Asosiasi Minta Pemerintah Tunda Aturan Pajak E-Commerce, Kenapa?

Ketua Umum idEA, Ignatius Untung mengakui, penerapan pajak e-commerce akan menggenjot nilai pajak dalam jangka pendek.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jan 2019, 14:34 WIB
Asosiasi E-Commerce Indonesia atau idEA (Foto:Merdeka.com/Dwi Aditya Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi E-Commerce Indonesia atau idEA mendesak Pemerintah Jokowi-JK untuk menunda dan mengkaji ulang pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 210 tentang Perlakukan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (e-commerce).

Sebab, dari sisi perpajakan, aturan ini dianggap akan menghambat pertumbuhan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Ketua Umum idEA, Ignatius Untung mengungkapkan, pemberlakuan PMK tentang pajak e-commerce ini bisa menjadi halangan bagi para pelaku UMKM.

Menurut dia, PMK ini tidak sama sekali mempermudah UMKM dalam bertahan dan mengembangkan usaha, tapi malah akan membenani.

Untung mengatakan, berdasarkan hasil studi yang dilakukan idEA, terdapat 1.765 pelaku UKM tersebar di 18 kota Indonesia.

Dari hasil tersebut, 80 persen dari pelaku UMKM masih masuk kategori mikro, 15 persen masuk kategori kecil, dan hanya lima persen yang sudah dikatakan masuk usaha menengah.

"Fakta di lapangan menunjukan bahwa banyak dari antara pengusaha mikro yang masih pada level coba-coba. Belum tentu mereka (UMKM) bertahan dalam beberapa bulan ke depan, di mana prioritas mereka pada tahap ini adalah untuk membangun bisnis yang bertahan," kata Untung dalam konferensi pers di, Kantornya, Jakarta, Senin (14/1/2019).

Untung mengakui, pemberlakuan PMK 210 atau aturan pajak e-commerce ini memang akan menggenjot nilai pajak dalam jangka pendek. Namun, seketika itu pula pemberlakuan tanpa pandang bulu ini juga diduga akan menyurutkan pengusaha UMKM terutama mereka yang masih berjuang untuk bertahan.

"Kita khawatir akan menjadi halangan cukup serius orang mengurungkan niatnya untuk berusaha. Buat mereka, apalagi yang belum teredukasi," kata dia.

"Pajak penting kita sadar. Bahwa kita terbuka pajak digenjot, karena rasio pajak kita masih kecil. Tapi kita melihat ketika berbicara pajak, tidak dalam waktu jangka pendek. Tapi harus diliat jangka panjang," tambah Untung.

Atas dasar pertimbangan tersebut, pihaknya menginginkan pemerintah kembali melakukan kajian dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.

"Untuk itu mari kita bersama-sama mencari agar penerimaan pajak bisa tercapai tanpa mengorbankan harapan pertumbuhan ekonomi dari UMKM jangka panjang," pungkasnya.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com


Mulai Berlaku 1 April 2019

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Seperti diketahui, Pemerintah resmi mengeluarkan aturan pajak bisnis jual beli daring (online) atau e-commerce yang mulai berlaku pada 1 April 2019.

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan pemerintah tidak menetapkan jenis atau tarif pajak baru bagi pelaku e-commerce.

Pengaturan yang dimuat dalam PMK-210 ini semata-mata terkait tata cara dan prosedur pemajakan, yang dimaksudkan untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce demi menciptakan perlakuan yang setara dengan pelaku usaha konvensional.

Pokok-pokok pengaturan dalam PMK-210 ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi pedagang dan penyedia jasa yang berjualan melalui platform marketplace

 a. Memberitahukan Nomor Pokok Wajib Pajak kepada pihak penyedia platform marketplace;

b. Apabila belum memiliki NPWP, dapat memilih untuk (1) mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, atau (2) memberitahukan Nomor Induk Kependudukan kepada penyedia platform marketplace;

c. Melaksanakan kewajiban terkait PPh sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti membayar pajak final dengan tarif 0,5 persen  dari omzet dalam hal omzet tidak melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun, serta

 d. Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam hal omzet melebihi Rp 4,8 miliar dalam setahun, dan melaksanakan kewajiban terkait PPN sesuai ketentuan yang berlaku.

2. Kewajiban penyedia platform marketplace

 a. Memiliki NPWP, dan dikukuhkan sebagai PKP;

b. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penyediaan layanan platform marketplace kepada pedagang dan penyedia jasa;

 c. Memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan milik penyedia platform marketplace sendiri, serta

d. Melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan oleh pedagang pengguna platform.

Untuk diketahui, yang dimaksud dengan penyedia platform marketplace adalah pihak yang menyediakan sarana yang berfungsi sebagai pasar elektronik.

Pedagang dan penyedia jasa pengguna platform dapat menawarkan barang dan jasa kepada calon pembeli. Penyedia platform marketplace yang dikenal di Indonesia antara lain Blibli, Bukalapak, Elevenia, Lazada, Shopee, dan Tokopedia.

Selain perusahaan-perusahaan ini, pelaku over the-top di bidang transportasi juga tergolong sebagai pihak penyedia platform marketplace.

 3. Bagi e-commerce di luar Platform marketplace

Pelaku usaha yang melaksanakan kegiatan perdagangan barang dan jasa melalui online retail, classified ads, daily deals, dan media sosial wajib mematuhi ketentuan terkait PPN, PPnBM, dan PPh sesuai ketentuan yang berlaku.

Sebelum PMK-210 ini mulai berlaku efektif pada 1 April 2019, DJP akan melaksanakan sosialisasi kepada para pelaku e-commerce, termasuk penyedia platform marketplace dan para pedagang yang menggunakan platform tersebut.

Untuk mendapatkan salinan PMK-210 ini dan informasi lain seputar perpajakan serta berbagai program dan layanan yang disediakan DJP, kunjungi www.pajak.go.id atau hubungi Kring Pajak di 1500 200

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya