Liputan6.com, Aceh - MH merutuk temannya karena salah memberitahu arah seperti yang tertera di GPS. Hampir satu jam berkeliling tanpa tujuan, dari satu jalan ke satu lorong, sementara jam digital di mobil mendekati angka 12 malam.
S tidak banyak membantu. Dia lebih suka menaikturunkan volume suara MP3 di handphone-nya, mengikuti volume kakofoni omelan dua temannya, AR dan MH, yang dari tadi saling menyalahkan dan saling tunjuk batang hidung.
"Jadi di mobil itu kami bertiga. Satu duduk diam, dengar musik, satu jadi navigator, dan saya mengendarai. Kebetulan itu mobil keluarga," kata MH kepada Liputan6.com, dalam bincang serius di sebuah acara pernikahan, Jumat 11 Januari 2019, malam.
Baca Juga
Advertisement
AR menemukan alamat sebuah losmen di GPS. "Ini yang terakhir," ujarnya dari dalam mobil kepada S dan MH yang tengah duduk menekur di sebuah kedai dekat trotoar sambil menikmati kepulan demi kepulan asap rokok yang sedari tadi mereka tahan karena di dalam mobil tidak boleh ada bau nikotin.
Setelah memasuki sebuah gang yang gelap, mereka mulai meragukan alamat yang tertulis di GPS. AR semakin curiga melihat sekumpulan wanita mengenakan kaos oblong, bercelana jeans tak berjilbab duduk di teras belakang sebuah rumah toko (ruko) bercat kusam yang berada tepat di sebelah kanan gang.
Di ujung gang terdapat sebuah halaman selebar lapangan tenis penuh rumput dan rongsokan besi mirip kerangka mobil. Dari halaman itu dapat dilihat ujung bangunan ruko yang seolah mencakar langit.
Mobil ditumpangi tiga sahabat yang datang ke Banda Aceh untuk keperluan menemani MH yang tengah mengikuti seleksi CPNS tahun 2018 itu, tiba-tiba berhenti di tengah halaman. Sedan hitam itu tidak bergerak sama sekali karena ada beberapa gundukan tanah dan sampah yang menghalangi laju roda belakang.
"Yang membuat 'petak' muka kita itu, karena ada cewek-cewek itu. Mereka tersenyum-senyum, centil. Ada beberapa cowok juga menemani. Hampir sepuluh menit, kita berhadap-hadapan, kami di dalam mobil, mereka diluar. Kami awalnya 'kekeh', karena berpikir kaca tidak tembus pandang, baru ingat kaca depan polos," tutur MH, seraya tertawa.
Setelah berusaha lebih keras, MH yang baru belajar menyetir lima bulan yang lalu akhirnya berhasil mengeluarkan mobil kesayangannya itu ke jalan utama. Dia sempat melihat seorang diantara wanita itu mengerling dengan manja.
Belakangan, seorang penjaja rokok di pinggir jalan terkekeh mengetahui tiga pemuda itu rupanya telah salah alamat. Alamat yang tertera di GPS adalah alamat salah satu losmen tempat biasa PSK mengeksekusi jasa sex dengan para pelanggannya (eksekusex).
"Kalau kalian sanggup boleh. Tapi jangan sampai endak bisa tidur, dengar suara 'ah, eh, oh' , dari kamar di sebelah kalian," MH mengulang sentilan abang penjaja rokok. Saat itu, waktu menjelang pukul 2 pagi.
Setelah singgah dan menanyakan harga penginapan sebuah losmen bertaraf syariah,--karena syaratnya, punya kartu nikah atau tidak membawa pasangan yang bukan muhrim-- namun punya harga yang tidak sanggup dipenuhi, mereka terpaksa menginap di balai sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mereka kenal. Tapi sebenarnya mereka tidak tidur, karena nyamuk dan teror cerita hantu di tempat itu.
"Pokoknya gelilah. Pantesan saya gak lulus CPNS, besoknya. Dikira kita pelanggan. Karena kita naik mobil, dan ada cewek yang cepat-cepat masuk ke kamar, kayak mau bersolek atau benarin kamar, padahal kita salah alamat," MH mengaku selalu geli mengingat kejadian itu. Dengan nada lawakan, MH mengatakan mereka telah dijebak, oleh Global Positioning System (GPS).
Tapak Bisnis 'Lendir' di Negeri Syariah
Pengalaman MH dan dua rekannya yang nyasar ke losmen esek-esek di Kota Banda Aceh bukanlah hal mengejutkan. Sekalipun berjuluk Serambi Makkah, dan acap dipandang kaku dengan peraturan syariat, nyatanya Aceh berusaha keras menebas ilalang hitam yang mengotori halaman, bahkan ruang tengah provinsi paling ujung pulau Sumatera tersebut.
Jika di Surabaya dikenal dengan 'Gang Dolly', maka di Kota Banda Aceh yang dijuluki dengan Kota Madani juga terdapat gang kecil yang menjadi pusat prostitusi. Gang sempit hanya berukuran 2 meter yang dihimpit pertokoan, menghubungkan antar jalan di kawasan Peunayong itu, dikenal dengan nama 'Gang Mabok'.
2014 lalu, Gang Mabok masih menjadi lokasi favorit wanita malam yang menjajakan pelayanan seks untuk pria hidung belang. Polisi syariat atau Wilayatul Hisbah (WH) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) sempat beberapa kali mengamankan perempuan 'nakal' dari tempat itu.
Pasca heboh pemberitaan tertangkapnya muncikari dan tujuh PSK pada 2018, tahun lalu, bukan berarti memutus mata rantai dan geliat nakal para 'kupu-kupu malam' di Aceh. Mereka tetap ada, sekali pun mengendap-endap, bahkan merayap.
Saat itu, Kapolresta Banda Aceh, Kombes Pol. Trisno Riyanto, mengaku, sudah memetakan lokasi dan wilayah yang sering dijadikan tempat transaksi. “Ini kita masih selidiki,” sebutnya saat menggelar jumpa pers terkait penangkapan germo dan tujuh PSK di salah satu hotel di Aceh Besar, Jumat 23 Maret 2018.
Di tahun yang sama, merebak kabar prostitusi rumahan berhasil di bongkar polisi di Aceh Barat. Lebih miris, 'bisnis lendir' ini, melibatkan anak di bawah umur, dengan E dan H, sebagai otak pelaku dibalik bisnis terselubung yang dipusatkan di rumah yang mereka tempati.
Keberadaan para 'kupu-kupu malam' di Aceh diperkuat Cut Putri Widya Fonna, F, seorang mahasiswi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unsyiah, dalam penelitiannya 'Gaya Hidup Pekerja Seks Komersial di Negeri Syariat Kota Banda Aceh' pada tahun 2017. Selain itu, Muhammad Reza, dari kampus dan tahun yang sama pernah meneliti' Faktor Pengambilan Keputusan Remaja Putri Sebagai Pekerja Seks Komersial di Kota Lhokseumawe'.
Kedua penelitian ini diterbitkan di website resmi milik universitas. Dalam penelitiannya, Cut Putri Widya Fonna menyebut, interaksi antara PSK di Banda Aceh dan warga sekitar terjalin dengan baik, dimana tidak pernah terjadi pertentangan antar PSK dengan warga setempat.
"Interaksi tersebut lebih kepada individu-individu yaitu saling tidak peduli urusan antara satu dan yang lain, banyak juga tetangga yang tidak mengetahui pekerjaan asli mereka termasuk keluarganya, sehingga seluruh bantuan yang PSK berikan (berupa materi) dengan mudah diterima oleh keluarga," jelas Cut Putri Widya Fonna di halaman abstrak penelitiannya, seperti ditelusuri Liputan6.com di website kampus, Jum'at, 11 Januari 2019, malam.
Sementara itu, di dalam penelitiannya, Muhammad Reza menyebut, terdapat dua faktor para remaja yang menjadi responden, memutuskan menjadi PSK. Faktor internal meliputi ekonomi, dan faktor eksternal, yaitu, lingkungan dan historis yang melatari kehidupan para responden.
Mengenai bagaimana kehidupan malam dan strategi para PSK menyabung hidup di Kota Syariah, meskipun belum ada data valid, dapat ditelusuri melalui cerita dari sumber yang mengaku pernah bersentuhan dengan 'hal yang begituan'. Beberapa media maenstream juga pernah menyusuri lorong-lorong yang tersembunyi dari mata orang luar ini.
"Itu rahasia umum ya. Tapi, seperti yang kita bilang tadi, bukan lokalisasi ya. Kan pemerintah melarang. Tapi terselubung, dan hanya menjadi bagian dari dunia hitam kita saja. Prosesnya, ya, pakai aplikasi sejenis socmed itu. Tapi tidak maenstream punya. Rahasialah," sebut FY (26), seorang wanita, yang mengaku pernah dan masih terjerembab di dunia yang dia sebut 'dunia hitam' kepada Liputan6.com, di sebuah kafe di Meulaboh, Jum'at, 11 Januari 2019, menjelang sore.
Advertisement
Syariah yang Dipertaruhkan
Hingga saat ini, Wilayatul Hisbah dan Satuan Polisi Pamong Praja masih terus bergerilya dari satu sudut kota ke satu sudut kota. Mereka mengendus, mencari, menelusur, menyisir, dan menggerebek lokasi-lokasi yang diduga menjadi tempat maksiat.
Di balik itu semua, seorang pemerhati sosial, dan mahasiswa akhir Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmi Politik Universitas Teuku Umar (UTU), Ride Wanja, menyayangkan perempuan selalu menjadi sosok yang disalahkan. Padahal, kata dia, bisnis esek-esek, dimana pun itu, ada karena beberapa faktor, terutama ekonomi, dan menjamurnya pelanggan, yang menjadi determinan keberadaan para PSK-PSK tersebut.
"Jangan selalu si penyedia jasa yang disorot. Ini kok ya, kalau kulihat-lihat, dari dulu, kalau esek-esek, yang salah kok perempuan melulu, kok bias gender sih. Itu kalau mabok misalnya, kan pemaboknya yang salah, bukan minumannya yang disorot, bukan pabriknya, kok dalam kasus ini beda ya?" ketus Ride, Jum'at, 11 Januari 2019, malam.
Agak berbeda dengan Ridee, Deni melihat fenomena PSK dan segenap hiruk pikuk yang mengiringinya di Aceh kiranya menjadi pecutan bagi negeri yang kerap berbangga diri dengan syariat-nya ini. Di sisi lain, konsep moral spiritual perlu diajarkan dengan lebih telaten kepada generasi muda di Aceh.
"Aceh, dengan syar syariatnya ini, hanya akan menjadi kebanggaan semu, jika otak itu masih bisa berpikir dan disusupi bisik-bisik iblis. Harus lebih soft dan mengena kalau mengajarkan. Unsur paksaanya harus diteliti dan setepat mungkin mengena di kepala, jangan malah berontak. Di Aceh, ustaz aja bisa tidak bisa tahan kalau sama lendir," sinis dia.
Saksikan video pilihan berikut ini: