Liputan6.com, Caracas - Nicolas Maduro telah dilantik sebagai presiden Venezuela untuk masa jabatan kedua pada Kamis 10 Januari 2019 waktu lokal. Pelantikannya terjadi di tengah kecaman internasional terhadap dugaan pilpres yang tidak sah dan krisis ekonomi menahun di Venezuela.
Pemimpin berusia 56 tahun dan berhaluan sosialis itu mengatakan, masa jabatan enam tahunnya yang baru adalah "langkah damai bagi negara kita," demikian seperti dilansir BBC, Jumat (11/1/2019).
Ribuan penonton berkumpul untuk upacara pelantikan di Caracas, yang turut dihadiri oleh Presiden Nikaragua Daniel Ortega dan Presiden Bolivia Evo Morales.
Maduro dilantik oleh Mahkamah Agung Venezuela, alih-alih Parlemen Nasional. Itu dilakukan karena dewan legislatif negara itu dikuasai oleh kelompok oposisi, sejak mereka melucuti kekuasaan Partai Sosialis yang dipimpin Maduro pada 2016.
Pasukan keamanan ditempatkan di ibu kota dan kota-kota lain, ketika kelompok-kelompok oposisi menyerukan pukulan keras dan membunyikan klakson sebagai protes selama upacara pelantikan.
Baca Juga
Advertisement
Pemilu Mei 2018 yang dimenangi Maduro tercoreng oleh boikot oposisi dan klaim kecurangan suara.
Amerika Serikat dan 13 negara lain di Benua Amerika mengatakan pekan lalu bahwa mereka tidak akan mengakui kepresidenan Maduro.
Tapi Maduro tak bergeming dan justru melontarkan retorika keras terhadap pengkritik internasionalnya.
"Venezuela adalah pusat perang dunia yang dipimpin oleh imperialisme Amerika Serikat dan negara-negara satelitnya," kata Maduro dalam pidatonya.
"Ada masalah di Venezuela, seperti di negara lain. Tapi kami, Venezuela, harus menyelesaikannya, tanpa intervensi asing," tambahnya.
Pemimpin Venezuela itu juga mengatakan hak politik di Amerika Latin telah "terkontaminasi," mengutip kenaikan kekuasaan Presiden Brasil Jair Bolsonaro, yang ia sebut sebagai "fasis".
Beberapa menit setelah Maduro dilantik, Presiden Paraguay Mario Abdo mencuit lewat Twitter bahwa ia memutuskan hubungan diplomatik dengan Venezuela dan segera menarik diplomat negaranya dari Caracas. Peru juga mengikuti jejak Asuncion.
Organisasi Negara-negara Amerika juga menyetujui resolusi yang menyatakan masa jabatan Maduro yang kedua di Venezuela sebagai "tidak sah."
Kritik Atas Presiden Maduro
Sejak menjabat, Maduro dikecam di dalam dan di luar negeri atas tuduhan pelanggaran hak asasi manusia dan atas penanganan buruknya terhadap krisis ekonomi domestik, yang hampir membuat negara itu hancur.
Venezuela adalah salah satu produsen minyak terbesar di dunia dan memegang kepresidenan kartel minyak OPEC hingga tahun 2025.
Tetapi ketergantungan yang berlebihan pada minyak --di mana itu menyumbang sekitar 95 persen dari pendapatan ekspornya-- membuat negara itu rentan ketika harga turun pada 2014.
Akibatnya, biaya barang-barang impor seperti makanan dan obat-obatan telah meningkat, dan inflasi mata uang telah meroket.
Pemerintah juga semakin berjuang untuk mendapatkan kredit setelah gagal dalam beberapa obligasi pemerintahnya. Sebagai tanggapan, pemerintah telah mencetak lebih banyak uang, dan mengakibatkan mata uang mengalami devaluasi lebih lanjut.
Menurut sebuah studi oleh Majelis Nasional yang dikendalikan oposisi, tingkat inflasi tahunan Venezuela mencapai 1.300.000 persen dalam 12 bulan hingga November 2018.
AS juga telah menjatuhkan sanksi yang diklaim Maduro merugikan Venezuela senilai US$ 20 miliar tahun lalu.
PBB mengatakan 2,3 juta rakyat Venezuela telah melarikan diri dari negara itu sejak 2015 karena kesulitan ekonomi.
Kerusuhan anti-pemerintah pada tahun 2014 menewaskan 43 orang, dan setidaknya 125 orang tewas dalam berbulan-bulan protes pada tahun 2017.
Presiden Maduro mengatakan kepada wartawan tahun lalu bahwa AS berencana untuk membunuhnya dan menggulingkan pemerintahannya, tetapi tidak menghasilkan bukti.
Simak video pilihan berikut:
Kontroversi Terpilihnya Maduro
Nicolas Maduro pertama kali terpilih sebagai presiden Venezuela pada 2013, menggantikan Hugo Chavez yang meninggal karena kanker setelah memerintah selama 14 tahun.
Maduro terpilih kembali pada Mei tahun lalu, dalam sebuah pemilu yang awalnya direncanakan pada bulan Desember 2018. Tapi pemungutan suara itu dirusak oleh boikot oposisi dan tuduhan kecurangan suara.
Dewan Pemilihan Nasional Venezuela (CNE) menempatkan jumlah pemilih di kisaran presentase 46 persen dari total, tetapi kelompok oposisi politik menuduh nominal itu jauh lebih rendah.
Koalisi oposisi utama Venezuela mengatakan tanggal pemilihan telah diubah untuk mengambil keuntungan dari kekacauan di dalam kelompok-kelompok oposisi.
Oposisi juga berargumen bahwa beberapa kandidat yang paling menjanjikan telah dilarang mencalonkan diri dan beberapa dipenjara, sementara banyak yang lain telah meninggalkan negara itu.
Kandidat oposisi utama, Henri Falcón, menolak hasilnya segera setelah pemilihan ditutup dan menyerukan pemilihan baru.
Awal pekan ini, hakim Mahkamah Agung Christian Zerpa melarikan diri ke AS sebagai protes terhadap masa jabatan kedua Presiden Maduro, dengan alasan pemilihan "tidak bebas dan adil".
Misi Diplomatik AS untuk PBB menyebut proses itu "penghinaan terhadap demokrasi."
Tapi, beberapa negara tetangga Bolivia, Nikaragua, El Salvador dan Kuba menyatakan dukungan mereka untuk hasil pemilu Venezuela.
Presiden Maduro telah menolak klaim bermain curang, mengatakan "oposisi harus meninggalkan kita sendiri untuk memerintah."
Advertisement