiprah mereka pun terus meluas hingga ke beberapa lokasi, seiring membaiknya perekonomian warga.
Sebut saja di bilangan Jalan Guntur Melati, terutama sekitar halaman radio sturada, kemudian Jalan Guntur, hingga Rengganis tepat dekat pusat perbelanjaan Ramayana saat ini. "Biasanya mulai keluar sejak pukul 09.00 (21.00 WIB) malam sampai pukul 03.00 dini hari," ujarnya menunjukkan awal mula mereka menjajakan diri.
Sedangkan khusus tempat mangkal waria alias banci, sebutan warga Garut memanggil mereka, kawasan lapangan Kerkof dan sekitarnya, menjadi lokasi utama mangkalnya mereka. Dengan dandanan bahenol plus makeup tebal di wajah, mereka tak segan menghentikan kendaraan yang lewat, untuk mengajak pengemudinya berkencan.
Pola hidup mereka dalam menjaring mangsa memang tidak lekang dimakan zaman. Meskipun ancaman penyakit menular seperti Aids, HIV, raja singa, dan lainnya menghantui, tak jarang mereka masih enggan menggunakan pelindung seperti kondom.
"Tidak enak katanya," ujar sumber lain yang enggan disebutkan namanya sambil tersenyum.
Sumber itu mengatakan, asal mula menjamurnya praktik adu syahwat di Kota Garut, segendang sepenarian dengan berkembangnya ekonomi masyarakat. Beberapa pendirian lokasi pusat ekonomi dan keramaian masyarakat Garut pun langsung menjadi buruan mereka selanjutnya.
Puncaknya terjadi pada 1985, saat pemerintah Garut membangun pasar Induk Ciawitali, plus terminal angkutan Guntur di sampingnya yang berada di wilayah Kecamatan Tarogong. Para PSK ini melakukan ekspansi mengikuti keramaian.
Para penjaja seks yang biasanya mangkal di seputaran Mandalagiri, Guntur, dan sekitarnya di wilayah Garut Kota, berangsur pindah ke lokasi pasar dan terminal.
"Kalau di pasar dulu paling terkenal di Blok I dan sekitaran Kota Baru," ujar Endang, warga lainnya yang biasa berjualan di pasar.
Lokasinya yang berada di sudut dan paling ujung pasar di sebelah selatan, membuatnya jauh dari ingar-bingar keramaian. Awalnya banyak kios yang digunakan untuk praktik itu, tapi kini berangsur membaik. “Sebab, di sebelahnya banyak toko asin dan terasi, jadi mungkin bau,” ujarnya sambil tersenyum.
Dua nama lokasi terakhir, memang cukup dikenal pada masanya, sebagai daerah pemuas nafsu berani dengan harga paling miring. Tak ayal, dalam perkembangan selanjutnya, banyak wanita nakal mangkal di sana mencari mangsa.
"Biasanya beroperasi sampai sebelum Subuh, sebelum pasar ramai," ujar dia.
Sulit Dihilangkan
Aim mengaku, praktik esek-esek di Garut memang sulit dihilangkan, selain penegakan hukum yang terbilang ringan, juga munculnya pusat perekonomian masyarakat, menjadi lahan baru bagi mereka. "Bahkan kalangan berduit, biasanya dibawa ke Hotel Cipanas," ujar Agus, warga lainnya menambahkan.
Menurut Agus, sejak perpindahan kawasan pasar dan terminal ke lokasi sekarang di Jalan Guntur Melati, keberadaan mereka semakin merajalela, dengan dandanan menggoda, mereka tidak malu lagi mengajak hubungan badan bagi siapa pun laki-laki dewasa yang lewat. "Ah mana malu, mereka biasa-lah," ujarnya.
Dalam perjalanan selanjutnya hingga kini, keberadaan mereka semakin sulit diberantas, razia rutin yang dilakukan aparat gabungan, seakan tak membuat efek jera bagi mereka.
Bahkan area mangkal pun semakin menjadi. Jika sebelumnya hanya berada di tiga titik tadi, saat ini mulai muncul lagi kawasan mangkal baru, sebut saja depan Pengadilan Negeri, kemudian Simpang Lima, Alun-Alun Dekat Masjid Agung Garut, hingga kawasan wisata Cipanas Garut. "Biasanya kalau hotel hanya bersifat internal saja, itu pun terbatas hanya pada hotel tertentu saja," kata dia.
Ia berharap, dengan semakin banyaknya daerah baru tempat mangkal mereka, petugas keamanan semakin intens melakukan razia dan pembinaan bagi mereka, sehingga ancaman menyebarnya penyakit masyarakat ity bisa segera dihentikan, bagi generasi mendatang.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement